Minggu, 16 Juni 2013

Mengikuti Madzhab Tertentu, Haruskah?


Mengikuti Madzhab Tertentu, Haruskah?

Rep: Sholah Salim

MENGIKUTI madzhab fiqih tertentu, haruskah? Sebelum menjawab pertanyaaan tersebut perlu kita mengetahui sejatinya apa sebenarnya makna madzhab itu. Imam Al Mahalli menyatakan, bahwa madzhab adalah apa-apa yang dipilih oleh Imam As Syafi’i dan para pengikutnya terhadap hukum dalam berbagai masalah, sebagaimana disebutkan Imam Al Mahalli dalam Syarh beliau terhadap Al Minhaj. (lihat, Hasyiyatani Qalyubi wa Umairah, 1/7)
Dengan definisi di atas, jika disebut misalnya, “madzhab As Syafi’i”, maka yang dimaksud tidak hanya mencakup pendapat Imam As Syafi’i, namun juga pendapat para ulama mu’tabar pengikutnya.
Jika madzhab adalah produk berupa pendapat-pendapat hukum, tentu madzhab juga memiliki ushul (pijakan) atau dalil serta metodologi. Dimana dengan keduanya, maka terciptalah produk berupa pendapat-pendapat fiqih. Dan seluruh madzhab sepakat bahwa ushul adalah Al Qur`an, As Sunnah, ijma dan qiyas dan ada perbedaan pendapat mengenai penggunaan perkataan shahabat, amal ahli madinah, istihsan, mashalih mursalah dan istishab. Demikian pula dalam hal metodologi “pengolahan” dalil, masing-masing madzhab memiliki ciri khas satu sama lain. Jika diandaikan bahwa madzhab adalah menu yang siap dikonsumsi yang berupa pandangan fiqih yang sudah matang, maka perlu adanya bahan untuk menu itu yang disebut ushul atau dalil, juga metodologi memasaknya. Seperti itulah gambar singkat mengenai apa itu madzhab fiqih.
Dengan gambaran tersebut, sejatinya mengikuti salah satu madzhab fiqih merupakan bentuk konsistensi terhadap ushul atau dalil juga terhadap metodologi, meski terkadang menghasilkan produk berbeda karena perbedaan tingkatan kemampuan yang menyebabkan terjadinya khilaf pendapat dalam satu madzhab.
Jika demikian, maka pertanyaan apakah seseorang itu harus mengikuti madzhab tertentu, sama dengan pertanyaan apakah seseorang itu harus konsisten mengikuti dalil atau ushul serta metodologi terntentu dalam mengambil kesimpulan dari dalil itu. Jadi haruskah seseorang itu konsisten? Dengan menjawab ini maka kita temukan jawaban pertanyaan “haruskah mengikuti madzhab tertentu dalam fiqih?”
Varian dalam Bermadzhab
Dalam realita, sejak masa salaf (madzhab-madzhab fiqih di masa salaf akan dibahas di kesempatan lain) hingga kini ulama mu’tabar hanya terbagi menjadi dua, yakni ulama mujtahid muthlak pengasas madzhab kemudian ulama  mengikuti madzhab mujtahid.
Mujtahid Muthlaq
Mereka yang memperoleh tingkatan paling tinggi dalam dunia keilmuan, khususnya berkenaan dengan syariat disebut sebagai mujtahid mutlak, atau mufti mustaqil (independen) Artinya, tidak terikat dengan madzhab. Bahkan mujtahid inilah perintis madzhab.  Mereka tidak hanya memiliki produk pemikiran yang berupa fiqih, tapi mereka juga menciptakan metode dalam menggali hukum-hukum syariat dari dalilnya. Orang-orang khusus ini semisal Imam Madzhab 4 serta ulama mujtahid mutlak lainnya, semisal Al Auza’i, At Tsauri, Al Laits juga 4 al Khulafa’ ar Rasyidun.
Mujtahid Madzhab
Selanjutnya tingkatan di bawah mujathid mutlak adalah mujtahid madzhab atau mujtahid mutlak ghairu mustaqil (tidak independen), yakni ulama yang tidak taqlid kepada imamnya, baik dalam pendapat atau dalilnya namun tetap menisbatkan kepada imam karena masih mengikuti metode ijithad imam. ( lihat, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzadzab, 1/72)
Dalam tingkatan ini, mulailah ulama itu bermadzhab pada madzhab mujtahid tertentu, hanya saja dengan cara konsisten kepada ushul dan metodologi yang ditetapkan imam madzhab, namun untuk masalah hasil, kadang bisa berbeda dengan imam. Merekalah yang dilarang taklid terhadap hasil ijtihad imam. Pada ulama derajat inilah diterapkan perkataan imam madzhab “hadits shahih adalah madzhabku” (baca, “Hadits Shahih Madzhabku”, Ditujukan kepada Mujtahid, juga :Hadits Shahih Madzhabku, Bukan untuk yang Belajar dari Terjemahan)
Ulama Syafi’iyah yang sampai pada derajat ini adalah Imam Al Muzani dan Al Buwaithi. Di kalangan muta’akhirin Imam As Suyuthi juga mengaku sampai pada derajat ini (lihat, Nihayah Az Zain, hal. 7 dan Bughyah Al Mustarsyidin, hal. 7)
Dalam madzhab Hanafi, ulama yang sampai dalam tingkatan ini adalah Imam Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan yang merupakan murid Imam Abu Hanifah. (lihat,  Syarh ‘Ala Jami’ As Shaghir Al Laknawi, 1/7)
Dalam madzhab Maliki ulama yang sampai pada derajat ini adalah Imam Ibnu Qasim dan Asyhab. (lihat, Nail Ibtihaj, hal. 441)
Dalam Madzhab Hanbali yang menyatakan sampai pada derajat ini adalah Qadhi Abu Ali Al Hasyimi juga Qadhi Abu Ya’la. (lihat, Sifat Al Fatwa, Ibnu Hamdan, hal. 17)
Ashab Al Wujuh
Di bawah para ulama mujtahid madzhab ada ulama ashab al wujuh, yakni mereka yang taqlid kepada imam dalam masalah syara’, baik dalam dalil maupun ushul Imam. Namun, mereka masih memiliki kemampuan untuk menentukan hukum yang belum disimpulkan imam dengan menyimpulkan dan menkiyaskan (takhrij) dari pendapat Imam, sebagaimana para mujtahid menentukannya dengan dalil. Biasanya mereka mencukupkan diri dengan dalil imam. (lihat Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/73)
Dari para ulama yang mencapai derajat ini adalah Imam Al Qaffal dan Imam Abu Hamid atau Ahmad bin Bisyr bin Amir, mufti Syafi’iyyah di Bashrah. (lihat, Mukhtashar Al Fawaid Al Makiyyah, hal.53)
Dalam madzhab Hanafi, Abu Bakr Al Jashas digolongkan dalam kelompok ini. (lihat, Syarh Al Laknawi li Al Jami’ As Shaghir, 8/1)
Mujtahid Tarjih
Golongan ini juga disebut sebagai mujtahid fatwa, termasuk para ulama yang tidak sampai pada derajat ashab al wujuh, namun menguasai madzhab imam dan dalilnya serta melakukan tarjih terhadap pendapat-pendapat dalam madzhab. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/73)
Perlu diketahui, dengan adanya mufti-mufti yang berada di atas tingkatan ini, dalam madzhab sudah banyak terjadi khilaf, baik antara imam dengan mujtahid madzhab juga disebabkan perbedaan kesimpulan para ashab al wujuh terhadap pendapat imam. Disinilah ulama pada tingkatan ini berperan untuk mentarjih. Namun tarjih masih dilakukan dalam ruang lingkup ulama dalam madzhab yang dianut, karena terikat dengan metodologi madzhab yang dipegang
Dalam madzhab As Syafi’i, mereka yang berada dalam tingkatan ini Imam Ar Rafi’i dan Imam An Nawawi (lihat, An Nihayah, hal. 7 dan Al Bughyah, hal. 7)
Mufti Muqallid
Tingkatan mufti dalam madzhab yang paling akhir adalah mereka yang menguasa madzhab baik untuk masalah yang sederhana maupun yang rumit. Namun tidak memiliki kemampuan seperti mufti-mufti di atasnya. Maka fatwa mufti yang demikian bisa dijadikan pijakan penukilannya tentang madzhab dari pendapat imam dan cabang-cabangnya yang berasal dari para mujtahid madzhab. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/74)
Ibnu Hajar Al Haitami,  Imam Ar Ramli  dalam madzhab As Syafi’i termasuk kelompok mufti muqallid, walau sebagian berpendapat bahwa mereka juga melakukan tarjih dalam beberapa masalah. (lihat, Nihayah Az Zain, hal. 7 dan Bughyah Al Mustarsyidin, hal. 7)
Manusia Awam
Di atas adalah tingkatan kemampuan ulama yang memiliki otoritas dalam keilmuwan berkenaan dengan syariat, adapun untuk manusia awam, apakah harus terikat dengan madzhab tertentu? Pendapat yang shahih menurut An Nawawi dan Az Zarkasyi adalah tidak terikat dengan madzhab karena para sahabat tidak mengingkari kaum awam taklid siapa saja. (Bahr Muhith, 8/374)
Kita telah mengetahui tingkatan kemampuan para ulama mu’tabar seperti di atas dimana seluruhnya, kecuali mujtahid muthlaq mengikuti madzhab ulama mujtahid tertentu, dengan keistimewaan sesaui dengan kemampuannya.
Di Mana Posisi Kita?
Nah, ketika kita menilai bahwa kita harus konsisten terhadap dalil dan metodologi tertentu sebagaimana sikap para ulama mu’tabar, kita kemudian bisa mulai mengukur di mana posisi kita. Apakah kita sedang berada di posisi mujtahid muthlaq semisal Imam Abu Hanifah yang tidak terikat dengan madzhab mujtahid lain dan menyimpulkan nash-nash secara mandiri dengan metodologi sendiri? Atau mujtahid madzhab seperti Imam Al Buwaithi yang berijtihad dengan metode imamnya? Atau melakukan tarjih untuk pendapat dalam satu madzhab setingkat dengan Imam An Nawawi? Atau menguasai pendapat madzhab baik yang pelik maupun yang mudah namun dengan cara taklid seperti Imam Ar Ramli? Ataukah awam, yang memperoleh kemudahan untuk taklid siapa saja? Tentu, awam tidak memiliki otoritas dalam keilmuan, hanya menerima dari para ulama.*





