Minggu, 24 November 2013

KEYAKINAN SESAT PADA JIMAT


Oleh
Ustadz Rizal Yuliar

Di antara banyak bentuk kesyirikan yang masih tersebar di tengah masyarakat pada umumnya adalah penggunaan jimat. Bagi mereka jimat diyakini sebagai pelindung (selain Allah Azza wa Jalla ) dari berbagai mala petaka, sakit dan celaka. Atau diyakini dapat mendatangkan manfaat tertentu seperti membawa keberuntungan, pelet pemikat, kemudahan rizki, kepercayaan untuk kenaikan jabatan dan lain sebagainya. Ada jimat berupa cincin /ali-ali, gelang, kalung, bahan-bahan logam berbagai bentuk, tali yang diikatkan pada salah satu anggota tubuh tertentu, ataupun bentuk-bentuk jimat lainnya. Penyakit berbahaya ini tidak hanya melanda masyarakat awam, tetapi juga tidak sedikit kalangan terpelajar atau cendikiawan yang ikut terbawa arus fenomena yang menyedihkan sekaligus menyesatkan ini. Ironisnya, ketika seseorang telah menjadi hamba jimat dan diperbudak oleh kesyirikan perangkap setan, ternyata dia tidak segan mengajarkan bahkan mengajak orang lain melakukan hal yang sama dan demikian seterusnya. Sebagai seorang Mukmin kita layak mengetahui hal ini, agar dapat menghindari dan mencegah diri sendiri dan orang lain terjerumus di dalamnya bahkan menyelamatkan mereka yang telah terjerembab masuk ke dalam lumpur kebinasaan. Nas'alullâha assalâmata wal `âfiyah kita semua hanya memohon kepada Allah Azza wa Jalla keselamatan dan perlindungan.

KEBINASAAN PELAKU SYIRIK
Bertauhîd (mengesakan) Allah Azza wa Jalla dalam semua bentuk ibadah adalah hak Allah Azza wa Jalla yang paling agung. Dan kesyirikan merupakan kezhaliman paling besar terhadap hak Allah Azza wa Jalla tersebut. Ancaman dan murka Allah Azza wa Jalla terhadap syirik dan pelakunya sangat tegas dalam banyak ayat-ayat-Nya. Allah Azza wa Jalla tidak akan mengampuni dosa syirik; amalan pelakunya akan gugur dan dia diharamkan masuk jannah Allah Azza wa Jalla. Allah Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni dosa selain dari (syirik) itu bagi siapapun yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa mempersekutukan Allah (berbuat syirik) maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. [an-Nisâ`/4 : 48]

وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Seandainya mereka melakukan kesyirikan kepada Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan. [al-An`âm/6: 88]

إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ ۖ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ

Sesungguhnya orang yang berbuat syirik kepada Allah maka pasti Allah haramkan baginya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu para penolong. [al-Mâidah/5: 72]

Keseragaman risalah dakwah seluruh Nabi dalam menegakkan tauhid Allah Azza wa Jalla di muka bumi ini semakin mempertegas keagungan nilai tauhid dan nistanya perbuatan syirik. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) sebelum engkau; "Jika kamu mempersekutukan Allah (dengan syirik) niscaya akan gugurlah amalmu dan tentulah kamu menjadi orang-orang yang merugi (diadzab)". [az-Zumar/39: 65]

KESYIRIKAN DALAM JIMAT
Jimat biasanya berupa ikatan yang terbuat dari besi, emas, perak atau logam lain sejenis atau apa saja yang diyakini dapat menangkal serta menghilangkan mala petaka dan celaka; atau diyakini dapat mendatangkan suatu manfaat. Sebagian orang mengenakannya di salah satu anggota badan dirinya atau keluarganya, digantungkan di atas pintu dalam rumah, toko, kendaraan atau selainnya.[1] Memakai jimat dengan berbagai jenisnya adalah syirik. Apabila diyakini pemakainya bahwa jimat itu dapat berpengaruh langsung tanpa kehendak Allah Azza wa Jalla , maka ia menjadi musyrik dengan jenis syirik besar dalam perkara tauhîd rubûbiyah karena dia telah meyakini tuhan selain Allah Azza wa Jalla . Namun, jika dia meyakini jimat tersebut sebagai sebab (perantara) dan tidak memberikan pengaruh langsung, maka tergolong syirik kecil. Karena saat dia meyakini sesuatu sebagai sebab padahal tidaklah demikian, maka sesungguhnya dia telah menyamai Allah Azza wa Jalla dalam menentukan hal tersebut sebagai sebab; padahal Allah Azza wa Jalla tidaklah menjadikannya sebagai sebab.[2]

Dari `Imrân bin Hushain Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang pria mengenakan ikatan jimat yang terbuat dari tembaga di tangannya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya "Apa ini?". Pria tersebut menjawab: "(aku memakainya) Karena (tertimpa) penyakit wahînah". Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata "Lepaskanlah! Sesungguhnya (jimat) itu tidak akan menambahkanmu selain penyakit. Jika engkau mati dan jimat itu masih berada pada dirimu maka engkau tidak akan bahagia dan berjaya hingga kapanpun!".[3] Jika ancaman ketidakbahagiaan itu disampaikan kepada seorang Sahabat mulia Radhiyallahu anhu lantaran dia memakai jimat; maka bagaimana jadinya apabila pemakai jimat itu ternyata seorang biasa yang tidak memiliki kemuliaan sebagaimana kemuliaan para Sahabat Radhiyallahu anhu ?! Jelas akan lebih jauh dari kebahagiaan!! . Maka berhati-hatilah dalam hal ini!! Ketegasan sikap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam memberantas kesyirikan dan penggunaan jimat semacam ini sangat dicermati dengan baik dan diteladani oleh para Sahabat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta Ulama salaf pada umumnya, karena yang demikian adalah sikap mengingkari kemungkaran dan pembelaan terhadap hak Allah Azza wa Jalla .

Suatu hari Hudzaifah Radhiyallahu anhu menjenguk seorang pria yang sedang sakit, yang di lengan tangannya terdapat tali jimat penangkal demam. Hudzaifah Radhiyallahu anhu segera memotongnya, lalu membaca firman Allah Azza wa Jalla [Yûsuf/12:106] :

وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلَّا وَهُمْ مُشْرِكُونَ

"Tidaklah sebagian besar mereka beriman kepada Allah melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain)".[6] Sa`îd bin Jubair Radhiyallahu anhu berkata "Barangsiapa memotong satu jimat (tamîmah) dari seseorang maka ia berpahala seakan telah memerdekakan seorang budak".[7]

Menggunakan jimat-jimat ini adalah perbuatan syirik (yang dapat menjadi besar ataupun kecil) tergantung keyakinan pemakainya. Karena barangsiapa menetapkan suatu perantara padahal Allah Azza wa Jalla tidak pernah sekalipun menjadikannya sebagai sebab perantara syar`i maupun qadari; maka sungguh dia telah menjadikannya sekutu bagi Allah Azza wa Jalla . Membaca surat al-Fatihah adalah sebab perantara syar`i (yang memang disyariatkan) untuk mendapatkan kesembuhan (dari Allah Azza wa Jalla ). Ataupun sebagaimana mengkonsumsi makanan (berserat) adalah suatu sebab yang terbukti dapat memudahkan proses buang air; dan ini adalah qadari karena dapat diketahui melalui berbagai pengalaman.[8] Sedemikian benci Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap penggunaan jimat, sehingga pada suatu saat ketika sekelompok orang mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (untuk berbaiat kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ); maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan baiat kepada sembilan orang dan membiarkan seseorang di antara mereka. Kemudian mereka bertanya: “Wahai Rasulullah, engkau telah membaiat sembilan orang dan meninggalkan seseorang (di antara kami)?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab "Sesungguhnya dia memakai tamîmah". Dia memasukkan tangannya dan memotong jimatnya; kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan baiatnya seraya bersabda: "Barangsiapa memakai jimat (tamîmah) maka dia telah berbuat syirik".[9]

Tamîmah ialah jimat yang dikalungkan pada seseorang dan diyakini dapat menangkal bahaya, penyakit `ain atau mendatangkan manfaat dan kebaikan tertentu [10]. Secara umum tamîmah terbagi menjadi dua macam.

Pertama: yang terbuat dari selain al-Qur`ân seperti tulang, kerang, keong, tali benang, paku, nama-nama setan dan lainnya maka ini tidak diragukan lagi adalah syirik karena seseorang menggantungkan sesuatu kepada selain Allah Azza wa Jalla .

Kedua: yang berasal dari al-Qur`ân, Asma dan Sifat Allah Azza wa Jalla ; maka terdapat selisih pendapat dalam pembolehannya. Dan pendapat yang kuat adalah tidak diperbolehkannya hal demikian.

Setidaknya ada tiga hal yang menguatkan pendapat larangan tersebut:
1. Keumuman dalil-dalil larangan mengenakan tamîmah dan tidak ada dalil yang mengkhususkannya.

2. Ditutupnya segala pintu atau celah yang akan menyeret kepada kesyirikan seperti akan digantungkannya hal yang tidak mubah.

3. Jika seseorang memakai tamîmah yang berisi dari al-Qur`ân atau Asma dan Sifat Allah Azza wa Jalla , maka sudah barang tentu ia akan membawanya ke manapun termasuk ke kamar kecil untuk membuang hajatnya dan ini termasuk sikap menghinakan al-Qur`ân.[11]

Ibrâhîm an-Nakha`i rahimahullah berkata "Para salaf membenci (mengharamkan) semua bentuk tamîmah baik yang terbuat dari al-Qur`ân ataupun selainnya"[12] Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda "Sesungguhnya ruqyah (jampi-jampi azimat), tamîmah dan pelet adalah syirik".[13] Al-Khathabi berkata "Ruqyah yang dilarang adalah yang tidak berbahasa Arab; karena boleh jadi mengandung sihir atau kekufuran. Adapun jika dipahami maknanya dan terdapat dzikir terhadap Allah Azza wa Jalla di dalamnya, maka yang demikian dianjurkan serta diharapkan barakahnya, Wallâhu A`lam.[14]

Syaikh al-Albâni berkata "Ruqyah yang dimaksud dalam hadits ini adalah yang terdapat di dalamnya permohonan lindungan kepada jin atau ruqyah yang tidak dipahami maknanya…".[15] Perlu diketahui bahwa tidak semua jenis ruqyah adalah syirik. Ada beberapa ketentuan lazim sehingga sebuah ruqyah boleh dilakukan. `Auf bin Mâlik Al-'Asyjâ`i Radhiyallahu anhu berkata: “Dahulu semasa jahiliyah kami melakukan bacaan ruqyah. Kemudian kami bertanya : “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagaimana pendapat engkau?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab “Tunjukkan kepadaku ruqyah kalian, tidaklah mengapa (dilakukan) ruqyah selama bukan kesyirikan"[16]. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukannya, beliau juga pernah diruqyah oleh Jibrîl Alaihissallam [17] Demikian pula oleh `Aisyah Radhiyallahu anhuma.[18]

Para Ulama rahimahumullâh menjelaskan syarat-syarat ruqyah yang diperbolehkan yaitu:

Pertama: Ruqyah yang dilakukan adalah bacaan al-Qur`ân, al-Hadits atau Asma dan Sifat Allah Azza wa Jalla ,

Kedua: Berbahasa Arab atau yang dapat dipahami,

Ketiga: Tidak diyakini bahwa ruqyah tersebut dapat memberikan manfaat dengan sendirinya kecuali dengan kuasa dan izin Allah Azza wa Jalla semata.[19] Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda "Barangsiapa bergantung pada tamîmah maka Allah tidak akan menyempurnakan tujuannya, barangsiapa bergantung pada kalung jimat maka Allah tidak akan memberikan ketenangan dan kedamaian padanya".[20]

WASIAT RASULULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM UNTUK MEMBERANTAS JIMAT.
Ketika Abu Basyîr al-Anshâri Radhiyallahu anhu bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di sebagian safarnya, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim seorang utusan dan berkata "Jangan biarkan ada jimat (yang digantungkan) di leher onta, kecuali harus dipotong".[21] Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri dari segala bentuk kesyirikan termasuk jimat sesat. Dari Ruwaifi` Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya "Wahai Ruwaifi`, sesungguhnya engkau akan hidup panjang. Maka kabarkanlah kepada manusia bahwa barangsiapa mengikat janggutnya, atau bergantung pada jimat, atau bersuci dengan kotoran dan tulang hewan, maka sesungguhnya Muhammad berlepas diri darinya".[22] Bahkan Allah Azza wa Jalla akan membiarkan ketergantungan seseorang kepada sesuatu selain Allah Azza wa Jalla , dan Allah Azza wa Jalla akan menampakkan kelemahannya; karena tidak ada sesuatupun yang terjadi melainkan dengan kuasa dan izin Allah Azza wa Jalla , Rabb semesta alam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

مَنْ تَعَلَّقَ شَيْئًا وُكِّلَ إِلَيْهِ

Barangsiapa bergantung pada sesuatu (selain Allah) maka dia akan dipasrahkan kepadanya.[23] Yakni dibiarkan dirinya bergantung pada sesuatu dan Allah Azza wa Jalla akan mengabaikannya.[24]

MEMOHONLAH HANYA KEPADA ALLAH WA JALLA
Islam mengajarkan setiap hamba untuk senantiasa bertauhîd mengesakan Allah Azza wa Jalla dalam setiap amal perbuatan, mendekatkan diri kepada-Nya serta berlindung dan memohon penjagaan hanya dari-Nya. Tidak kurang dari tujuh belas kali dalam setiap shalat seorang Muslim membaca, namun tidak jarang di antara mereka yang belum memahami untuk kemudian mengamalkan kandungan maknanya; bacaan itu adalah:

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan. [al-Fâtihah/1:5]

Sekecil apapun kesulitan atau musibah yang dihadapi seorang hamba, hendaklah dia mengadu dan bersandar kepada Allah Azza wa Jalla yang Maha segalanya. Karena dia menyadari sepenuhnya bahwa hidup dan matinya adalah di tangan Allah Azza wa Jalla.

قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Katakanlah sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam. [al-An`âm/6:162]

Suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu yang masih sangat belia dan ajaran itu sekaligus menjadi arahan wasiat bagi seluruh umatnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Wahai anak, sesungguhnya aku akan mengajarkanmu beberapa kalimat : (("Jagalah Allah, maka Allah akan menjagamu. Jagalah Allah niscaya engkau akan dapatkan Allah di hadapanmu (menolongmu). Apabila engkau memohon maka memohonlah kepada Allah, dan apabila engkau meminta pertolongan maka memintalah pertolongan dari Allah. Ketahuilah bahwa jika seluruh umat manusia berkumpul untuk memberikan suatu manfaat kepadamu, maka mereka tidak akan memberikan apapun melainkan apa yang telah Allah takdirkan bagimu. Dan apabila mereka berkumpul untuk mencelakakanmu maka mereka tidak akan dapat melakukannya, melainkan apa yang telah Allah gariskan untukmu. Pena (qalam) telah diangkat dan shuhuf (lembaran takdîr) telah kering")).[25]

DOA DAN WIRID-WIRID SYAR’I TELAH DICONOTHKAN
Hukum vonis syirik dalam jimat bukan tanpa solusi dalam mencari perlindungan dari berbagai mala petaka dan celaka. Berbagai doa perlindungan dari celaka dan bahaya telah sempurna diajarkan dalam Islam. Ini semua agar umat hanya mengesakan Allah Azza wa Jalla dalam setiap ucapan dan langkah amalannya; demikian juga agar terjauhkan dari segala bentuk kesyirikan. Semenjak seorang Muslim bangun dari tidurnya, hingga ia akan tidur kembali, bahkan saat ia mendapatkan mimpi buruk dalam tidurnya. Di setiap tempat dan keadaan, dalam kondisi bermukim dan safar, tatkala rasa was-was menghampirinya, doa dan dzikir di pagi hari dan petangnya. Demikian pula harapan kebaikan bagi dirinya, semua itu telah disempurnakan dalam ajaran Islam baik yang termaktub dalam al-Qur`ân maupun al-Hadits; sebagaimana ketentuan contoh dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Namun bukan dengan "memaksakan" ayat-ayat atau bacaan-bacaan tertentu agar dapat menjadi doa yang ternyata menyimpang dari tuntunan ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Barangsiapa mengamalkan sesuatu yang belum pernah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka amal tersebut pastilah tertolak dan sia-sia.

PELAJARAN YANG DAPAT DIAMBIL:
1.Kewajiban bertauhîd kepada Allah Azza wa Jalla dalam setiap keadaan dan keharaman berbuat syirik dengan bentuk apapun dan dalam kondisi apapun.

2. Islam telah menutup semua celah yang akan menghantarkan kaum Muslimin kepada kesyirikan.

3. Syirik adalah kezhaliman terbesar terhadap hak Allah Azza wa Jalla yang Maha Besar. Pelakunya terancam dengan kesengsaraan di dunia dan adzab pedih di akhirat.

4. Mengenakan jimat dengan berbagai keyakinannya adalah perbuatan syirik baik diyakini sebagai perantara maupun sebagai pelaku utama selain Allah Azza wa Jalla .

5. Wajib mengingkari kemungkaran syirik dan dosa lainnya namun sesuai ketentuan hukum syariat Islam.

6. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menetapkan bahwa jimat tamîmah adalah syirik dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berwasiat untuk memeranginya dan memberantasnya.

7. Tidak ada jalan lain untuk mencari kebahagiaan dan menjauh dari kesengsaraan melainkan dengan menjalankan semua bagian syariat islam.

8. Memohon perlindungan hanyalah dari Allah Azza wa Jalla semata. Arahan Islam dalam memohon perlindungan dari berbagai bahaya dan celaka telah sempurna diajarkan dalam al-Qur`ân dan Sunnah.

Semoga Allah Azza wa Jalla senantiasa membimbing kita untuk dapat berjalan di atas cahaya kebenaran Islam, amîn.

Referensi:
1. Al-Mustadrak, Dâr Kutub `Ilmiyah Libanon. Cet II th.1422 H/2002 M. Muhammad `Abdullâh al-Hâkim an-Naisâburi.
2. Al-Mushannaf, Al-Maktabah at-Tijâriyah Dâr Al-Fikr Beirut Libanon. Cet th. 1414 H/ 1994 M. `Abdullâh bin Muhammad bin Abi Syaibah al-Kufi
3. Al-Qaulul-Mufîd `ala Kitab at-Tauhîd, Dâr Ibnul-Jauzi KSA . Cet II th.1424 H. Muhammad Shâlih al-Utsaimîn
4. At-Tamhîd li Syarhi Kitab at-Tauhîd, Dâr at-Tauhid KSA. Cet I 1424 H/2003 M. Shâlih `Abdul `Azîzi Alu Syaikh.
5. Aunul Ma'bûd Syarh Sunan Abi Dâwud, Dâr al-Fikr Beirut Libanon. Cet III th.1399 H/1979 M. Muhammad Syamsul Haqqil 'Azhîm Abadi.
6. Fathul-Majîd Syarh Kitab at-Tauhîd, Dârul-Kitâb al-Islâmi Madinah KSA. `Abdurrahman bin Hasan Alu Asy-Syaikh.
7. Musnad Ahmad, Mu'assasah ar-Risâlah Beirut Libanon. Cet I th.1420 H/1999 M - Baitul-Aqthar Ad-Dauliyyah, th.1419 H/1998 M. Ahmad bin Hanbal Asy-Syaibani.
8. Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah, Maktabah al-Ma`ârif Riyâdh KSA. Cet th.1415 H/1995 M. Muhammad Nâshiruddin al-Albâni .
9. Shahîh Sunan Abi Dâwud, Al-Maktab al-Islâmi Beirut Libanon. Cet I th.1409 H/1989 M. Sulaimân al-Asy'âts as-Sijistâni - Muhammad Nâshiruddin al-Albâni.
10. Shahîh Sunan an-Nasâ'i, Al-Maktab al-Islâmi Beirut Libanon. Cet I th.1408 H/1988 M. Ahmad bin Syu'aib an-Nasâ'i - Muhammad Nâshiruddîn al-Albâni.
11. Shahîh Sunan Ibnu Mâjah, Al-Maktab al-Islâmi Beirut Libanon. Cet III th.1408 H/1988 M. Muhammad bin Yazîd al-Qazwini - Muhammad Nâshiruddîn al-Albâni.
12. Shahîh Sunan at-Tirmidzi, Al-Maktab al-Islâmi Beirut Libanon. Cet I 1409 H/1989 M. Muhammad bin `Isa at-Tirmidzi - Muhammad Nâshiruddin al-Albâni.
13. Shahîh Muslim, Dâr as-Salâm Riyâdh KSA. Cet I th.1419 H/1998 M. Muslim bin Hajjâj an-Naisâburi.
14. Shahîh al-Bukhâri, Dâr As-Salam Riyâdh KSA. Cet II th.1419 H/1999 M. Muhammad bin Ismâ'îl al-Bukhâri.
15. Tuhfatul Ah-wadzi Syarh Jâmi' at-Tirmidzi, Maktabah Ibnu Taimiyah. Cet III th.1407 H/1987 M. Muhammad `Abdurrahmân al-Mubârakfury.
16. Tafsîrul-Qur`ân al-`Azhîm, Muassasah Ar-Rayyân Libanon. Ismâ`îl bin Katsîr ad-Dimasyqi

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XIII/1430/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat catatan penting Syaikh al-Albâni tentang hal ini dalam Silsilah Shahîhnya takhrîj hadits no: 492
[2]. Al-Qaulul-Mufîd `ala Kitab at-Tauhîd, hal: 107
[3]. Ahmad no: 20000, al-Hâkim no: 7502 dengan sanad yang shahîh tanpa penyebutan kebahagiaan. Al-Hâkim berkata "sanad hadits ini shahîh namun belum diriwayatkan oleh al-Bukhâri dan Muslim". Wallâhu A`lam
[4]. Al-Qaulul-Mufîd `ala kitab at-Tauhîd, hlm: 112
[5]. Lihat kitab At-Tauhîd, Syaikh Muhammad bin `Abdul Wahâb mencantumkan permasalahan sekaligus hadits ini sebagai larangan salah satu jenis kesyirikan dalam bab: "Di antara bentuk kesyirikan menggunakan kalung jimat dan selainnya"
[6]. Ibnu katsîr menyebutkan atsar ini dalam tafsir Qs Yûsuf/12:106 (2/642)
[7]. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf 5/428 no: (18). Dan keserupaan itu dijelaskan Syaikh Ibnu `Utsaimîn dalam Al-Qaulul-Mufîd `ala Kitab at-Tauhîd, hal: 123
[8]. Al-Qaulul-Mufîd `ala Kitab at-Tauhîd, hlm: 107
[9]. Ahmad no: 17422, dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Silsilah Shahîhah no: 492
[10]. At-Tamhîd li Syarhi Kitab at-Tauhîd, hlm: 109, Fathul-Majîd, hlm 151, Al-Qaulul-Mufîd `ala Kitab at-Tauhîd, hlm: 117
[11]. Fathul Majîd, hlm: 152-153
[12]. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf , no: 3518
[13]. Shahîh Sunan Abi Dâwud no: 3288, Shahîh Sunan Ibnu Mâjah no: 2845, Ahmad no: 3615, Silsilah Shahîhah no: 331
[14]. Aunul-Ma`bûd 10/367
[15]. Silsilah Shahîhah 1/649
[16]. Muslim no: 5732, Shahîh Sunan Abi Dâwud no: 3290
[17]. Muslim no: 5700
[18]. Al-Bukhâri no: 5735
[19]. At-Tamhîd li Syarhi Kitab at-Tauhîd, hlm: 108-109, kitab At-Tauhîd karya Syaikh Shâlih al-Fauzân, hlm: 67-68
[20]. Ahmad no: 17404, al-Hâkim no: 7501
[21]. Al-Bukhâri no: 3005, Muslim no: 5549
[22]. Ahmad no: 16995, Shahîh Sunan Abu Dâwud no: 27, Shahîh Sunan an-Nasâ`i no: 4692, Syaikh al-Albâni berkata "shahîh"
[23]. Ahmad no: 18781, al-Hâkim 7503, dihasankan Syaikh al-Albâni dalam Shahîh Sunan at-Tirmidzi no: 1691
[24]. Tuhfatul Ahwadzi 6/239, Al-Qaulul-Mufîd `ala Kitab at-Tauhîd, hal: 119
[25]. Shahîh Sunan at-Tirmidzi no: 2043

KERASUKAN JIN DAN PENYEMBUHANNYA


Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan jin dan manusia untuk beribadah kepadaNya, serta menyari’atkan kepada mereka apa yang menjadi kebijaksanaanNya supaya membalas mereka terhadap apa yang telah mereka lakukan. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah semata yang tiada sekutu baginya. Dia memiliki kekuasaan dan pujian, serta Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya, yang diutus kepada manusia dan jin untuk memberi kabar gembira dan peringatan. Semoga shalawat dan salam sebanyak-banyaknya terlimpah atasnya, keluarganya, para sahabatnya dan siapa yang mengikuti mereka dengan baik.

Allah Subhanahu wa Taala berfirman.

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rizki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rizki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kukuh” [Adz-Dzariyat : 56-58]

Jin adalah alam ghaib yang diciptakan dari api, dan mereka diciptakan sebelum penciptaan manusia, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Dan sesungguhnya Kami telah meciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Dan Kami telah menciptakan jin sebelum (Adam) dari api yang sangat panas” [Al-Hijr ; 26-27]

Mereka diberi tugas. Perintah dan larangan Allah ditujukan kepada mereka. Di antara mereka ada yang taat dan di antara mereka ada yang bermaksiat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang mereka.

“Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang taat dan ada (pula) orang-orang yang menyimpang dari kebenaran. Barangsiapa taat, maka mereka itu benar-benar telah memilih jalan yang lurus. Adapun orang-orang yang menyimpang dari kebenaran, maka mereka menjadi kayu api bagi neraka Jahannam” [Al-Jin : 14-15]

Dia berfirman.

“Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang shalih dan diantara kami ada (pula) yang tidak demikian halnya. Adalah kami menempuh jalan yang berbeda-beda”[Jin : 11]

Yakni, golongan dan hawa nafsu yang bermacam-macam, sebagaimana yang berlaku pada manusia. Yang kafir di antara mereka akan masuk neraka menurut ijma’ sedangkan yang mukmin akan masuk surga sebagaimana manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Dan bagi orang yang takut saat menghadap Rabbnya ada dua surga. Maka nikmat Rabb kamu yang manakah yang kamu dustakan” [Ar-Rahman : 46-47]

Kezaliman antara mereka dengan manusia diharamkan, sebagaimana kezhaliman di antara manusia, berdasarkan firman Allah dalam hadits qudsi

“Wahai para hamba-Ku, sesungguhnya aku telah mengharamkan kezhaliman atas diriKu dan Aku menjadikannya di antara kalian sebagai keharaman, maka janganlah saling menzhalimi” [1] [HR Muslim]

Meskipun demikian, mereka kadangkala berbuat zhalim kepada manusia. Demikian pula manusia kadangkala berbuat zahalim kepada mereka. Di antara kezhaliman manusia terhadap mereka ialah bersitinjak dengan tulang atau kotoran. Dalam Shahih Muslim dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu bahwa jin meminta perbekalan kapada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau bersabda.