Editor: Thoriq

Jihad fie Sabilillah Membebaskan dari siksa api neraka dan memasukakan kedalam syurga


Oleh: Ustadz Abu Muhammad Jibriel A.R (Arrahmah.com) –
Para ikhwah dan akhwat yang dicintai dan dirahmati Allah. Ketahulah bahwa kalimat Jihad fie sabilillah adalah wahyu Allah. Ayat-ayat nya didalam Al Qur’an hampir mencapai 300-16 ayat, melebihi ayat tentang shalat, puasa , zakat dan hajji. Sebagian besar umat Islam kurang bersahabat dengannya, berbeda dengan ayat-ayat shalat, zakat, puasa dan hajji. Akibatnya dikalangan ummat Islam ada yang benci, apriori bahkan cenderung takut dan menentang ayat-ayat jihad. Sebagai Muslim yang shalih tidak sepatuttnya memiliki sikap munafiq (satu wajah dua muka), artinya sebagian ayat Allah seperti shalat, puasa dan hajji sangat dicintai dan disanjung namun bila sampai kepada ayat jihad, marah benci dan menentang. Apakah ayat berikut ini tidak menjadikan hati kita merindui jihad fiesabilillah yang memiliki potensi membawa masuk kedalam syorga ? Firman Allah: “Wahai orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat membebaskan kamu dari siksa yang amat pedih (neraka), yaitu kamu beriman kepada Allah dan Rasul Nya, lalu kamu berjihad dijalan Allah dengan harta dan jiwamu, yang demikian ini lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Kemudian Allah akan ampunkan dosa-dosamu, dan akan masukkan kamu kedalam sorga yang mengalir sungai-sungai dibawahnya, itulah keberuntungan yang besar.” (QS Shaaf 61:10-11). Alangkah indah dan bahagianya jika kaum Muslim mencintai dan beramal jihad sebagaiman cintanya kepada amalan hajji dan umrah, shalat dan puasa… Mari kita mendekatkan diri dengan amalan yang menjadi puncak ketinggain Islam ini, jihad fie sabilillah.Wallahu’alam bish showab

Jumat, 07 Juni 2013

Merajut ukhuwah Islamiyah dalam penegakan syari'ah


Oleh:
Ustadz Abu Muhammad Jibriel Abdurrahman

(Arrahmah.com) – Alhamdulillah dengan izin dan rahmat Allah, kita dapat bertemu dan berkumpul dalam Mejelis Ilmu yang mulia ini, semoga Allah senantiasa merahmati kita dengan hidayah-Nya yang tidak pernah terputus. Topik bahasan kita kali ini ialah “MERAJUT UKHUWAH ISLAMIYAH DALAM PENEGAKAN SYARI’AH”

Dalam mukaddimah ini dinukil sebuah kaedah masyhur, yang diungkapkan oleh seorang tokoh ulama pergerakan bernama: Sayyid Muhammad Rasyid Ridha. Ungkapan itu berbunyi:

نَتَعَاوَنُ فِيْماَ اتَّفَقْنَا عَلَيْهِ، وَيَعْذُرُ بَعْضُنَا بَعْضًا فِيْمَا اخْتَلَفْنَا فِيْهِ .