“Untuk kalian ialah segala tulang yang disebutkan nama Allah atasnya yang jatuh di tangan kalian yang masih ada dagingnya, dan semua kotoran untuk makanan hewan ternak kalian”.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Oleh karenanya, janganlah bersitinjak dengan keduanya. Sebab, keduanya adalah makanan saudara-saudara kalian” [2]

Di antara permusuhan jin terhadap manusia ialah mereka menguasai manusia dengan was-was yang mereka masukkan dalam hatinya. Karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan supaya berlindung dari hal itu seraya berfirman.

“Katakanlah, Aku berlindung kepada Rabb manusia, Raja manusia. Sembahan manusia, dari kejahatan (bisikan) setan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari jin dan manusia” [An-Nas : 1-6]

Allah menyebutkan jin di awal, karena was-was mereka ini sangat besar, dan sampainya mereka kepada manusia itu sangat tersembunyi.

Jika kamu bertanya, “Bagaimana mereka sampai kepada dada manusia dan membisiki di dalamnya?”

Maka, dengarlah jawaban dari Muhammad Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bersabda kepada dua orang Anshar.

“Sesungguhnya setan mengalir dalam diri manusia lewat aliran darah, dan aku khawatir ia akan melemparkan keburukan dalam hatimu atau mengatakan sesuatu” [3]

Dalam sebuah riwayat.

“Ia sampai pada manusia lewat aliran darah” [4]

Di antara kezhaliman jin kepada manusia ialah mereka menakut-nakuti mereka dan memasukkan rasa takut dalam hati mereka, terutama ketika manusia berlindung kepada mereka dan meminta perlindungan kepada mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan” [Al-Jin : 6]

Yakni, takut dan segan

Di antara kezhaliman jin terhadap manusia ialah jin menggulat manusia dan menghempaskannya serta membiarkannya terguncang hingga pingsan. Adakalanya jin menggiringnya kepada perkara yang membuat kebinasaannya seperti melemparkannya dalam lobang, air yang membuatnya tenggelam, atau api yang membakarnya. Allah menyerupakan pemakan riba, ketika mereka bangkit dari kubur mereka, dengan orang yang terkena penyakit gila karena kerasukan setan. Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila” [Al-Baqarah : 275]

Ibnu Jarir berkata, “Setanlah yang merasukinya lalu mebuatnya menjadi gila”. Ibnu Katsir berkata, “Tidak lain seperti orang yang terkena penyakit gila ketika gila dan setan merasukinya”. Al-Baghawi berkata, “Setan merasukinya, yakni membuatnya menjadi gila”. Artinya, orang yang makan riba akan dibangkitkan pada hari Kiamat seperti orang gila (karena kerasukan setan)”.

Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnadnya, dari Ya’la bin Murrah Radhiyallahu ‘anhu bahwa seorang perempuan datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa anaknya yang kerasukan jin. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (kepada jin yang berada dalam tubuh anak itu).

‘Keluarlah, wahai musuh Allah. Aku adalah Rasulullah”

Lalu, kata perawi, anak itu sembuh, lantas ibunya menghadiahkan kepada Nabi dua ekor domba dan keju serta minyak samin. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil keju dan samin serta seekor domba, dan mengembalikan seekor domba lainnya kepadanya [5]. Sanadnya dapat dipercaya. Ia mempunyai beberapa jalan periwayatan, yang dinyatakan Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wan Nihayah”. Ini adalah jalan-jalan periwayatan yang baik dan banyak, yang memberikan praduga yang kuat atau kepastian bagi kalangan berilmu bahwa Ya’la bin Murrah menceritakan kisah ini pada umumnya.

Ibnul Qayyim rahimahullah, salah seorang murid Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang cemerlang, berkata dalam kitabnya, Zad Al-Ma’ad, 4/66. “Gila itu ada dua macam, gila karena ruh jahat yang ada di bumi, dan gila karena stress. Yang kedua inilah yang dibicarakan oleh para dokter jiwa tentang sebabnya dan penyembuhannya. Adapun kegilaan karena roh jahat maka para tokoh kedokteran dan cendekiawan mengakuinya dan tidak menolaknya. Adapun para dokter yang bodoh dan peringkat bawah serta meyakini kezindikan sebagai keutamaan, maka mereka mengingkari penyakit gila karena roh jahat. Mereka tidak mengetahui bahwa roh tersebut dapat berpengaruh dalam tubuh orang yang terkena penyakit gila. Tiada yang menyertai mereka kecuali kebodohan. Jika tidak, maka tidak ada dalam aktifitas kedokteran yang menolak hal itu, dan kenyataannya membuktikannya. Barangsiapa mempunyai akal dan pengetahuan tentang ruh-ruh ini dan pengaruh-pengaruhnya, maka ia akan mentertawakan kebodohan mereka dan kelemahan akal mereka.

Wahai manusia, untuk terbebas dari penyakit gila jenis ini ada dua perkara : membentengi dan menyembuhkan.

Untuk membentengi ialah dengan membaca wirid-wirid yang disyariatkan dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih, dengan kekuatan jiwa dan tidak mengikuti was-was dan khayalan yang tiada hakikatnya. Sebab, mengikuti was-was dan praduga dapat menyebabkan praduga dan was-was ini semakin membesar hingga menjadi kenyataan.

Adapun penyembuhannya, yakni menyembuhkan penyakit gila karena ruh jahat, para tokoh kedokteran mengakui bahwa resep-resep kedokteran tidak berpengaruh padanya. Penyembuhannya ialah dengan doa-doa, bacaan Al-Qur’an dan nasehat. Syaihul Islam Ibnu Taimiyah biasanya mengobati dengan bacaan ayat Kursi dan Mu’awwidzatain, serta acapkali membaca di telinga orang yang terkena penyakit gila tersebut.

“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dkembalikan kepada Kami” [Al-Mu’minun : 15]

Muridnya, Ibnul Qayyim mengatakan, “Beliau bercerita kepada kami bahwa beliau suatu kali membaca ayat ini di telinga orang yang terkena penyakit gila, lalu ruh jahat itu mengatakan, “Ya” seraya melengkingkan suaranya dengannya. Beliau mengatakan, ‘Lalu aku mengambil tongkat untuknya dan memukulnya dengannya pada urat lehernya hingga tanganku capek karena memukulnya’. Ketika itulah ia mengatakan, ‘Aku menyukainya’. Aku katakan, ‘Dia tidak menyukaimu’. Ia mengatakan, ‘Aku ingin berhaji dengannya.’ Aku katakan kepadanya.’ Ia tidak ingin berhaji bersamamu’. Ia mengatakan, ‘Aku meninggalkannya karena menghormatimu.’ Aku katakan, “Tidak, tetapi karena mentaati Allah dan Rasulnya.’ Ia mengatakan, ‘Kalau begitu aku keluar.’ Lalu orang yang terkena penyakit gila itu duduk sambil melihat ke kanan dan ke kiri seraya mengatakan, ‘Apa yang membawaku kepada Syaikh yang mulia ini”. Demikianlah pernyataan Ibnu Al-Qayyim rahimahullah dari Syaikhnya.

Ibnu Muflih, salah seorang murid Syaikhul Islam juga, mengatakan dalam kitabnya, Al-Furru’, ‘Syaikh kami apabila datang kepada orang yang terkena penyakit gila (lantaran ganguan jin), maka beliau menasihati jin yang membuatnya menjadi gila, memerintahkan dan melarangnya. Jika ia berhenti dan berpisah dengan orang dirasukinya, maka beliau meminta janjinya untuk tidak kembali lagi. Jika ia tidak patuh, tidak berhenti dan tidak terpisah, maka beliau memukulnya hingga meninggalkannya. Pukulan ini secara lahiriahnya pada orang yang terkena penyakit gila, tetapi pada hakikatnya memukul jin yang membuatnya gila”

Imam Ahmad mengutus seseorang kepada orang yang gila, lalu jin yang merasukinya itu meninggalkannya. Ketika Ahmad meninggal, jin tersebut kembali kepada orang tesebut.

Dengan ini jelaslah bahwa gangguan jin kepada manusia itu nyata berdasarkan dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah serta fakta. Ini diingkari oleh Mu’tazilah. Sekiranya bukan karena akibat yang ditimbulkan seputar masalah ini berupa kekacauan dan perdebatan yang menyebabkan Kitab Allah dijadikan sebagai argumen atas pengertian-pengertian imajinatif yang tiada hakikatnya, dan sekiranya pengingkaran ini tidak berkonsekuensi mendungukan para imam dan ulama kita dari Ahlus Sunnah, atau mendustakan mereka, niscaya saya katakan, “Seandainya bukan karena ini dan itu, maka saya tidak berbicara mengenai masalah ini. Karena masalah ini merupakan perkara-perkara yang telah diketahui secara inderawi dan bisa disaksikan. Apa yang sudah nyata dengan indera dan dapat disaksikan, tidak perlu kepada dalil. Karena perkara-perkara yang inderawi adalah bukti itu sendiri, dan mengingkarinya adalah kecongkakan. Oleh karena itu, janganlah menipu diri kalian sendiri dan jangan tergesa-gesa. Berlindunglah kepada Allah dari keburukan makhlukNya dari jin dan manusia. Memohon ampunlah kepada Allah dan bertaubatlah kepadaNya, sesungguhnya Dia Maha Pengampun, Maha Menerima taubat lagi Maha penyayang.

[Fatawa Al-Aqidah, Ibnu Utsaimin, hal. 323-328]

[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Musthofa Aini dkk, Penerbit Darul Haq]
__________
Foote Note
[1]. HR Muslim, no. 2577, kitab Al-Birr wa Ash-Shilah
[2]. HR Muslim, no. 450, kitab Ash-Shalah
[3]. HR Al-Bukhari, no. 2038, kitab Al-I’tikaf, Muslim, no. 2175, kitab As-Salam
[4]. HR Al-Bukhari, no. 2035, kitab Al-I’tikaf, dan Muslim, no. 2175, kitab As-Salam
[5]. HR Ahmad dalam Al-Musnad, no. 17098-17113, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak 2/617, 618 dan menilainya sebagai shahih, disetujui oleh Adz-Dzahabi dan dinilai baik oleh Al-Mundziri

CARA-CARA JIN MENGGANGGU MANUSIA DAN BAGAIMANA MELINDUNGI DIRI DARINYA



Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin




Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah jin dapat memberikan pengaruh kepada manusia, dan bagaimana cara melindungi diri dari mereka?

Jawaban
Tidak diragukan bahwa jin dapat memberikan pengaruh kepada manusia dengan gangguan yang adakalanya bisa mematikan, adakalanya mengganggu dengan lemparan batu, dengan menakut-nakuti manusia, dan hal-hal lainnya yang disahkan oleh sunnah dan ditunjukkan oleh kenyataan. Diriwayatkan secara sah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan seorang sahabatnya untuk pergi kepada keluarganya dalam suatu peperangan –yang saya kira perang Khandaq-, Ia seorang pemuda yang baru saja menikah. Ketika sampai di rumahnya, ternyata istrinya ada di depan pintu. Ia mengingkari perbuatan istrinya itu, lalu berkata kepadanya, “Masuklah!”. Ketika pemuda ini masuk, ternyata seekor ular melingkar di atas tempat tidur. Dengan tombak yang berada di tangannya, ia menikam ular tersebut dengan tombak tersebut hingga mati. Dalam waktu bersamaan –yakni pada saat ular itu mati- maka pria ini juga mati. Perawi tidak tahu, mana yang lebih dulu mati ; ular atau orang itu. Ketika berita itu sampai kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau melarang membunuh ular yang berada di rumah kecuali ular yang ganas dan berbisa. Beliau bersabda.

إِنَّ باْلمَدِ يْنَةِ جِنَّاً قَدْ َسْلَمُوْا فَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْهُمْ شَيْئاً فَاْ ذَنُوْهُ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ فَإِنْ بَدَا لَكُمْ بَعْدَ ذَلِكَ فَاقْتُلُوْهُ فَإِنَّمَا هُوَ شَيْطَانٌ

“Sesungguhnya di Madinah terdapat para jin yang telah masuk Islam. Jika kalian melihat sesuatu dari mereka, maka izinkanlah ia selama tiga hari. Jika ia menampakkan diri kepadamu sesudah itu, maka bunuhlah. Sebab, sesungguhnya ia adalah setan” [HR Muslim, no. 2226, kitab As-Salam]

Ini dalil yang menunjukkan bahwa jin itu adakalanya menzhalimi manusia dan menggangggu mereka, sebagaimana fenomena membuktikan hal itu. Berita-berita telah mutawatir dan sangat banyak menyebutkan bahwa manusia adakalanya memasuki rumah-rumah kosong lalu dilempar dengan batu padahal manusia tidak melihat seseorangpun di dalam rumah kosong itu. Adakalanya ia mendengar suara-suara dan adakalanya mendengar desingan lembut seperti suara pohon serta sejenisnya yang membuat ketakutan dan terganggu karenanya.