“Kita bantu-membantu dalam masalah yang kita sepakati, dan bersikap toleran dalam masalah yang kita perselisihkan.”

Kaedah ini telah dikomentari oleh Ketua Mejelis Ulama Dunia: DR. Yusuf Al-Qaradhawi ketika menjawab sebuah pertayaan dari seorang penanya yang berbunyi:

”Saya sering membaca buku-buku Ustadz dan mendengar ceramah-ceramah Ustadz yang menyeru kepada kaidah yang berbunyi: “Kita bantu-membantu (bertolong-tolongan) dalam masalah yang kita sepakati, dan bersikap toleran dalam masalah yang kita perselisihkan.” Siapakah yang mencetuskan ungkapan seperti itu? Apakah ia mempunyai dalil syara’? Bagaimana kita harus bantu-membantu dengan ahli-ahli bid’ah dan para penyeleweng? Dan bagaimana kita harus toleran dengan orang yang menyelisihi kita dan bahkan menyelisihi nash Al-Qur’an dan As-Sunnah? Bukankah kita dituntut untuk mengingkari dan menjauhinya, dan sebaliknya tidak bersikap toleran kepadanya? Bukankah Antara lain Qur’an mengatakan (yang artinya): “… jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul” (QS. an-Nisa’: 59)? Mengapa kita tidak mengembalikannya saja kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan bukan malah menolerirnya?

Adakah toleransi bagi si penentang nash? Terus terang, masalah ini masih samar bagi kami. Karena itu kami membutuhkan penjelasan Ustadz, terutama dalil-dalilnya. Kami yakin Ustadz mempunyai keahlian mengenai masalah ini sesuai dengan apa yang diberikan Allah kepada Ustadz. Semoga Allah memberi Ustadz pahala.

Jawaban DR. Yusuf Al-Qaradhawi [1]

Yang membuat kaidah atau ungkapan. Kita bantu-membantu (tolong-menolong) mengenai apa yang kita sepakati dan bersikap toleran dalam masalah yang kita perselisihkan adalah al-Allamah Sayyid Rasyid Ridha rahimahullah, pemimpin madrasah Salafiyyah al-Haditsah, pemimpin majalah al-Manar al-Islamiyyah yang terkenal itu, pengarang tafsir, fatwa-fatwa, risalah-risalah, dan kitab-kitab yang mempunyai pengaruh besar terhadap dunia Islam. Sebelum ini, beliau telah mencetuskan kaidah al-Manar adz-Dzahabiyyah yang maksudnya ialah “tolong-menolong sesama ahli kiblat” secara keseluruhan dalam menghadapi musuh-musuh Islam.

Beliau mencetuskan kaidah tersebut tidak sembarang, tetapi berdasarkan petunjuk Al-Qur’an, As-Sunnah, bimbingan salaf salih, karena kondisi dan situasi, dan karena kebutuhan umat Islam untuk saling mendukung dan membantu dalam menghadapi musuh mereka yang banyak. Meskipun diantara mereka terjadi perselisihan dalam banyak hal, tetapi mereka bersatu dalam menghadapi musuh. Inilah yang diperingatkan dengan keras oleh Al-Qur’an, yaitu: orang-orang kafir tolong-menolong antara sesama mereka, sementara orang-orang Islam tidak mau saling menolong antara sesamanya. Allah berfirman:

“Orang-orang kafir, satu dengan lainnya saling tolong-menolong. Wahai kaum mukmin, jika kalian satu dengan lainnya tidak saling tolong menolong, maka akan muncul kekacauan dalam barisan kalian, permusuhan dan kezhaliman yang besar di muka bumi.“ (QS. Al-Anfal, 8: 73)

Makna illaa taf’aluuhu (jika kamu tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu) ialah: jika kamu tidak saling melindungi dan saling membantu antara sebagian dengan sebagian lain sebagaimana yang dilakukan orang-orang kafir. Jika itu tidak dilakukan, niscaya akan terjadi kekacauan dan kerusakan yang besar di muka bumi. Sebab, orang-orang kafir itu mempunyai sikap saling membantu, saling mendukung, dan saling melindungi yang sangat kuat diantara sesama mereka, terutama dalam menghadapi kaum muslimin yang berpecah-pecah dan saling merendahkan sesamanya.

Karena itu, tidak ada cara lain bagi orang yang hendak memperbaiki Islam kecuali menyeru umat Islam untuk bersatupadu dan tolong-menolong dalam menghadapi kekuatan-kekuatan musuh Islam.

Apakah cendekiawan muslim yang melihat kerja sama dan persekongkolan Yahudi internasional, misionaris Barat, komunis dunia, dan keberhalaan Timur di luar dunia Islam, dapat merajut kelompok-kelompok dalam dunia Islam yang menyempal dari umat Islam? Mampukah mereka menyeru ahli kiblat untuk bersatu dalam satu barisan guna menghadapi kekuatan musuh yang memiliki senjata, kekayaan, strategi, dan program untuk menghancurkan umat Islam, baik secara material maupun spiritual?

Begitulah, para muslih menyambut baik kaidah ini dan antusias untuk melaksanakannya. Yang paling mencolok untuk merealisasikan hal itu ialah al-Imam asy-Syahid Hasan al-Banna, sehingga banyak orang al-Ikhwan yang mengira bahwa beliaulah yang menelorkan kaidah ini.

Adapun masalah bagaimana kita akan tolong-menolong dengan ahli-ahli bid’ah dan para penyeleweng, maka sudah dikenal bahwa bid’ah itu bermacam-macam dan bertingkat-tingkat. Ada bid’ah yang berat dan ada yang ringan, ada bid’ah yang menjadikan pelakunya kafir dan ada pula bid’ah yang tidak sampai mengeluarkan pelakunya dari agama Islam, meskipun kita menghukuminya bid’ah dan menyimpang.

Tidak ada larangan bagi kita untuk bantu-membantu dan bekerja sama dengan sebagian ahli bid’ah dalam hal-hal yang kita sepakati dari pokok-pokok agama dan kepentingan dunia, dalam menghadapi orang yang lebih berat bid’ahnya atau lebih jauh kesesatan dan penyimpangannya, sesuai dengan kaidah: “Irtikaabu akhaffidh dhararain” (memilih/melaksanakan yang lebih ringan mudaratnya).

Bukan hanya bid’ah, kafir pun bertingkat-tingkat, sehingga ada kekafiran dibawah kekafiran, sebagaimana pendapat yang diriwayatkan dari para sahabat dan tabi’in. Dalam hal ini tidak ada larangan untuk bekerja sama dengan ahli kafir yang lebih kecil kekafirannya demi menolak bahaya kekafiran yang lebih besar. Bahkan kadang-kadang kita perlu bekerja sama dengan sebagian orang kafir dan musyrik – meskipun kekafiran dan kemusyrikannya sudah nyata – demi menolak kekafiran yang lebih besar atau kekafirannya sangat membahayakan umat Islam.

Dalam permulaan surat ar-Rum dan sababun-nuzul-nya diindikasikan bahwa Al-Qur’an menganggap kaum Nashara -meskipun mereka juga kafir menurut pandangannya (Al-Qur’an)- lebih dekat kepada kaum muslim daripada kaum Majusi penyembah api. Karena itu, kaum muslim merasa sedih ketika melihat kemenangan bangsa Persia yang majusi terhadap bangsa Rum Byzantium yang Nashara. Adapun kaum musyrik bersikap sebaliknya, karena mereka melihat kaum majusi lebih dekat kepada aqidah mereka yang menyembah berhala. Ketika itu turunlah Al-Qur’an yang memberikan kabar gembira kepada kaum muslim bahwa kondisi ini akan berubah, dan kemenangan akan diraih bangsa Rum dalam beberapa tahun mendatang: “… Dan pada hari (kemenangan bangsa Romawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman, karena pertolongan Allah …” (Ar-Rum, 30: 4-5)

Secara lebih lengkap Al-Qur’an mengatakan:

“Alif Laam Miim. Kerajaan Rum telah dikalahkan di bagian tepi negeri Syam dekat dengan negeri Arab. Kerajaan Rum akan mengalahkan lawannya beberapa tahun lagi. Ketetapan menang atau kalah bagi kerajaan Rum itu ada di tangan Allah. Pada hari kerajaan Rum menang, orang-orang mukmin Makkah merasa gembira karena mendapat pertolongan Allah. Allah memberi pertolongan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Allah adalah Tuhan Yang Mahaperkasa lagi Maha Penyayang kepada semua makhluk-Nya.“ (QS. Ar-Rum, 30: 1-5)

Nabi SAW SAW pernah meminta bantuan kepada sebagian kaum musyrik Quraisy setelah Fathu Makkah, dalam menghadapi musyrikin Hawazin, meskipun derajat kemusyrikan mereka sama. Hal itu beliau lakukan karena menurut pandangan beliau bahwa kaum musyrik Quraisy mempunyai hubungan nasab yang khusus dengan beliau. Disamping itu, suku Quraisy termasuk suku yang mendapat tempat terhormat di kalangan masyarakat, sehingga Shafwan bin Umayyah sebelum masuk Islam pernah mengatakan, “Sungguh saya lebih baik dihormati oleh seorang Quraisy daripada dihormati oleh seorang Hawazin.”

Bagi Ahlus-Sunnah – meski bagaimanapun mereka membid’ahkan golongan Muktazilah – tidak ada alasan untuk tidak memanfaatkan ilmu dan produk pemikiran golongan Muktazilah dalam beberapa hal yang mereka sepakati, sebagaimana tidak terhalangnya mereka untuk menolak pendapat Muktazilah yang mereka pandang bertentangan dengan kebenaran dan menyimpang dari Sunnah.

Contoh yang paling jelas ialah kitab Tafsir al-Kasysyaf karya al-Allamah az-Zamakhsyari, seorang Muktazilah yang terkenal. Dapat dikatakan hampir tidak ada seorang alim pun (dari kalangan Ahlus Sunnah) – yang menaruh perhatian terhadap Al-Qur’an dan tafsirnya – yang tidak menggunakan rujukan Tafsir al-Kasysyaf ini, sebagaimana tampak dalam tafsir ar-Razi, an-Nasafi, an-Nisaburi, al-Baidhawi, Abi Su’ud, al-Alusi, dan lainnya.

Begitu pentingnya Tafsir al-Kasysyaf ini (bagi Ahlus-Sunnah) sehingga kita dapati orang-orang seperti al-Hafizh Ibnu Hajar mentakhrij hadits-haditsnya dalam kitab beliau yang berjudul Al-Kaafil asy-Syaaf fi Takhriji Ahaadiits al-Kasysyaaf. Kita jumpai pula al-Allamah Ibnul Munir yang menyusun kitab untuk mengomentari al-Kasysyaf ini, khususnya mengenai masalah-masalah yang diperselisihkan dengan judul al-Intishaaf min al-Kasysyaaf.

Imam Abu Hamid al-Ghazali, ketika menyerang ahli-ahli filsafat yang perkataan-perkataannya menjadi fitnah bagi banyak orang, pernah meminta bantuan kepada semua firqah Islam yang tidak sampai derajat kafir. Karena itu, beliau tidak menganggap sebagai halangan untuk menggunakan produk dan pola pikir Muktazilah dan lainnya yang sekiranya dapat digunakan untuk menggugurkan pendapat/perkataan ahli-ahli filsafat tersebut. Dan mengenai hal ini beliau berkata dalam mukadimah Tahafut al-Falasifah sebagai berikut:

“Hendaklah diketabui bahwa yang dimaksud ialah memberi peringatan kepada orang yang menganggap baik terhadap ahli-ahli filsafat dan mengira bahwa jalan hidup mereka itu bersih dari pertentangan, dengan menjelaskan bentuk-bentuk kesemerawutan (kerancuan) mereka. Karena itu, saya tidak mencampuri mereka untuk menuntut dan mengingkari, bukan menyerukan dan menetapkan perkataan mereka. Maka saya jelekkan keyakinan mereka dan saya tempatkan mereka dengan posisi yang berbeda-beda. Sekali waktu saya nyatakan mereka bermazhab Muktazilah, pada kali lain bermazhab Karamiyah, dan pada kali lain lagi bermazhab Waqifiyah. Saya tidak menetapkannya pada mazhab yang khusus, bahkan saya anggap semua firqah bersekutu untuk menentangnya, karena semua firqah itu kadang-kadang bertentangan dengan paham kita dalam masalah-masalah tafshil (perincian, cabang), sedangkan mereka menentang ushuluddin (pokok-pokok agama). Karena itu, hendaklah kita menentang mereka. Dan ketika menghadapi masalah-masalah berat, hilanglah kedengkian diantara sesama (dalam masalah-masalah kecil/cabang).”