Demikian pula adakalanya jin memasuki tubuh manusia, baik dengan kecintaan, untuk bermaksud mengganggunya maupun sebab-sebab lainnya. Ini diisyaratkan oleh firman-Nya.

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti beridinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila” [Al-Baqarah/2 : 275]

Pada jenis ini adakalanya jin berbicara dari batin manusia itu sendiri, berbicara kepada siapa yang membacakan ayat-ayat Al-Qur’an di hadapannya, adakalanya pembaca Al-Qur’an mengabil janjinya supaya tidak kembali lagi, dan perkara-perkara lainnya yang banyak diberitakan oleh riwayat-riwayat dan tersebar di tengah-tengah manusia. Atas dasar ini maka benteng yang dapat menghalangi dari kejahatan jin ialah seseorang membaca apa yang direkomendasikan oleh Sunnah yang dapat membentengi diri dari mereka, semisal ayat Kursi. Sebab, jika seseorang membaca ayat Kursi, pada suatu malam, maka ia senantiasa mendapat penjagaan dari Allah dan setan tidak mendekatinya hingga Shubuh. Dan, Allah adalah Maha Pemelihara.

[Fatawa Al-Ilaj Bi Al-Qur’an wa As-Sunnah ar-Ruqa Wama Yata’allaqu Biha, hal. 65-66]

TIDAK MUNGKIN MANUSIA BIASA BISA MELIHAT JIN


Oleh
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin


Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Apakah mungkin jin menampakkan diri kepada manusia dalam aslinya?

Jawaban
Itu tidak mungkin untuk manusia biasa. Sebab jin adalah ruh tanpa jasad. Ruh mereka sangat lembut yang dapat terbakar oleh pandangan mata. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْ

“Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka” [Al-A’raf : 27]

Sebagaimana halnya kita tidak melihat para malaikat yang menyertai kita yang mencatat amal, dan kita tidak melihat setan yang mengalir dalam tubuh manusia pada aliran darah. Tetapi jika Allah memberi keistimewaan kepada seseorang dengan keistimewaan kenabian, maka ia dapat melihat malaikat. Sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Jibril, ketika turun kepadanya, sedangkan manusia di sekitarnya tidak melihatnya.

Adapun dukun dan sejenisnya maka jin adakalanya menyamar menjadi salah seorang dari mereka, kemudian sebagian jin memperlihatkannya, dengan mengatakan, “Jin telah datang kepada fulan”. Jadi bukan manusia yang melihatnya, melainkan jin yang menyamar kepadanya itulah yang melihatnya dan mengabarkan siapa yang berada di sekitarnya.

[Fatwa Syaikh Abdullah bin Jibrin yang beliau tanda tangani]

[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Musthofa Aini dkk, Penerbit Darul Haq]

KIAT MEMBENTENGI KELUARGA DARI SIHIR


SEKILAS TENTANG HAKIKAT SIHIR
Secara etimologis, sihir artinya sesuatu yang tersembunyi dan sangat halus penyebabnya. Sedangkan menurut istilah syariat, Abu Muhammad Al Maqdisi menjelaskan, sihir adalah azimat-azimat, mantra-mantra atau pun buhul-buhul yang bisa memberi pengaruh terhadap hati sekaligus jasad, bisa menyebabkan seseorang menjadi sakit, terbunuh, atau pun memisahkan seorang suami dari istrinya. [1]

Jadi sihir benar-benar ada, memiliki pengaruh dan hakikat yang bisa mencelakakan seseorang dengan taqdir Allah yang bersifat kauni . Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ وَمَاهُم بِضَآرِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلاَّ بِإِذْنِ اللَّهِ

"Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang bisa mereka gunakan untuk menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya. Dan mereka (ahli sihir) itu tidak dapat memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorang pun kecuali dengan izin Allah" [Al Baqarah : 102].

Demikian juga firman Allah yang memerintahkan kita berlindung dari kejahatan sihir :

وَ مِنْ شَر ِّ النَّفَّاثاَتِ فْي العُقَدِ

"Dan (aku berlindung kepada Allah) dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembuskan pada buhul-buhul". [Al Falaq : 4].

Seandainya sihir tidak memiliki pengaruh buruk, tentu Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak akan memerintahkan kita agar berlindung darinya.[2]

Sihir juga pernah menimpa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Yaitu ketika seorang Yahudi bernama Labid bin Al A’sham menyihir Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Aisyah rahimahullah menceritakan:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُحِرَ حَتَّى كَانَ يَرَى أَنَّهُ يَأْتِي النِّسَاءَ وَلَا يَأْتِيهِنَّ

"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah disihir, sehingga Beliau merasa seolah-olah mendatangi istri-istrinya, padahal tidak melakukannya".[3]

Berkaitan dengan hadits ini, Al Qadhi ‘Iyadh menjelaskan: “Sihir adalah salah satu jenis penyakit diantara penyakit-penyakit lainnya yang wajar menimpa Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, seperti halnya penyakit lain yang tidak diingkari. Dan sihir ini tidak menodai nubuwah Beliau. Adapun keadaan Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika itu, seolah-olah membayangkan melakukan sesuatu, padahal Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak melakukannya. Hal itu tidak mengurangi kejujuran Beliau. Karena dalil dan ijma’ telah menegaskan tentang kema’shuman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dari sikap tidak jujur. Terpengaruh sihir perkara yang hanya mungkin terjadi pada diri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam masalah duniawi yang bukan merupakan tujuan risalah Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak diistimewakan lantaran masalah duniawi pula. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah manusia biasa yang bisa tertimpa penyakit seperti halnya manusia. Maka bisa saja terjadi, Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dikhayalkan oleh perkara-perkara dunia yang tidak ada hakikatnya. Kemudian perkara itu (pada akhirnya) menjadi jelas sebagaimana yang terjadi pada diri Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam”.[4]

Sihir memiliki bentuk beraneka ragam dan bertingkat-tingkat. Di antara contohnya adalah tiwalah (sihir yang dilakukan oleh seorang istri untuk mendapatkan cinta suaminya/pelet), namimah (adu domba), al ‘athfu (pengasihan), ash sharfu (menjauhkan hati) dan sebagainya. Sebagian besar sihir ini masuk ke dalam perbuatan kufur dan syirik, kecuali sihir dengan membubuhi racun atau obat-obatan serta namimah, maka ini tidak termasuk syirik.

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di menjelaskan: “Sihir termasuk perbuatan syirik ditinjau dari dua sisi.

Pertama : Karena dalam sihir itu terdapat unsur meminta pelayanan dan ketergantungan dari setan serta pendekatan diri kepada mereka melalui sesuatu yang mereka sukai, agar setan-setan itu memberi pelayanan yang diinginkan.

Kedua : Karena di dalam sihir terdapat unsur pengakuan (bahwa si pelaku) mengetahui ilmu ghaib dan penyetaraan diri dengan Allah dalam ilmuNya, dan adanya upaya untuk menempuh segala cara yang bisa menyampaikannya kepada hal tersebut. Ini adalah salah satu cabang dari kesyirikan dan kekufuran”.[5]

Hukum mempelajari dan melakukan sihir adalah haram dan kufur. Hukuman bagi para tukang sihir adalah dibunuh, sebagaimana yang diriwayatkan dari beberapa orang sahabat [6]. Dan sihir merupakan perbuatan setan. Allah Azza wa Jalla berfirman :

وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُوا الشَّيَاطِينُ عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَانَ وَمَاكَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَكِّنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ

"Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (dan tidak mengerjakan sihir), tetapi setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia". [Al Baqarah : 102]

PETUNJUK NABI UNTUK MENANGKAL DAN MENGOBATI SIHIR
Seperti telah dijelaskan oleh para ulama, sihir termasuk jenis penyakit yang bisa menimpa manusia dengan izin Allah Azza wa Jalla . Tidaklah Allah Azza wa Jalla menurunkan satu penyakit melainkan Dia juga menurunkan obat penawarnya. Dan seorang muslim dilarang berobat dengan sesuatu yang diharamkan Allah.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, Beliau bersabda :

مَا أنْزَلَ اللهُ دَاءً إلا أنْزَلَ لَهُ شِفَاءً

"Tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit, melainkan Allah akan menurunkan pula obat penawarnya".[7]

Seorang muslim dilarang pergi ke dukun untuk mengobati sihir dengan sihir yang sejenis. Karena hukum mendatangi dukun dan mempercayai mereka adalah kufur. Apatah lagi sampai meminta mereka untuk melakukan sihir demi mengusir sihir yang menimpanya, ataupun untuk menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan jodoh anak dan sanak saudaranya, atau hubungan suami istri dan keluarga, tentang barang yang hilang, percintaan, perselisihan dan sebagainya. Hal itu merupakan perkara ghaib dan hanya Allah Azza wa Jalla saja yang mengetahui. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ أتَى كَاهِنًا أوْ سَاحِرًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُوْلُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَدٍ

"Barangsiapa yang mendatangi dukun atau tukang sihir, kemudian ia membenarkan (mempercayai) perkataan mereka, maka sungguh ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad".[8]

Para dukun, paranormal, tukang sihir dan peramal itu hanya mengaku-ngaku mengetahui ilmu ghaib berdasarkan kabar yang dibawa setan yang mencuri dengar dari langit. Para dukun itu, tidak akan sampai pada maksud yang diinginkan kecuali dengan cara berkhidmah, tunduk dan taat serta menyembah tentara iblis tersebut. Ini merupakan perbuatan kufur dan syirik terhadap Allah Subhanahu wa Ta'ala. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

هَلْ أُنَبِّئُكُمْ عَلَى مَن تَنَزَّلُ الشَّيَاطِينُ {212} تَنَزَّلُ عَلَى كُلِّ أَفَّاكٍ أَثِيمٍ { 222} يُلْقُونَ السَّمْعَ وَأَكْثَرُهُمْ كَاذِبُونَ

"Apakah akan Aku beritakan kepadamu, kepada siapa setan-setan itu turun? Mereka turun kepada setiap pendusta lagi banyak dosa, mereka menghadapkan pendengaran (kepada setan) itu, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang pendusta". [Asy Syu’ara`: 221-223].

Oleh karena itu, seorang muslim tidak boleh tunduk dan percaya kepada dugaan dan asumsi bahwa cara yang dilakukan para dukun itu sebagai pengobatan, misalnya tulisan-tulisan azimat, rajah-rajah, menuangkan cairan yang telah dibaca mantra-mantra syirik dan sebagainya. Semua itu adalah praktek perdukunan dan penipuan terhadap manusia. Barangsiapa yang rela menerima praktek-praktek tersebut tanpa menunjukkan sikap penolakannya, sungguh ia telah ikut tolong-menolong dalam perbuatan bathil dan kufur.[9]

CARA PENECGAHAN DARI SIHIR YANG DIAJARKAN RASULULLAH[10]
1- Dalam setiap keadaan senantiasa mentauhidkan Allah Azza wa Jalla dan bertawakkal kepadaNya, serta menjauhi perbuatan syirik dengan segala bentuknya. Allah Azza wa Jalla berfirman :

إِنَّهُ لَيْسَ لَهُ سُلْطَانٌ عَلَى الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ {99} إِنَّمَا سُلْطَانُهُ عَلَى الَّذِينَ يَتَوَلَّوْنَهُ وَالَّذِينَ هُمْ بِهِ مُشْرِكُونَ

"Sesungguhnya setan itu tidak ada kekuasaan atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Rabbnya. Sesungguhnya kekuasaan setan hanyalah atas orang-orang yang menjadikannya sebagai pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah". [An Nahl : 99-100].

Ketika Menafsirkan ayat di atas, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di berkata : “Sesungguhnya setan tidak memiliki kekuasaan untuk mempengaruhi (mengalahkan) orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Rabbnya semata, yang tidak ada sekutu bagiNya, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala akan membela orang-orang mu’min yang bertawakkal kepadaNya dari setiap kejelekan setan, sehingga tidak ada celah sedikitpun bagi setan untuk mencelakakan mereka”[11]. Dan ayat-ayat semisal ini banyak terdapat di dalam Al Qur`an.

2- Melaksanakan setiap kewajiban-kewajiban yang Allah Subhanahu wa Ta'ala perintahkan, dan menjauhi setiap yang dilarang, serta bertaubat dari setiap perbuatan dosa dan kejelekan. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu 'anhu :

يَا غُلاَمُ ! إنِي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ ، احْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَ...

"Wahai anak, sesungguhnya aku akan mengajarkanmu beberapa kalimat. Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu…"[12]

Syaikh Nazhim Muhammad Sulthan menyatakan, makna sabda Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam (احْفَظِ اللهَ ) adalah jagalah perintah-perintahNya, larangan-laranganNya, hukum-hukumNya serta hak-hakNya. Caranya, dengan memenuhi apa-apa yang Allah dan RasulNya perintahkan berupa kewajiban-kewajiban, serta menjauhi segala perkara yang dilarang. Sedangkan makna (يَحْفَظْكَ ) ialah, barangsiapa yang menjaga perintah-perintahNya, mengerjakan setiap kewajiban dan menjauhi setiap laranganNya, niscaya Allah k akan menjaganya. Karena balasan suatu amalan, sejenis dengan amal itu sendiri. Penjagaan Allah Subhanahu wa Ta'ala terhadap hamba meliputi penjagaan terhadap dirinya, anak, keluarga dan hartanya. Juga penjagaan terhadap agama dan imannya dari setiap perkara syubhat yang menyesatkan”.[13]

3. Tidak membiarkan anak-anak berkeliaran saat akan terbenamnya matahari. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: "Jika malam telah masuk -jika kalian berada di sore hari-, maka tahanlah anak-anak kalian. Sesungguhnya setan berkeliaran pada waktu itu. tatkala malam telah datang sejenak, maka lepaskanlah mereka". [HR Bukhari Muslim].