Saudara penanya berkata, “Bagaimana kita bersikap toleran kepada orang yang menentang kita, yang nyata-nyata menyelisihi nash Al-Qur’an atau hadits Nabawi, sedangkan Allah berfirman: “Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (As-Sunnah).” (QS. An-Nisa’, 4: 59)

Menurut saya (Qardhawi), saudara penanya ini tidak mengetahui suatu perkara yang penting, yaitu bahwa nash-nash itu mempunyai perbedaan besar dilihat dari segi tsubut (periwayatan) dan dilalah (petunjuk)-nya, yaitu ada yang qath’i dan ada yang zhanni. Diantara nash-nash itu ada yang qath’i tsubut seperti Al-Qur’an al-Karim dan hadits-hadits mutawatir yang sedikit jumlahnya itu. Sebagian ulama menambahkannya dengan hadits-hadits Shahihain yang telah diterima umat Islam dan disambut oleh generasi yang berbeda-beda sehingga melahirkan ilmu yang meyakinkan. Tetapi sebagian ulama lagi menentangnya, dan masing-masing mempunyai alasan:

Disamping itu, ada nash yang zhanni tsubut. Misalnya, hadits-hadits umumnya, baik yang sahih maupun hasan yang diriwayatkan dalam kitab-kitab sunan, musnad, mu’jam, dan mushannaf yang bermacam-macam.

Pada taraf zhanniyyah ini derajat hadits itu bermacam-macam. Ada yang sahih, hasan, shahih lidzatihi dan hasan lidzatihi, serta ada pula yang shahih lighairihi dan hasan lighairihi, sesuai dengan sikap imam-imam dalam mensyaratkan penerimaan dan pentashihan suatu hadits, ditinjau dari segi sanad atau matan, atau keduanya. Karena itu, ada orang yang menerima hadits mursal dan menjadikannya hujjah, ada yang menerimanya dengan syarat-syarat tertentu, dan ada yang menolaknya secara mutlak.

Kadang-kadang ada yang menganggap seorang rawi itu dapat dipercaya, tetapi yang lain menganggapnya dhaif. Ada pula yang menentukan beberapa syarat khusus dalam tema-tema tertentu yang dianggap memerlukan banyak jalan periwayatannya, sehingga ia tidak menganggap cukup bila hanya diriwayatkan oleh satu orang. Hal ini menyebabkan sebagian imam menerima sebagian hadits dan melahirkan beberapa hukum daripadanya, sedangkan imam yang lain menolaknya karena dianggapnya tidak sah dan tidak memenuhi syarat sebagai hadits sahih. Atau ada alasan lain yang lebih kuat yang menentangnya, seperti praktek-praktek yang bertentangan dengannya.

Masalah di atas banyak contohnya dan sudah diketahui oleh orang-orang yang mengkaji hadits-hadits ahkam, fiqih muqaran (perbandingan), dan fiqih mazhabi. Mereka menulisnya dalam kitab-kitab mereka yang disertai dengan dalil-dalil untuk memperkuat mazhabnya dan menolak mazhab/orang yang bertentangan dengannya. Sebagaimana perbedaan nash dari segi tsubut-nya, maka perbedaan nash dari segi dilalah lebih banyak lagi.

Diantara nash-nash itu ada yang qath’i dilalahnya atas hukum, yang tidak rnengandung kemungkinan lain dalam memahami dan menafsirkannya. Contohnya, dilalah nash yang memerintahkan shalat, zakat, puasa, serta haji (yang menunjukkan wajibnya); dilalah nash yang melarang zina, riba, minum khamar, dan lain-lainnya (yang menunjukkan keharamannya), dan dilalah nash-nash al-Qur’an dalam pembagian waris. Tetapi nash yang qath’i dilalahnya ini jumlahnya sedikit sekali. Kemudian ada pula nash-nash yang zhanni dilalahnya, yakni mengandung banyak kemungkinan pengertian dalam memahami dan menafsirkannya.

Karena itu, ada sebagian ulama yang memahami suatu nash sebagai ‘aam (umum), sedangkan yang lain menganggapnya makhsus (khusus). Yang sebagian menganggapnya mutlak, yang lain muqayyad. Yang sebagian menganggapnya hakiki, yang lain majazi. Yang sebagian menganggapnya mahkam (diberlakukan hukumnya), yang lain mansukh. Yang sebagian menganggapnya wajib, yang lain tidak lebih dari mustahab. Atau yang sebagian menganggap nash itu menunjukkan hukum haram, yang lain tidak lebih dari makruh.

Adapun kaidah-kaidah ushuliyyah yang kadang-kadang oleh sebagian orang dikira sudah mencukupi untuk menjadi tempat kembalinya segala persoalan, hingga setiap perbedaan dapat diselesaikan dan setiap perselisihan dapat diputuskan, ternyata dari beberapa segi masih diperselisihkan. Ada yang menetapkannya, ada yang menafikannya, dan ada yang memilih diantara yang mutlak dan muqayyad. Misalnya saja dilalah amr (petunjuk perintah). Apakah sighat amr (perintah) itu menunjukkan wajib? Atau mustahab? Atau boleh jadi wajib dan boleh jadi mustahab? Atau tidak menunjukkan suatu hukum pun kecuali jika disertai dengan qarinah (indikasi) tertentu? Atau apakah hukum perintah dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah itu berbeda?

Kurang lebih, ada tujuh pendapat mengenai dilalah amr yang dikemukakan oleh para ahli ushul fiqih, yang masing-masing mempunyai dalil dan argumentasi. Misalnya mengenai hadits:

“Cukurlah kumis dan peliharalah jenggot.” [HR Bukhari]

“Sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak mau menyemir rambut, karena itu berbedalah kamu dengan mereka.” [HR Bukhari]

“Barangsiapa yang mempunyai kelebihan tempat kendaraan, maka hendaklah ia memberikannya kepada orang yang tidak mempunyai kendaraan.”