4- Membersihkan rumah dari salib, patung-patung dan gambar-gambar yang bernyawa serta anjing. Diriwayatkan dalam sebuah hadits, bahwa Malaikat (rahmat) tidak akan memasuki rumah yang di dalamnya terdapat hal-hal di atas. Demikian juga dibersihkan dari piranti-piranti yang melalaikan, seruling dan musik.

5. Memperbanyak membaca Al Qur`an dan manjadikannya sebagai dzikir harian. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنْ الْبَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ

"Janganlah menjadikan rumah-rumah kalian layaknya kuburan. Sesungguhnya setan lari dari rumah yang dibaca di dalamnya surat Al Baqarah".[14]

6- Membentengi diri dengan doa-doa dan ta’awudz serta dzikir-dzikir yang disyariatkan, seperti dzikir pagi dan sore, dzikir-dzikir setelah shalat fardhu, dzikir sebelum dan sesudah bangun tidur, do’a ketika masuk dan keluar rumah, do’a ketika naik kendaraan, do’a ketika masuk dan keluar masjid, do’a ketika masuk dan keluar kamar mandi, do’a ketika melihat orang yang mandapat musibah, serta dzikir-dzikir lainnya.

Ibnul Qayyim berkata,”Sesungguhnya sihir para penyihir itu akan bekerja secara sempurna bila mengenai hati yang lemah, jiwa-jiwa yang penuh dengan syahwat yang senanantiasa bergantung kepada hal-hal rendahan. Oleh sebab itu, umumnya sihir banyak mengenai para wanita, anak-anak, orang-orang bodoh, orang-orang pedalaman, dan orang-orang yang lemah dalam berpegang teguh kepada agama, sikap tawakkal dan tauhid, serta orang-orang yang tidak memiliki bagian sama sekali dari dzikir-dzikir Ilahi, doa-doa, dan ta’awwudzaat nabawiyah.” [15]

7. Memakan tujuh butir kurma ‘ajwah setiap pagi hari. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

مَنْ تَصَبَّحَ كُلَّ يَوْمٍ سَبْعَ تَمَرَاتٍ عَجْوَةً لَمْ يَضُرَّهُ فِي ذَلِكَ الْيَوْمِ سُمٌّ وَلَا سِحْرٌ

"Barangsiapa yang makan tujuh butir kurma ‘ajwah pada setiap pagi, maka racun dan sihir tidak akan mampu membahayakannya pada hari itu". [16]

Dan yang lebih utama, jika kurma yang kita makan itu berasal dari kota Madinah (yakni di antara dua kampung di kota Madinah), sebagaimana disebutkan dalam riwayat Muslim. Syaikh Abdul ’Aziz bin Baz berpendapat, seluruh jenis kurma Madinah memiliki sifat yang disebutkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ini. Namun beliau juga berpendapat, bahwa perlindungan ini juga diharapkan bagi orang yang memakan tujuh butir kurma, selain kurma Madinah secara mutlak.[17]

TERAPI PENGOBATAN SETELAH TERKENA SIHIR [18]
1. Metode pertama : Mengeluarkan dan menggagalkan sihir tersebut jika diketahui tempatnya dengan cara yang dibolehkan syariat. Ini merupakan metode paling ampuh untuk mengobati orang yang terkena sihir.[19]

2. Metode kedua : Dengan membaca ruqyah-ruqyah yang disyariatkan. Para ulama telah bersepakat bolehnya menggunakan ruqyah sebagai pengobatan apabila memenuhi tiga syarat [20].

Pertama : Hendaknya ruqyah tersebut dengan menggunakan Kalamullah (ayat-ayat Al Qur`an), atau dengan Asmaul Husna atau dengan sifat-sifat Allah Azza wa Jalla, atau dengan doa-doa yang diajarkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Kedua : Ruqyah tersebut dengan menggunakan bahasa Arab, atau dengan bahasa selain Arab yang difahami maknanya.

Ketiga : Hendaknya orang yang meruqyah dan yang diruqyah meyakini, bahwa ruqyah tersebut tidak mampu menyembuhkan dengan sendirinya, tetapi dengan kekuasaan Allah Azza wa Jalla. Karena ruqyah hanyalah salah satu sebab di antara sebab-sebab diperolehnya kesembuhan. Dan Allah-lah yang menyembuhkan.

Selain itu, ada hal sangat penting yang juga harus diperhatikan, bahwa ruqyah akan bekerja secara efektif bila orang yang sakit (terkena sihir) dan orang yang mengobati sama-sama memiliki keyakinan yang kuat kepada Allah Azza wa Jalla, bertawakkal kepadaNya semata, bertakwa dan mentauhidkanNya, serta meyakini dengan sebenar-benarnya bahwa Al Qur`an adalah penyembuh bagi penyakit dan rahmat bagi orang-orang beriman. Jika hal ini tidak terpenuhi, maka ruqyah tersebut tidak akan berefek kepada penyakitnya, karena ruqyah itu sendiri merupakan obat mujarab yang diajarkan oleh syari’at. Namun ibarat senjata, setajam apapun ia, jika berada di tangan orang yang tidak lihai menggunakannya, maka senjata itu tidak banyak manfaatnya.[21]

Dikatakan oleh Ibnu At Tiin: “Ruqyah dengan membaca mu’awwidzat atau dengan nama-nama Allah Subhanahu wa Ta'ala merupakan pengobatan rohani, (akan bekerja efektif) bila di baca oleh hambaNya yang shalih; kesembuhan pun akan diperoleh dengan izin Allah Azza wa Jalla “.

Diantara bentuk pengobatan yang termasuk metode kedua ini ialah sebagai berikut:

- Membaca surat Al Fatihah, ayat kursi, dua ayat terakhir surat Al Baqarah, surat Al Ikhlash, An Naas dan Al Falaq sebanyak tiga kali atau lebih dengan mengangkat tangan, tiupkan ke kedua tangan tersebut seusai membaca ayat-ayat tadi, kemudian usapkan ke bagian tubuh yang sakit dengan tangan kanan.[23]

- Membaca ta’awwudz (doa perlindungan diri) dan ruqyah-ruqyah untuk mengobati sihir, di antaranya sebagai berikut:[24]

a. أسْألُ اللهَ العَظِيْمَ رَبَّ العَرْشِ العَظِيْمِ أنْ يَشْفِيَكَ

"Aku mohon kepada Allah Yang Maha Agung Pemilik ‘Arsy yang agung agar menyembuhkanmu (dibaca sebanyak tujuh kali)".[25]

b. Orang yang terkena sihir meletakkan tangannya pada bagian tubuh yang terasa sakit, kemudian membaca: (بِسْمِ الله) sebanyak tiga kali lalu membaca :

أعُوذُ بِالله وَ قُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أجِدُ وَ أحَاذِرُ

"Aku berlindung kepada Allah dan kekuasaan-Nya dari setiap kejelekan yang aku jumpai dan aku takuti". [26]

c. Mengusap bagian tubuh yang sakit sambil membaca doa :

اللهَُّمَ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبِ الْبَأْسَ وَاشْفِ أَنْتَ الشَّافِي لَا شِفَاءَ إِلَّا شِفَاؤُكَ شِفَاءً لَا يُغَادِرُ سَقَمًا

"Ya Allah, Rabb Pemelihara manusia, hilangkanlah penyakitku dan sembuhkanlah, Engkau-lah Yang Menyembuhkan, tiada kesembuhan melainkan kesembuhan dariMu, kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit.[27]

d. Membaca doa:

أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ غَضَبِهِ وَ عِقَابِهِ وَشَرِّ عِبَادِهِ وَمِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِينِ وَأَنْ يَحْضُرُونِ

"Aku berlindung dengan kalimat Allah yang sempurna dari kemarahanNya, dari kejahatan hamba-hambaNya, dan dari bisikan-bisikan setan dan dari kedatangan mereka kepadaku.

3. Metode ketiga : Mengeluarkan sihir tersebut dengan melakukan pembekaman pada bagian tubuh yang terlihat bekas sihir, jika hal itu memang memungkinkan. Bila tidak memungkinkan, maka ruqyah-ruqyah di atas telah mencukupi untuk mengobati sihir.

Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan rahasia pembekaman di bagian yang terkena sihir ini. Bahwa sihir itu tersusun dari pengaruh ruh-ruh jahat dan adanya respon kekuatan alami yang lahir dari ruh jahat tersebut. Inilah jenis sihir yang paling kuat, terutama pada bagian tubuh yang menjadi pusat persemayaman sihir tadi. Maka pembekaman pada bagian tersebut merupakan metode pengobatan yang sangat efektif bila dilakukan sesuai dengan cara yang tepat.[29]

4. Metode keempat : Dengan menggunakan obat-obatan alami sebagaimana disebutkan Al Qur’an dan As Sunnah, dengan disertai keyakinan penuh terhadap kebenaran firman Allah Subhanahu wa Ta'ala dan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang menerangkannya. Di antaranya dengan menggunakan madu, habbahtus sauda` (jinten hitam), air zam-zam, minyak zaitun dan obat-obatan lainnya yang dibenarkan syara’ sebagai obat. Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

الشِّفَاءُ فِي ثَلَاثَةٍ شَرْبَةِ عَسَلٍ وَشَرْطَةِ مِحْجَمٍ وَكَيَّةِ نَارٍ وَأَنْهَى أُمَّتِي عَنْ الْكَيِّ

"Pengobatan itu ada dalam tiga hal. (Yaitu): berbekam, minum madu dan pengobatan dengan kay (besi panas). Sedangkan aku melarang umatku menggunakan pengobatan dengan kay".[30

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha, ia mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ هَذِهِ الْحَبَّةَ السَّوْدَاءَ شِفَاءٌ مِنْ كُلِّ دَاءٍ إِلَّا مِنْ السَّامِ قُلْتُ وَمَا السَّامُ قَالَ الْمَوْتُ

“Sesungguhnya habbah sauda’ ini merupakan obat bagi segala jenis penyakit, kecuali as saam”. Aku (‘Aisyah) bertanya,”Apakah as saam itu?” Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,”Kematian." [31]

Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu 'anhu, ia mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

ماَءُ زَمْزَمَ لِمَا شُرِبَ لَهُ
"Air zam-zam itu tergantung niat orang yang meminumnya". [32]

Dari Umar bin Al Khaththab Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

كُلُوا الزَّيْتَ وَادَّهِنُوا بِهِ فَإِنَّهُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ

"Makanlah minyak zaitun dan minyakilah rambut kalian dengannya, karena sesungguhnya ia berasal dari pohon yang diberkahi".[33]

Demikianlah sekilas pembahasan tentang sihir berikut cara mencegah dan mengobatinya. Selayaknya bagi setiap pribadi muslim, terutama para pemimpin keluarga, untuk mengetahui hal ini dan mengajarkan kepada keluarganya. Agar anggota keluarga mampu membentengi diri dari kejahatan sihir. Selayaknya pula bagi pemimpin keluarga, untuk mengkondisikan keluarganya agar senantiasa taat kepada Allah Sang Pemelihara manusia. Membersihkan rumahnya serta menyingkirkan sejauh-jauhnya dari segala sarana yang mengundang kemaksiatan, seperti musik, majalah-majalah porno, gambar makhluk hidup dan sebagainya. Agar keluarganya mendapat curahan rahmat dan perlindungan dari Allah, terjauhkan dari gangguan iblis dan bala tentaranya. Wallahu waliyyut taufiiq. (Hanin Ummu Abdillah)

Maraji :
1. Ibnu Qayyim Al Jauziyyah, Zaadul Ma’ad, tahqiq dan takhrij Syu’aib Al Arnauth dan Abdul Qadir Al Arnauth, Mu’assasah Ar Risaalah, Cet. III, Th. 1421H/200M.
2. Sa’id bin Ali bin Wahf Al Qahthani, Ad Du’a Min Al Kitab Wa As Sunnah Wa Yalihi Al ‘Ilaj Bi Ar Ruqaa Min Al Kitab Wa As Sunnah.
3. Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh, Fathul Majid Syarhu Kitabit Tauhid, tahqiq Muhammad Hamid Al Faqi, ta’liq Abdullah bin Baz, dan takhrij Ali bin Sinan, Darul Fikr, Th. 1412H/1992M.
4. Shahih Al Bukhari bersama Fathul Bari.
5. Shahih Muslim.
6. Sunan Abu Dawud.
7. Jami’ At Tirmidzi.
8. Sunan Ibnu Majah.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06//Tahun IX/1426H/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Fathul Majid, tahqiq Muhammad Hamid Al Faqi, ta’liq Abdullah bin Baaz, dan takhrij Ali bin Sinan, hlm. 235.
[2]. Fathul Majid, tahqiq Muhammad Hamid Al Faqi, ta’liq Abdullah bin Baaz, dan takhrij Ali bin Sinan, hlm. 235
[3]. HR Al Bukhari, kitab Ath Thibb, Bab Hal Yastakhriju As Sihr, hadits no. 3175 (mu’allaq), 3268, 5763, 5765, 5766, 6063, 6391, dan Muslim, kitab As Salam, Bab As Sihr, hadits no. 2189.
[4]. Zaadul Ma’ad (4/114), tahqiq dan takhrij Syu’aib Al Arnauth dan Abdul Qadir Al Arnauth.
[5]. Al Qaulus Sadid, hlm. 93-94.
[6]. Lihat penjelasannya dalam Fathul Majid, Bab “Maa Ja`a fi As Sihr”.
[7]. HR Bukhari, kitab Ath Thibb, Bab Maa Anzalallahu Da’an Illa Anzala Lahu Syifa’an, hadits no. 5678.
[8]. Syaikh Ali bin Sinan berkata,”Hadits ini diriwayatkan oleh Al Bazaar (2067, Kasyful Astaar).” Al Mundziri berkata dalam At Targhiib (4/36): “Hadits ini diriwayatkan oleh Al Bazaar dan Abu Ya’la dengan sanad jayyid mauquf”. Sedangkan Al Hafizh berkata dalam Al Fath (10/216): ”Sanad hadits ini jayyid”. Lihat Fathul Majid, tahqiq Muhammad Hamid Al Faqi dengan takhrij Ali bin Sinan, hlm. 356.
[9]. Lihat penjelasannya dalam Risalah Fi Hukmi As Sihr Wal Kahanah, karya Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz.
[10]. Zaadul Ma’ad (4/ 114-117), tahqiq dan takhrij Syu’aib Al Arnauth dan Abdul Qadir Al Arnauth; dan Ad Du’a Min Al Kitab Wa As Sunnah Wa Yaliihi Al ‘Ilaj Bi Ar Ruqa Min Al Kitab Wa As Sunnah, karya Syaikh Sa’id bin Ali bin Wahf Al Qahthani, hlm. 85-89.
[11]. Taisir Karimir Rahman (1/1142) dengan ringkas.
[12]. HR Tirmidzi kitab Shifatil Qiyamah, hadits no. 2516.
[13]. Qawaid Wa Fawaid Min Al Arba’in An Nawawiyah, hlm.170-171 dengan ringkas.
[14]. HR Muslim, kitab Shalatil Musafirina Wa Qasriha, Bab Istihbabi Shalatin Nafilati Fi Baitihi Wa Jawaziha Fil Masjid, hadits no. 780.
[15]. Zaadul Ma’ad (4/116), tahqiq dan takhrij Syu’aib Al Arnauth dan Abdul Qadir Al Arnauth.
[16]. HR Bukhari, hadits no. 5445, 5768, 5769, 5779; dan Muslim, hadits no.2047.
[17]. Ad Du’a Min Al Kitab Wa As Sunnah, hlm. 89.
[18]. Ibid, hlm. 90-104.
[19]. Zaadul Ma’ad (4/114), tahqiq dan takhrij Syu’aib Al Arnauth dan Abdul Qadir Al Arnauth.
[20]. Fathul Baari (10/195).
[21]. Ad Du’a Min Al Kitab Wa As Sunnah, hlm. 80-82 dengan ringkas.
[22]. Fathul Baari (10/196).
[23]. HR Bukhari, 5735) -Fathul Baari (9/62) dan (10/208); Muslim, hadits no.2192.
[24]. Lihat secara lebih detail dalam Ad Du’a Min Al Kitab Wa As Sunnah, hlm. 92-101.
[25]. HR Abu Dawud, hadits no. 3106 dan At Tirmidzi, hadits no. 2083.
[26]. HR Muslim, no.2202 (67).
[27]. HR Al Bukhari, no. 5743, 5744, 5750 dan Muslim, no. 2191 (46-49).
[28]. HR Abu Dawud, hadits no. 3893 dan At Tirmidzi, no. 3528
[29]. Zaadul Ma’ad (4/115).
[30]. HR Bukhari, hadits no.5680 dan 5681- Al Fath (10/137).
[31]. HR Bukhari, hadits no. 5687 dan 5688; Muslim, hadits no. 2215.
[32]. HR Ibnu Majah, hadits no. 3062.
[33]. HR At Tirmidzi, hadits no. 1851 dan Ibnu Majah, hadits no. 3319.

Pengembaraan Salman Al Farisi Radhiyallahu Anhu Memeluk Islam

 PENGEMBARAAN SALMAN AL-FARISI RADHIYALLAHU ANHU MEMELUK ISLAM





Salman al Farisi, adalah seorang lelaki Persia dari Negeri Ashfahan. Ia sangat total dengan ajaran Majusiah, sampai bertugas sebagai penjaga sulutan api, yang selalu menyalakannya, tidak membiarkannya padam meskipun sejenak. Orang tuanya seorang kepala distrik, mempunyai ladang yang luas.

Suatu hari, lantaran kesibukannya, sang ayah berkata kepada anaknya: "Wahai anakku, aku sedang sibuk membangun tempat ini hari ini, hingga tak sempat memeriksa ladang. Pergilah engkau dan lihat".

Salman pun pergi menuju ladang keluarganya. Di tengah perjalanan, ia melewati sebuah gereja Nashara. Di situ, ia mendengar suara-suara mereka saat mengerjakan shalat. Pemuda Salman tidak mengerti apa yang mereka kerjakan, lantaran ayahnya menahannya di dalam rumah. Begitu melihat cara shalat mereka, benar-benar membuat Salman terkagum-kagum. Akhirnya, tertarik dengan tingkah-laku mereka.

Salman berkata: "Demi Allah, ini lebih baik dari ajaran agama yang sedang kami peluk. Demi Allah, aku tidak meninggalkan mereka sampai matahari terbenam". Ladangnya pun tidak ia pedulikan, tidak jadi mendatanginya.

"Dari mana asal agama ini?" tanya Salman kepada mereka.
Mereka menjawab,"Di Syam."

Kemudian Salman pulang ke rumah. Ternyata sang ayah telah mengutus seseorang untuk mencarinya. Kontan saja, ketika Salman sampai rumah, ayahnya bertanya: "Kemana saja engkau? Bukankah aku sudah menyuruhmu untuk melakukan sesuatu?"

Salman menjawab,"Tadi aku melewati sejumlah orang sedang mengerjakan shalat di sebuah gereja. Pemandangan praktek agama yang aku lihat membuatku takjub. Demi Allah, aku di sana terus bersama mereka sampai matahari terbenam".

Ayahnya berkata,"Anakku, tidak ada kebaikan pada agama itu. Agamamu dan agama nenek-moyangmu lebih baik darinya."

Salman menolak anggapan ayahnya: "Sekali-kali tidak, demi Allah. Sesungguhnya agama itu lebih baik dari agama kita".

Kemudian ayahnya mengancam anaknya itu, mengalungkan rantai di kaki dan menahan Salman tetap di dalam rumah.[1]

Dalam keadaan seperti itu, Salman meminta seseorang untuk menemui orang-orang Nashara, untuk menyampaikan, jika datang rombongan pedagang Nashara dari Syam kepada mereka, agar memberitahukan kepadanya. Kemudian ia pun mendapat berita yang ia inginkan.

Ketika para pedagang Nashara ini hendak pulang kembali ke negeri mereka, maka rantai besi yang melilitnya, ia putuskan dan kemudian Salman pergi bersama mereka, dan akhirnya sampai ke Syam.

Sesampainya di Syam, Salman bertanya: "Siapakah orang yang terbaik dari para pemeluk agama ini?"

Mereka menjawab: "Uskup yang berada di dalam gereja".

Salman pun mendatangi orang yang dimaksud, lantas berkata: "Sesungguhnya aku menyukai agama ini dan ingin hidup bersamamu. Melayanimu di gereja, belajar denganmu dan mengerjakan shalat bersamamu".

Uskup itu menjawab: "Masuklah!"

Akan tetapi, ternyata pendeta tersebut seorang yang berperangai buruk; menyuruh orang bersedekah dan menganjurkannya. Bila barang-barang telah terkumpul padanya, pendeta itupun menyimpannya untuk kepentingan pribadi, bukan untuk para fakir-miskin. Bahkan pendeta itu berhasil mengumpulkan tujuh tempayan berisi emas dan perak. Serta merta, kebencian kepada lelaki tersebut menyelinap pada diri Salman, begitu menyaksikan perbuatan sang pendeta.

Hingga saatnya kematian menjemput sang pendeta. Orang-orang Nashara berkumpul untuk menguburnya. Salman pun membuka kedok pendeta ini.

Salman berkata,"Sesungguhnya ini orang jelek. Memerintahkan kalian untuk bersedekah dan menganjurkannya. Bila kalian sudah menyerahkan kepadanya, ia menyimpannya untuk kepentingannya sendiri, tidak memberi kaum miskin apapun."

Orang-orang bertanya: "Darimana engkau tahu?"
"(Mari) aku tunjukkan simpanan hartanya," jawab Salman.
Mereka menjawab,"Tunjukkan kami."

Salman menuju tempat penyimpanan harta si pendeta itu. Orang-orang pun akhirnya berhasil mengeluarkan dari tempat itu sebanyak tujuh tempayan penuh dengan emas dan perak. Setelah menyaksikan, mereka berseru: "Demi Allah, kami tidak akan menguburnya selama-lamanya," maka mereka lantas menyalib lelaki tersebut dan melemparinya dengan bebatuan.

Kemudian, orang-orang mengangkat lelaki lain sebagai penggantinya. Keadaan lelaki ini lebih baik dari yang terdahulu, lebih zuhud terhadap dunia dan sangat memperhatikan masalah akhirat. Tidak ada orang yang lebih menjaga malam dan siangnya dari orang ini. Salman sangat mencintainya. Untuk beberapa lama, ia hidup bersama pendeta ini. Hingga saat ajal mendatangi pendeta itu, Salman berkata kepadanya.

"Wahai Fulan, aku telah bersamamu, benar-benar mencintaimu dengan kecintaan yang besar. Sementara itu, telah datang kepadamu keputusan Allah yang telah engkau saksikan (kematian). Kepada siapakah engkau berpesan bagiku? Apakah yang engkau perintahkan kepadaku?"

Ia menjawab,"Wahai anakku. Demi Allah, aku tidak mengetahui seorang pun sekarang ini yang berada di atas ajaranku. Orang-orang sudah binasa dan merubah-rubah (ajaran), dan telah meninggalkan banyak ajaran-ajaran sebelumnya, kecuali satu lelaki di Moshul. Yaitu Si Fulan. Ia masih sama dengan ajaranku. Ke sanalah!"

Ketika ia meninggal dan dikubur, Salman pun menemui lelaki yang dimaksud.
"Wahai Fulan, sesungguhnya Si Fulan telah berwasiat keapdaku saat akan meninggal, untuk menjumpaimu dan memberitahuku, bahwa engkau berada di atas ajarannya," kata Salman.

Lelaki itu menjawab: "Hiduplah bersamaku".

Selanjutnya, Salman hidup bersamanya. Lelaki ini adalah sosok yang baik. Namun, tidak berapa lama, ia pun meninggal. Ketika kematian akan mendatanginya, Salman memohon kepadanya:

"Wahai fulan, sesungguhnya Fulan dulu berpesan kepadaku untuk menemuimu dan memerintahkanku untuk menjumpaimu. Sekarang telah datang (keputusan) dari Allah, seperti yang engkau saksikan. Kepada siapakah engkau berwasiat bagiku? Apakah yang engkau perintahkan kepadaku?

Ia menjawab,"Wahai anakku, demi Allah, aku tidak mengetahui ada seseorang yang berada di atas kami, kecuali seorang lelaki di daerah Nashibin, yaitu Fulan. Temuilah ia!"

Ketika lelaki ini meninggal dan telah dikuburkan, Salman melaksanakan wasiat itu. Setelah berhasil menjumpai lelaki yang dimaksud, Salman pun menceritakan tentang dirinya dan wasiat yang disampaikan oleh pendeta sebelumnya.
Laki-laki menjawab: "Hiduplah bersamaku!"

Sosok laki-laki ini pun sama dengan dua kawannya. Dan tidak berapa lama kemudian, kematian mendatanginya. Ketika ia sedang sakaratul maut, Salman berkata kepadanya: "Wahai fulan, sesungguhnya Fulan (pendeta pertama), berpesan kepadaku untuk menjumpainya Fulan (pendeta kedua). Lalu ia berpesan kepadaku untuk menemuimu. Kepada siapa engkau berwasiat untukku? Apa yang engkau perintahkan?"

Ia menjawab: "Wahai anakku. Demi Allah, aku tidak mengetahui seseorang yang tetap berada di atas ajaran kami yang aku perintahkan engkau menemuinya, kecuali seseorang di daerah 'Amuriyyah. Ia masih sama dengan ajaran kami. Jika engkau mau, datangilah, sesungguhnya ia masih berada di atas ajaran kami!"

Usai penguburan, Salman pun pergi untuk menjumpai pendeta di 'Amuriyah dan menyampaikan kepadanya tentang dirinya. Pendeta itu pun berkata: "Menetaplah bersamaku!"

Salman hidup bersama dengan insan yang selaras dengan petunjuk dan tindak-tanduk kawan-kawannya. Ia pun dapat bekerja, sampai memiliki sapi-sapi dan kambing. Hingga kemudian datang juga keputusan Allah, yaitu kematian mendatangi pendeta ini. Ketika si pendeta mengahadapi sakaratul maut, Salman berkata kepadanya:

"Dulu aku bersama Fulan, kemudian ia berwasiat kepadaku untuk menjumpai Fulan. Dan lantas ia berpesan kepadaku untuk menemui Fulan. Dan selanjutnya berwasiat untuk mendatangimu. Kepada siapakah engkau berwasiat bagiku? Apakah yang engkau perintahkan kepadaku?"