“Sebutlah nama Allah, dan makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah dari apa yang dekat denganmu.” [HR Bukhari]

Apakah perintah-perintah dalam hadits di atas menunjukkan hukum wajib, mustahab, atau untuk membimbing saja? Atau masing-masing perintah mempunyai hukum tersendiri sesuai dengan petunjuk susunan kalimat dan indikasinya?

Demikian pula tentang dilalah nahyu (larangan). Apakah larangan itu menunjukkan hukum haram, makruh, atau mungkin haram dan mungkin makruh, atau tidak menunjukkan suatu hukum kecuali jika disertai dengan qarinah khusus? Atau apakah hukum yang dimunculkan oleh larangan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah itu berbeda?

Dalam masalah ini juga ada tujuh pendapat sebagaimana yang dimuat dalam kitab-kitab ushul fiqih. Disamping itu, juga terdapat perbedaan pendapat mengenai ‘aam dan khash, mutlaq dan muqayyad, mantuq dan mafhum, muhkam dan mansukh, dan sebagainya.

Karena itu, kadang-kadang ada masalah yang dari segi prinsip telah disepakati, tetapi dari segi pelaksanaan diperselisihkan. Kadang-kadang keduanya telah sepakat tentang boleh dan adanya nasakh, namun berbeda pendapat dalam nash tertentu. Apakah dia mansukh atau tidak?

Contohnya, hadits: “Telah berbuka orang yang membekam dan yang dibekam“[2] dan hadits tentang jatuhnya talak tiga yang diucapkan sekaligus dengan dihitung sebagai talak satu saja pada zaman Rasulullah SAW, Abu Bakar, dan pada permulaan kekuasaan Umar.

Kadang-kadang kedua belah pihak telah sepakat bahwa ada sebagian perkataan dan perbuatan dari Nabi SAW Dalam kapasitasnya sebagai imam dan pemimpin umat yang tidak termasuk tasyri’ umum yang abadi bagi umat, tetapi kedua pihak berbeda pendapat mengenai perkataan atau perbuatan tertentu, apakah termasuk kedalam bab ini ataukah tidak. Misalnya apa yang disebutkan Imam al-Qarafi dalam kitabnya Al-Faruq dan Al-Ahkam mengenai sabda Nabi SAW: “Barangsiapa membunuh seseorang (kafir), maka ia berhak atas barangnya (pakaiannya, senjatanya, kendaraannya).” “Barangsiapa yang menghidupkan tanah yang mati, maka tanah itu untuknya.”

Apakah datangnya hadits ini sebagai tabligh dari Allah sehingga ia merupakan tasyri’ umum yang abadi? Ataukah datang dari beliau SAW dalam kapasitasnya sebagai pemimpin umat dan kepala negara serta sebagai panglima tertinggi dalam peperangan, sehingga hukum yang dikandungnya tidak dapat dilaksanakan kecuali jika ada ketetapan dari panglima atau penguasa?

Para fuqaha berbeda pendapat tentang mekanismenya, karena itu mereka juga berbeda pendapat mengenai hukumnya. Adakalanya kedua pihak sepakat bahwa diantara sabda dan tindakan Rasulullah SAW itu ada yang tidak termasuk bab tasyri’ agama yang bersifat ta’abbudi, melainkan merupakan urusan dunia yang diserahkan kepada kemampuan dan usaha manusia. Misalnya, sabda beliau yang diriwayatkan dalam kitab ash-Shahih: “Kamu lebih mengerti tentang urusan duniamu.”

Namun, mereka berbeda pendapat tentang perkataan dan tindakan tertentu, apakah ia termasuk urusan dunia yang kita tidak diwajibkan mengikutinya, ataukah termasuk urusan agama yang kita tidak boleh keluar daripadanya. Misalnya, yang berkenaan dengan beberapa masalah medis yang disebutkan dalam beberapa hadits, yang oleh Imam ad-Dahlawi dianggap sebagai urusan dunia, sementara oleh yang lain dianggapnya sebagai urusan agama dan syara’ yang wajib dipatuhi.

Ada pula sebab terpenting yang memicu terjadinya perbedaan pendapat dalam menafsirkan dan memahami nash, yaitu perbedaan antara madrasah “azh-Zhawahir” dan madrasah “al-Maqashid, ” yakni lembaga pendidikan yang berpegang pada zhahir nash dan terikat dengan bunyi teks dalam memahaminya, serta lembaga pendidikan yang mementingkan kandungan nash, jiwa, dan maksud/tujuannya. Begitu pentingnya maka sehingga kadang-kadang ia keluar dari zhahir dan harfiyah nash, demi mewujudkan apa yang dipandangnya sebagai maksud dan tujuan nash. Kedua madrasah (lembaga pendidikan) ini senantiasa ada didalam kehidupan dalam segala urusan. Bahkan dalam hukum atau undang-undang wadh’iyyah (buatan manusia) juga kita dapati para pemberi penjelasan berbeda pendapat antara yang satu dan yang lain. Ada yang menekankan bunyi teks dan ada yang menitikberatkan pada kandungannya, atau antara pihak yang mempersempit dan memperluas.

Islam – sebagai agama waqi’i (realistis) – memberi kelapangan kepada kedua madrasah itu dan tidak menganggap salah satunya keluar dari Islam, meskipun Madrasah “al-Maqashid” itulah menurut pendapat kami yang mengungkapkan hakikat Islam, dengan syarat tidak mengabaikan nash-nash juz’iyyah secara keseluruhan. Dalam sunnah Rasul SAW sendiri terdapat sesuatu yang mendukung diterimanya perbedaan pendapat semacam ini dalam suatu peristiwa yang terkenal, yaitu peristiwa shalat asar di Bani Quraizhah, setelah usai perang Ahzab.

Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Umar r.a., ia berkata: Rasulullah SAW bersabda pada hari perang Ahzab: “Jangan sekali-kali seseorang melakukan shalat asar kecuali di (perkampungan) Bani Quraizhah.”

Sebagian mereka mendapatkan waktu ashar ditengah perjalanan. Lalu mereka berkata, “Kami tidak akan shalat asar kecuali setelah kami datang di Bani Quraizhah.” Dan sebagian lagi berkata, “Kami akan melakukan shalat asar, karena bukan itu yang dimaksudkan Rasulullah SAW terhadap kita.” Kemudian peristiwa itu dilaporkan kepada Rasulullah SAW, maka beliau tidak mencela salah satunya.”[3]

Al-Allamah Ibnul Qayyim berkata di dalam kitabnya Zadul Ma’ad sebagai berikut: “Para fuqaha berbeda pendapat: manakah yang benar. Satu golongan mengatakan, ‘Orang yang mengakhirkan (menunda) shalatnya itulah yang benar. Seandainya kami bersama mereka, niscaya kami juga mengakhirkannya sebagaimana yang mereka lakukan, dan tidaklah kami melakukan shalat kecuali di kampung Bani Quraizhah demi melaksanakan perintahnya (Rasul), dan meninggalkan takwil yang bertentangan dengan zhahir. ‘

Golongan lain berkata, ‘Bahkan orang-orang yang melakukan shalat di tengah perjalanan pada waktunya itulah yang mendapatkan keunggulan. Mereka berbahagia mendapatkan tiga keutamaan sekaligus, yakni bersegera melaksanakan perintah Rasul untuk keluar, bersegera mendapatkan keridhaan Allah dengan melakukan shalat pada waktunya, dan bersegera menjumpai kaum yang dituju.’ Dengan demikian, mereka memperoleh keutamaan jihad, keutamaan shalat pada waktunya, mengerti apa yang dikehendaki, dan mereka lebih pandai daripada yang lain.

Apalagi shalatnya itu adalah shalat asar yang merupakan shalat wustha berdasarkan nash Rasulullah SAW yang sahih dan sharih (jelas). Nash seperti itu tidak dapat ditolak dan disangkal lagi. Ia merupakan sunnah yang datang menyuruh manusia untuk memeliharanya, bersegera kepadanya, dan melaksanakan pada awal waktunya. Barangsiapa meninggalkannya, ia akan rugi seperti ia kehilangan anak istrinya (keluarganya) dan hartanya.[4] Jadi, hal ini merupakan perintah yang tidak diterapkan pada amalan lain.

Adapun orang-orang yang mengakhirkannya, mungkin saja dimaafkan atau diberi satu pahala karena berpegang teguh pada zhahir nash dan bermaksud mejalankan perintah. Namun, tidak bisa dikatakan mereka benar dan orang yang bersegera melakukan shalat serta jihad itu salah. Mereka yang melaksanakan shalat di tengah jalan, berarti telah menghimpun antara beberapa dalil dan mendapatkan dua keutamaan. Kalau mereka mendapatkan dua pahala, maka yang lain pun mendapatkan pahala. Mudah-mudahan Allah meridhai mereka.”[5]

Maksud dari semua penjelasan itu ialah: bahwa orang yang menentang kita dalam masalah yang ada nashnya (yang qath’i tsubut dan dilalah-nya), maka ia tidak boleh kita tolerir sama sekali. Sebab, masalah-masalah qath’iyyah (yang didasarkan pada dalil-dalil qath’i tsubut dan dilalah-nya) bukanlah lapangan ijtihad, karena sesungguhnya lapangan ijtihad hanyalah dalam masalah-masalah zhanniyyah (yang didasarkan pada dalil zhanni). Membuka pintu ijtihad untuk masalah-masalah qath’iyyah berarti membuka pintu kejahatan dan fitnah atas umat. Hal itu tidak ada yang mengetahui akibatnya kecuali Allah, karena qath’iyyat itulah yang menjadi tempat kembali ketika terjadi pertentangan dan perselisihan. Apabila masalah qath’iyyah ini menjadi ajang pertentangan dan perselisihan, maka sudah tidak ada lagi ditangan kita ini sesuatu yang kita jadikan tempat berhukum dan kita jadikan sandaran.

Telah saya peringatkan dalam beberapa kitab saya bahwa diantara fitnah dan pemikiran yang sangat membahayakan kehidupan agama dan peradaban kita ialah memutarbalikkan masalah-masalah qath’iyyah sebagai zhanniyyah dan perkara-perkara (dalil-dalil) yang muhkam sebagai mutasyabihah Bahkan adakalanya menentang sebagian masalah qath’iyyah itu termasuk kafir yang terang-terangan, yaitu bila sampai mengenai apa yang dinamakan oleh ulama-ulama kita dengan istilah “al-ma’lum minad-din bidh-dharurah” (yang sudah diketahui dari agama dengan pasti). Maksudnya, apa yang telah disepakati hukumnya oleh umat Islam, dan sama-sama diketahui oleh orang pandai dan orang awam, seperti fardunya zakat dan puasa, haramnya riba dan minum khamar, dan lain-lain yang merupakan ketentuan Dinul Islam yang pasti.

Adapun terhadap orang yang berbeda pendapat dengan kita mengenai nash yang zhanni – karena satu atau beberapa sebab – kita perlu bersikap toleran meskipun kita tidak sependapat dengan mereka Mengenai sebab-sebab itu telah saya sebutkan atau bisa juga melihat uraian Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Raf’ul-Malam ‘an Aimmatil-A’lam. Dalam kitab ini beliau menyebutkan sepuluh sebab atau alasan, namun beliau tidak menggunakan nash atau hadits tertentu. Ini menunjukkan keluhuran ilmu dan kesadaran beliau r.a.

Begitulah seharusnya sikap kita, yaitu sikap tasamuh (toleran) terhadap orang-orang yang berbeda pendapat dengan kita selama mereka mempunyai sandaran yang mereka jadikan pegangan dan mereka merasa mantap dengannya, walaupun kita berbeda pendapat dengan mereka dalam mentarjih apa yang mereka tarjihkan. Betapa banyak pendapat yang pada mulanya dianggap lemah, ditinggalkan, atau dianggap aneh, ganjil, kemudian menjadi kuat setelah Allah menyediakan untuknya orang yang menolongnya, menguatkannya, dan mempopulerkannya. Salah satu contoh dapat kita lihat dengan jelas pendapat-pendapat Imam Ibnu Taimiyah, khususnya dalam masalah-masalah talak dan yang berhubungan dengannya. Banyak ulama muslimin dan ahli fatwa yang menyukai fatwa-fatwa beliau dan menjadikanya acuan (padahal sebelumnya pendapat itu tertolak). Dengan fatwa-fatwanya itu Allah menyelamatkan keluarga muslimah dari kehancuran dan keruntuhan. Dan dalam waktu dekat menjadi contoh bagi pendapat-pendapat yang dianggap aneh dan menyimpang dari kebenaran, termasuk dalam kerajaan Arab Saudi.