Dia menjawab,"Wahai anakku. Aku tidak mengetahui ada orang yang masih berada di atas ajaran kami yang aku memerintahkan kepadamu untuk menjumpainya. Akan tetapi, telah datang kepadamu masa nabi (yang baru). Ia diutus di atas agama Ibrahim, bangkit di tanah Arab, melakukan hijrah ke tempat antara dua bukit batu yang pernah terbakar. Di sana tumbuh pohon kurma. Pada dirinya terdapat tanda-tanda yang tidak tersembunyi; mau makan hasil hadiah, tidak makan sedekah. Di antara dua pundaknya terdapat tanda kenabian. Jika engkau bisa pergi ke negeri itu, lakukanlah!"

Di 'Amuriyah, cukup lama Salman menghabiskan waktu di sana, hingga datanglah rombongan pedagang dari Bani Kalb, dan Salman pun berkata kepada mereka: "Maukah kalian membawaku ke Negeri Arab dan aku akan memberi kalian sapi-sapi dan kambing-kambingku ini?"

Mereka menjawab,"Baiklah!"

Salman memberikan itu semua kepada mereka dengan imbalan tumpangan sampai ke tanah Arab. Akan tetapi, mereka berbuat kenistaan kepadanya, dengan menjual dirinya kepada seorang lelaki Yahudi, layaknya seorang budak belian. Maka, Salman pun tinggal bersama lelaki Yahudi itu. Dan ternyata, Salman menyaksikan adanya pepohonan kurma di situ. Dia pun berharap, inilah tempat yang digambarkan kawannya (pendeta), tetapi ia belum merasa yakin.

Hingga suatu saat, datanglah kemenakan lelaki Yahudi itu dari Madinah. Yaitu dari Bani Quraizhah. Dia membeli Salman dari pamannya dan membawanya ke Madinah. Di kota Madinah ini, Salman menemukan kesesuaian dengan yang digambarkan pendeta terakhir yang ia jumpai. Salman akhirnya menghabiskan waktunya sebagai budak dengan majikan yang baru.

Berita tentang hijrah Nabi yang dibangkitkan di tanah Arab ke Madinah sudah tersiar. Saat pertama kali mendengar berita itu, Salman sedang berada di atas pohon kurma milik majikannya. Sedangkan majikannya sedang duduk.

Tiba-tiba kemenakan sang majikan ini datang dan berdiri di hadapannya, sambil berkata: "Semoga Allah memerangi Bani Qailah. Demi Allah, mereka sekarang berkumpul di Quba, mengelilingi seorang lelaki yang datang dari Mekkah hari ini, yang mengaku dirinya seorang Nabi".

Ketika Salman mendengarnya, seluruh tubuhnya gemetar, sampai mengira hampir jatuh menimpa majikan yang berada di bawahnya. Lalu Salman turun dari pohon kurma, dan bertanya kepada kemenakan si majikan: "Apa yang engkau katakan? Apa yang engkau katakan?"

Sang majikan marah dan menampar pipinya dengan pukulan yang sangat keras, lantas berkata,"Apa urusanmu dengannya? Teruslah bekerja!"

Salman menjawab,"Tidak ada apa-apa. Aku hanya ingin mengetahui ucapannya saja."

Sebelumnya, Salman telah mempunyai sesuatu (kurma) yang telah ia kumpulkan. Saat sore harinya, ia pergi menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang sedang berada di Quba.

Kata Salman,"Telah sampai kepadaku berita, kalau engkau orang yang baik, (datang) bersama para sahabatmu yang asing lagi memerlukan bantuan. Ini ada sesuatu untuk sedekah. Aku melihat kalian sangat berhak daripada orang lain," maka aku pun mendekatkan (sedekah itu) kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Rasulullah berkata kepada para sahabat: "Makanlah," tetapi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri menahan tangannya dan tidak mau makan.

Salman berkata dalam hati: "Ini tanda pertama".

Pada kesempatan berikutnya, Salman mengumpulkan sesuatu dan Rasulullah telah tinggal di Madinah. Salman berkata,"Aku melihatmu tidak mau makan sedekah. Ini adalah hadiah, aku ingin memuliakan dirimu dengannya," maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memakannya, dan menyuruh para sahabat ikut makan bersama beliau.

Dalam hati, Salman berkata: "Ini tanda kedua".

Berikutnya, Salman mendatangi Rasulullah ketika berada di Baqi Gharqad, yaitu ketika sedang melayat jenazah salah seorang sahabatnya. Beliau mengenakan dua kain, duduk di antara para sahabat.

Maka, Salman datang dan melontarkan salam kepada beliau. Setelah itu, ia berputar ke belakang untuk melihat punggung Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , untuk memastikan tanda kenabian yang disebutkan oleh pendeta. Ketika Rasulullah menyadari keingintahuan Salman, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melepaskan kain atasnya dari punggung, dan Salman menyaksikan tanda kenabian tersebut, sebagaimana ia mengenalnya dari cerita yang pernah ia dengar.

Kemudian, Salman segera mendekati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , menciumi tanda itu dan menangis. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Salman: "Kemarilah," maka aku ke depan beliau, dan aku bercerita kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . . .

Perang Khandaq merupakan perang pertama kali yang diikuti oleh sahabat mulia ini. Karena sebelumnya ia masih terkungkung oleh perbudakan. Sampai akhirnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memobilisasi para sahabat agar membantu Salman, yaitu untuk menebusnya. Setelah itu, Salman al Farisi tidak pernah absen menyertai Rasulullah dalam peperangan selanjutnya. (AM)

Sumber:
As-Silsilah ash-Shahihah (2/555-560 no. 894) secara ringkas. Asal hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam al Musnad (5/441-444), Ibnu Sa'ad dalam ath-Thabaqat (4/53-570), ath- Thabrani dalam Mu'jamul-Kabir (7/272/6065) dari Ibnu 'Abbas.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XI/1428H/2007. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan: "Salman beradu argumentasi dengan ayahnya tentang agama paganisme (syirik). Ketika berhasil mengalahkannya dengan hujjah, maka tidak ada jawaban selain belenggu rantai. Ini adalah jawaban yang biasa ditempuh oleh ahlil bathil, seperti yang dikatakan oleh Fir'aun kepada Musa, kaum Jahmiyah kepada Imam Ahmad dan ahli bid'ah terhadap Syaikhul Islam". Lihat al Fawaid, Ta'liq: Muhammad Muhammad Tamir, Darut Taqwa, halaman 42-43.

Kamis, 05 September 2013

Praktik Riba Merajalela



PENDAHULUAN
Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah Ta’ala. Shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluarga, dan sahabatnya. Amin

Kehidupan umat manusia terus berjalan dinamis sesuai dengan perjalanan waktu dan kemajuan teknologi. Kondisi ini tentu mempengaruhi gaya hidup umat manusia dalam segala aspek kehidupan, tidak terkecuali dalam hal bermaksiat. Karena itu, sudah sepantasnya bila anda mengenali kondisi dan fenomena yang terjadi disekitar anda. Dengan demikian, anda dapat mengambil yang positif dan menghidari yang buruk serta tidak terperangkap oleh bujuk rayu para penjajanya.

Di antara bentuk kemaksiatan yang mengalami modernisasi pola dan aplikasinya ialah praktik riba. Biang kehancuran ekonomi umat ini telah dimodifikasi sedemikian rupa, sampai-sampai diyakini sebgai “pilar utama” perekonomian umat manusia. System riba yang bertumpu pada pertumbuhan mata uang tanpa dibarengi dengan perputaran barang dan jasa, di zaman sekarang diimani dan ditetapkan di seluruh penjuru dunia. Sebab itu, wajar bila ekonomi dunia saat ini rapuh namun kejam. Yang kuat memakan yang lemah sehingga yang lemah semakin bertambah lemah.

Untuk menumbuhkan kewaspadaan terhadap ancaman riba, melalui tulisan ini kami berupaya utuk mengupas beberapa praktik riba yang telah merajalela dan mengalami modernisasi. Harapan kami, anda semakin waspada dan tidak terperdaya dengan sebutan dan berbagai propaganda manisnya.

PRAKTIK PERTAMA : KREDIT SEGITIGA
Praktik riba berupa piutang yang mendatangkan keuntungan sering kali dikemas dalam bentuk jual beli walaupun sejatinya jual beli yang terjadi hanyalah kamuflase belaka. Di antara bentuk kamuflase riba dalam bentuk jual beli ialah dalam bentuk perkreditan yang melibatkan tiga pihak : pemilik barang, pembeli dan pihak pembiayaan.

Pihak pertama sebagai pemilik barang mengesankan bahwa ia telah menjual barang kepada pihak kedua, sebagai pemilik uang dengan pembayaran tunai. Selanjutnya pembeli menjualnya kepada pihak ketiga dengan pembayaran diangsur, dan tentunya dengan harga jual lebih tinggi dari harga jual pertama.
Sekilas ini adalah jual beli biasa, namun sejatinya tidak demikian. Sebagai buktinya :

• Barang tidak berpindah kepemilikan dari penjual pertama.
• Bahkan barang juga tidak berpindah tempat dari penjual pertama
• Segala tuntutan yang berkaitan dengan cacat barang, penjual kedua tidak bertanggung jawab, namun penjual pertamalah yang bertanggung jawab.
• Sering kali pembeli kedua telah membayarkan uang muka (DP) kepada penjual pertama

Indikator-indikator tersebut membuktikan bahwa sejatinya pembeli pertama, yaitu pemilik uang hanyalah memiutangkan sejumlah uang kepada pihak ketiga. Selanjutnya dari piutangnya ini, ia mendapatkan keuntungan.

Jauh-jauh hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang praktik semacam ini, sebagaimana disebutkan pada hadits berikut.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (مَنْ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلاَ يَبِعْهُ حَتَّى يَقْبِضَهُ) قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا : وَأَخسِبُ كُلَّ شَيْءٍ بِمَنْزِلَةِ الطَّعَامِ

“Sahabat Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma menuturkan, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya’. “Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma berkata, “Dan saya berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya seperti bahan makanan”. [Riwayat Bukhari hadits no. 2025 dan Muslim no. 3913]

Sahabat Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma menjelaskan alasan dari larangan ini kepada muridnya, yaitu Thawus. Beliau menjelaskan bahwa menjual barang yang belum diserahkan secara penuh adalah celah terjadinya praktik riba.

قُلْتُ لاِبْنِ عَبَّاسٍ : كَيْفَ ذَاكَ؟ قَالَ : ذَاكَ دَرَاهِمُ بِدَرَاهِمَ وَالطَّعَامُ مُرْجَأ

Thawus bertanya kepada Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma, “Mengapa demikian?” Beliau (Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma) menjawab. “Itu karena sebenarnya yang terjadi adalah mejual dirham dengan dirham, sedangkan bahan makanannya ditunda (hanya kedok belaka)”. [Riwayat Bukhari hadits no. 2025 dan Muslim hadits no. 3913]

PRAKTIK KEDUA : PERGADAIAN
Di antara bentuk riba yang merajalela di masyarakat ialah riba pegadaian. Telah menjadi budaya di berbagai daerah, pihak kreditur memanfaatkan barang gadai yang diserahkan kepadanya. Bila gadai berupa ladang, maka kreditur mengelola ladang tersebut dan mengambil hasilnya. Dan bila gadai berupa kendaraan, maka kreditur sepenuhnya memanfaatkan kendaraan tersebut. Praktik semacam ini tidak diragukan sebagai bentuk riba karena dengan pemanfaatan ini sebagai bentuk riba karena dengan pemanfaatan ini kreditur mendapatkan keuntungan dari piutangnya.

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ رِبًا

Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan/keuntungan, maka itu adalah riba” [1]

Ketentuan hukum gadai ini selaras dengan penegasan Sa’id bin Musayyib rahimahullah bahwa :

لاَ يَغلِقُ الرَّهْنُ الرَّهْنُ مِنْ صَاحِبِهِ الَّذِى رَهَنَهُ لَهُ غُنْمُهُ وَعَلَيْهِ غُرْمُهُ

Barang gadai tidak dapat hangus. Gadai adalah milik debitur (yang berhutang), miliknyalah keuntungan dan tanggug jawabnya pula kerugiannya” [Riwayat Imam Syafi’i dalam kitab al-Umm : 3/170]

PRAKTEK KETIGA : MENGAITKAN NILAI PIUTANG DENGAN HARGA BARANG
Di antara bentuk riba yang kini telah merajalela di masyarakat ialah mengaitkan nilai piutang dengan nilai emas atau barang lainnya. Bila anda berhutang uang sebesar Rp. 1000.000 lima tahun silam, dan kala itu dengan satu juta anda dapat membeli 5 gram emas, maka ketika melunasi anda diminta membayar sejumlah uang yang dapat digunakan membeli emas seberat 5gram pula. Akibatnya, ketika pelunasan anda harus mengembalikan piutang anda dalam nomnal yang lebih besar. Misalnya bila nilai emas saat pembayaran adalah Rp. 300.000/gram maka anda harus membayar piutang anda sebesar Rp. 1.500.000.

Praktik semacam ini tidak diragukan keharamannya, karena ini nyata-nyata riba, berhutang satu juta kembali satu juta lima ratus ribu rupiah. Hutang piutang adalah salah satu bentuk akad tolong menolong sehingga tidak boleh ada pemikiran untung atau rugi. Yang ada hanyalah itikad baik menolong saudara yang kesusahan atau membutuhkan kepada uluran tangan. Adapun balasan atas uluran tangan ini hanyalah diminta dari Allah Ta’ala semata.

مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤ مِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الذُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُربَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللَّهُ فِىعَوْنِ الْعَبْدِ مَاكَانَ الْعَبْدُ فِى عَوْنِ أَخِيهِ

“Barangsiapa melapangkan suatu kesusahan seorang mukmin di dunia, niscaya Allah melonggarkan satu kesusahannya di akhirat. Barangsiapa memudahkan urusan orang yang ditimpa kesulitan, niscaya Allah memudahkan urusannya di dunia dan akhirat. Baragsiapa menutupi kekurangan (aib) seorang muslim di dunia, niscaya Allah menutupi kekurangannya di dunia dan akhirat. Dan Allah senantiasa menolong seorang hamba selama ia juga menolong sudaranya” [Riwayat Muslim hadits no. 7028]

Praktik semacam ini muncul karena doktrin riba telah merasuki jiwa masyarakat. Praktik riba senantiasa memandang suram masa depan, sehinga doktrin inflasi dianggap sebagai suatu kepastian yang tidak mungkin berubah. Padahal faktanya tidak selalu demikian, karena anda pasti mengetahui bahwa betapa banyak barang yang dahulu memiliki nilai jual dan kini tidak lagi laku dijual.

PRAKTEK KEEMPAT : TUKAR TAMBAH EMAS
Di antara bentuk riba yang banyak ditemukan di masyarakat ialah tukar tambah emas. Emas lama ditukar dengan emas baru, tanpa ada eksekusi fisik terhadap uang hasil penjualan emas lama. Tidak diragukan bahwa praktik semacam ini terlarang karena ini termasuk riba fadhal yang diharamkan pada hadits berikut:

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ، سَوَاءً بِسَوَاءٍ، يَداً بِيَدٍ، فَمَنْ زَادَ أَوْ ا سْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُغطِي فِيْهِ سَوَاء

"Emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, (takaran/timbangannya) harus sama dan kontan. Barangsiapa menambah atau meminta tambahan maka ia telah berbuat riba, penerima dan pemberi dosanya sama” [Riwayat Muslim hadits no. 1584]

Bila anda tidak rela emas baru anda ditukar sama dengan emas lama, maka solusinya ialah belilah dahulu emas lama dengan uang tunai. Dan setelah pembayaran dilakukan dan banar-benar terjadi eksekusi pembayaran, maka dengan uang hasil penjualan itu, penjual bisa membeli emas baru anda. Demikianlah solusi yang diajarkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menghindari riba pada praktik barter barang sejenis.

اسْتَعْمَلَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا عَلَى خَيْبَرَ، فَجَاءَهُ بِتَمْرِجُنَيْبٍ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (( أَكُلُّ تَمْرِ خَيْبَرَ هَكَذَا ؟ )) فَقَالَ :لاَ, وَاللهِ يَا رَسُوْلَ اللهِ, إِنَّا لَنَأْخُذُ الصَّاعَ مِنْ هَذَا بِالصَّاعَيْنِ، وَالصَّاعَيْنِ بِالثَّلاَثَةِ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ((فَلاَ تَفْعَلْ, بِعْ الْجَمْعَ بِالدَّرَاهِمِ، ثُمَّ ابْتَعْ بِالدَّرَاهِمِ جُنَيْبًا)) وَفِي رِوَايَةٍ : قَالَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ((أَوَّهْ عَيْنَ الرِّبَا، لاَ تَفْعَلْ، وَلَكِنْ إِذَا أَرَدْتَ أَنْ تَشْتَرِيَ التَّمْرَ فَبِعْهُ بِبَيْعٍ آخَرَ ثُمَّ اشْتَرِ بِهِ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menunjuk seseorang menjadi pegawai/perwakilan beliau di daerah Khaibar. Pada suatu saat pegawai tersebut datang menemui beliau dengan membawa kurma dengan mutu terbaik. Spontan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Apakah seluruh kurma daerah Khaibar demikian ini?” Ia menjawab, “Tidak, Ya Rasulullah, sungguh demi Allah, kami membeli satu takar dari kurma ini dengan dua takar (kurma lainnya), dan dua takar dengan tiga takar”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah engkau lakukan, juallah kurma yang biasa dengan uang dirham, kemudian dengan uang dirham tersebut belilah kurma dengan mutu terbaik tersebut”

“Dan pada riwayat lain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aduh (itulah) riba yang sebenarnya, janganlah engkau lakukan. Akan tetapi, bila engkau hendak membeli kurma (dengan mutu baik) maka juallah kurma milikmu (yang mutunya rendah) dengan penjualan tersendiri, kemudian dengan (uang) hasil penjualannya belilah kurma yang bagus” [Riwayat Bukhari hadits no 2089 dan Muslim hadits no. 1593]

PRAKTIK KELIMA : JUAL BELI EMAS ONLINE
Kemajuan dunia iformatika telah merambah ke segala lini kehidupan manusia, tanpa terkecuali sektor perniagaan. Dengan bantuan teknologi informasi yang begitu canggih, perniagaan semakin mudah dan berkembang pesat. Akibatnya, anda sebagai pengusaha tidak lagi perlu bepergian jauh untuk menemui kolega anda atau lainnya. Semuanya bisa anda lakukan melalui jaringan internet, baik berjumpa dengan kolega, atau meninjau barang atau kegiatan lainnya. Kemajuan ini tentu merupakan kenikmatan yang sepantasnya anda syukuri dan manfaatkan sebaik mungkin, demi terwujudnya kemaslahatan sebesar mungkin untuk anda

Walau demikian halnya, anda tetap saja harus mengindahkan batas-batas syari’at sehingga tidak terjerumus kedalam perbuatan haram. Diantara batasan syari’at yang harus anda indahkan dalam perniagaan ialah ketentuan tunai dalam jual beli emas dan perak. Bila anda membeli atau menjual emas, maka harus terjadi serah terima barang dan uang langsung. Eksekusi serah terima barang dan uang ini benar-benar harus dilakukan pada fisik barang, dan bukan hanya surat-menyuratnya. Penjual menyerahkan fisik emas yang ia jual, dan pembeli menyerahkan uang tunai, tanpa ada yang tertunda atau terhutang sedikitpun dari keduanya.

Dengan demikian, jual beli emas online yang banyak dilakukan oleh pedagang saat ini nyata-nyata bertentangan dengan hadits berikut:

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ، سَوَاءً بِسَوَاءٍ، يَداً بِيَدٍ، فَمَنْ زَادَ أَوْ ا سْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُغطِي فِيْهِ سَوَاء

“Emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, (takaran/timbangannya) harus sama dan kontan. Barangsiapa menambah atau meminta tambahan maka ia telah berbuat riba, penerima dan pemberi dosanya sama” [Riwayat Muslim hadits no. 1584]

PRAKTIK KEENAM : KARTU KREDIT
Yaitu suatu kartu yang dapat digunakan untuk penyelesaian transaksi ritel[2] dengan system kredit. Dengan kartu ini pengguna mendapatkan pinjaman uang yang dibayarkan kepada penjual barang atau jasa dari pihak penerbit kartu kredit. Sebagai konsekwensinya, pengguna kartu kredit harus membayar tagihan dalam tempo waktu yang ditentukan, dan bila telat maka ia dikenai penalty atau denda.

Tidak diragukan bahwa praktik semacam ini adalah riba karena penggunaan kartu kredit berarti berhutang, sehingga penalty yang dibebankan atas setiap keterlambatan adalah riba.

Mungkin anda berkata, “Bukankah denda hanya dikenakan bila terjadi keterlambatan? Dengan demikian, bila saya tidak telat maka saya tidak berdosa karena tidak membayar riba atau bunga”.

Saudaraku ! Walaupun pada kenyataannya anda tidak pernah telat –sehingga tidak pernah tekena penalty- anda telah menyetujui persyaratan haram ini. Persetujuan atas persyaratan haram ini sudah termasuk perbuatan dosa yang tidak sepantasnya anda meremehkan.

Sebagai solusinya, anda dapat menggunakan kartu debet, sehingga anda tidak behutang kepada penyedia kartu. Yang terjadi pada penggunaan kartu debet sejatinya adalah sewa menyewa jasa transfer atas setiap tagihan anda. Karena setiap anda menggunakan kartu anda, pihak penerbit kartu langsung memotongkan jumlah tagihan dari tabungan anda.

PRKATIK KETUJUH : SUKUK
Diantara praktik riba yang mengalami modernisasi –sehingga banyak umat Islam yang terperdaya- ialah jual beli ‘inah. Modernisasi jual beli ‘inah terwujud dalam bentuk jual beli sukuk yang berbasis asset. Sukuk yang berarti surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syari’ah yang dikeluarkan emiten[3] kepada pemegang obligasi syari’ah. Berdasarkan sukuk ini emiten wajib membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syari’ah berupa bagi hasil margin atau fee, serta membayar kembali dana obligasi saat jatuh tempo.

Namanya keren, namun sejatinya adalah jual beli ‘inah. Untuk lebih jelasnya, berikut alur penerbitan sukuk al-ijarah. Pemerintah atau perusahaan menjual suatu asset (misalnya gedung atau tanah) kepada suatu perusahaan yang ditunjuk, misalnya PT B yang berperan sebagai emiten. Dan pada akad penjualan disepakati pula :

• Pemerintah atau perusahaan penjual akan membeli kembali asset tersebut setelah jangka waktu tertentu (10 tahun –misalnya)
• Pemerintah atau perusahaan penjual menyewa kembali asset tersebut selawam waktu 10 tahun, dengan harga jual sama dengan harga jual pertama. Tentunya dalam menentukan besarnya sewa dan hasil investasi tersebut ada kandungan bagi-hasil yang harus dibayarkan kepada para pemegang sukuk.

Dari penjelasan sederhana ini tampak dengan jelas bahwa :

Kepemilikan atas asset tersebut sejatinya tetap berada di tangan pemerintah, sepanjang pembayaran kembali investasi sukuk kepada investor tersebut berjalan lancar.

Penerbitan sukuk al-ijarah tersebut juga tidak mengubah pemanfaatan asset yang bersangkutan[4]

Anda bisa cermati bahwa sejatinya yang terjadi adalah hutang piutang dengan mendatangkan keuntungan. Sementara itu, akad jual beli dan kemudian sewa-menyewa yang ada hanyalah kamuflase belaka. Hal ini tampak dengan jelas karena penjualan kembali asset yang menjadi underlying sukuk setelah jatuh tempo seharga waktu jual pada awal penerbitan sukuk, tanpa peduli dengan nilai jual sebenarnya yang berlaku di pasar.

Praktik semacam ini sejatinyalah ialah praktik jual beli ‘inah. Dahulu praktik ‘inah sangat sederhana, yaitu anda menjual barang kepada pihak kedua dengan harga terhutang. Dan kemudian anda membeli kembali barang tersebut darinya dengan pembayaran tunai dan tentunya dengan harga yang lebih murah. Jual beli ‘inah ini dicela pada hadits berikut.

إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِيْنَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيْتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوْا إِلَى دِيْنِكُمْ

“Bila kalian telah berjual beli dengan cara ‘inah, sibuk mengurusi sapi (peternakan), merasa puas dengan hasil pertanian, dan meninggalkan jihad, nisacaya Allah menimpakan kepada kalian kehinaan yang tidak pernah Ia angkat hingga kalian kembali kepada agama kalian” [5]

Karena itu International Islamic Fiqh Academy dari Organisasi Konferensi Islam dalam keputusannya yang bernomor 178 (4/19) tahun 1430H/2009M mensyaratkan agar pembelian kembali sukuk mengikuti harga yang berlaku di pasar pada saat pembelian dan bukan menggunakan harga jual pertama pad saat penerbitan.

PENUTUP
Apa yang dipaparkan di sini hanyalah sebagian dari praktik-praktik riba yang banyak beredar di masyarakat. Masih banyak lagi praktik-praktik riba yang belum saya kemukakan di sini. Semoga apa yang dikemukakan disini dapat menjadi contoh bagi anda sehingga anda semakin waspada terhadap berbagai perangkap riba. Pada akhirnya, saran dan kritik dari anda sangat saya nantikan, semoga Allah Ta’ala senantiasa menambahkan ilmu yang bermanfaat dan memudahkan amal shalih bagi kita semua. Wallahu Ta’ala A’lam bish-shawab.

[Disalin dari Majalah Al-Furqon, Edisi 2, Tahun ke-II/Syawal 1432 (Sept-Okt 2011. Diterbitkan Oleh Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon Al-Islami, Alamat : Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jatim]
_______
Footnote
[1]. Baca al-Muhadzdzab oleh asy-Syairazi : 1/304, al-Mughni oleh Ibnu Qudamah : 4/211 dan 213, Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyyah : 29/533, Ghamzu ‘Uyun al-Basha’ir 5/187, asy-Syarhul Mumti : 108-109, dan lain-lain
[2]. Ritel atau retail/retail ialah usaha bersama dalam bidang perniagaan dalam jumlah kecil kepada pengguna akhir (lihat Kamus Bahasa Indonesia – BSE http://bse.kemdiknas.go.id/)
[3]. Emiten badan usaha (pemerintah) yang mengeluarkan kertas berharga untuk diperjualbelikan (lihat KBBI Daring – http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/ di akses pada 12 Juli 2011)
[4]. Disarikan dari http://www.managementfile.com/coulum.php?sub=bondsmutual&id=1278&page=bondsmutual&awal=20
[5]. Riwayat Ahmad : 2/42, Abu Dawud hadits no. 3464, dan dinyatakan shahih oleh al-Albani, dalam Silsilah al-Hadits ash-Shahihah hadits no. 11
sumber almanhaj.or.id