Akhirnya, segala puji kepunyaan Allah, Tuhan semesta alam.
Keistimewaan dan Keutamaan Persaudaraan karena Allah

Persaudaraan karena Islam (ukhuwah Islamiyah), atau persaudaraan karena iman (ukhuwah imaniyah), atau persaudraan karena Allah, memunculkan banyak keistimewaan dan keutamaan, pahala, berpengaruh positif pada masyarakat dalam menyatukan hati, menyamakan kata, dan merapatkan barisan. Orang-orang yang terikat dengan ukhuwah Islamiyah memiliki banyak keutamaan, diantaranya:

1. Kelak di hari kiamat mereka memiliki kedudukan yang mulia yang dicemburui oleh para syuhada, wajah-wah mereka bagaikan cahaya diatas cahaya.

Umar bin Khattab RA, berkata, Nabi SAW bersabda:

إِنَّ مِنْ عِبَادِ اللهِ لأُنَاسًا مَا هُمْ بِأَنْبِيَاءَ وَلاَ شُهَدَاءَ يَغْبِطُهُمْ الأَنْبِيَاءُ وَالشُّهَدَاءُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِمَكَانِهِمْ مِنْ اللهِ تَعَالَى . قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ تُخْبِرُنَا مَنْ هُمْ ؟ قَالَ: هُمْ قَوْمٌ تَحَابُّوا بِرُوحِ اللهِ عَلَى غَيْرِ أَرْحَامٍ بَيْنَهُمْ وَلاَ أَمْوَالٍ يَتَعَاطَوْنَهَا ، فَوَاللهِ إِنَّ وُجُوهَهُمْ لَنُورٌ وَإِنَّهُمْ عَلَى نُورٍ لاَ يَخَافُونَ إِذَا خَافَ النَّاسُ وَلاَ يَحْزَنُونَ إِذَا حَزِنَ النَّاسُ وَقَرَأَ هَذِهِ الآيَةَ (أَلاَ إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللهِ لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ).

Sesungguhnya dari hamba-hamba Kami ada sekelompok manusia, mereka itu bukan para Nabi dan bukan para syuhada’. Para Nabi dan syuhada’ merasa cemburu kepada mereka karena kedudukan mereka di sisi Allah di hari kiamat. Para sahabat bertanya: Siapakah mereka wahai Rasulullah? Beliau menjawab: Mereka adalah suatu kaum yang saling mencintai karena Allah padahal tidak ada hubungan persaudaraan (saudara sedarah) antara mereka, dan tidak ada hubungan harta (waris), Maka demi Allah sesungguhnya wajah-wajah mereka bagaikan cahaya, dan sesungguhnya mereka di atas cahaya, mereka tidak takut ketika manusia merasa takut, dan tidak pula sedih ketika manusia sedih, kemudian beliau membaca ayat ini: “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” [QS Yunus, 10: 62]. [6]

2. Mereka kelak di hari Kiamat akan mendapatkan naungan dari Allah yang tidak ada naungan kecuali dari padanya.

Dari Abu Hurairah RA, dari Nabi SAW beliau bersabda:

سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ: الإِمَامُ الْعَادِلُ ، وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ رَبِّهِ ، وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسَاجِدِ ، وَرَجُلاَنِ تَحَابَّا فِي اللهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ ، وَرَجُلٌ طَلَبَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ ، فَقَالَ: إِنِّي أَخَافُ اللهَ ، وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ أَخْفَى حَتَّى لاَ تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ ، وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ .

Tujuh golongan manusia yang akan dinaungi oleh Allah di bawah naungan-Nya pada hari dimana tidak ada lagi naungan kecuali naungan Allah, (mereka itu ialah): pemimpin yang adil, pemuda yang tumbuh dalam ibadah kepada Allah, seorang laki-laki yang hatinya senantiasa terkait dengan masjid, dua orang yang saling mencintai karena Allah, keduanya berkumpul dan berpisah atas dasar cinta Allah, seorang laki-laki yang diajak (mesum) oleh seorang wanita cantik dan menawan lalu dia berkata: Sesungguhnya saya takut kepada Allah, seseorang yang bersedekah dan menyembunyikan sedekahnya sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfaqkan oleh tangan kanannya dan seorang laki-laki yang mengingat Allah dalam sendirian maka kedua matanya meneteskan airnya. [7]

Dari Abu Hurairah RA, dia berkata, Nabi SAW bersabda:

إِنَّ اللهَ يَقُولُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: أَيْنَ الْمُتَحَابُّونَ بِجَلاَلِي الْيَوْمَ أُظِلُّهُمْ فِي ظِلِّي يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلِّي ؟.

Sesungguhnya Allah berfirman pada hari kiamat: Dimanakah orang-orang yang saling mencintai karena Aku. Hari ini Aku menaungi mereka dalam naungan-Ku yang tidak ada lagi naungan kecuali naungan-Ku?.[8]

Dari ‘Irbadh bin Sariyah RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda:

قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: الْمُتَحَابُّونَ بِجَلاَلِي فِي ظِلِّ عَرْشِي يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلِّي .

Allah SWT berfirman: Orang-orang yang saling mencintai karena Aku akan berada di bawah naungan ‘Arsy-Ku pada hari dimana tidak ada lagi naungan kecuali naungan-Ku.[9]

3. Orang yang saling mencintai karena Allah, wajib mendapat kecintaan Allah

Dari Muadz bin Jabal RA, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:

الْمُتَحَابُّونَ فِي اللهِ فِي ظِلِّ الْعَرْشِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ .

Orang-orang yang saling mencintai karena Allah akan berada di bawah naungan ‘Arsy pada hari kiamat.[10]

Dari Muadz bin Jabal RA, ia berkata, aku mendengar Rasulullah SAW bersabda yang diriwayatkan dari Rabbnya ‘Azza wa Jalla:

حَقَّتْ مَحَبَّتِي لِلْمُتَحَابِّينَ فِيَّ ، وَحَقَّتْ مَحَبَّتِي لِلْمُتَبَاذِلِينَ فِيَّ ، وَحَقَّتْ مَحَبَّتِي لِلْمُتَزَاوِرِينَ فِيَّ ، وَالْمُتَحَابُّونَ فِي اللهِ عَلَى مَنَابِرَ مِنْ نُورٍ فِي ظِلِّ الْعَرْشِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ .

Cinta kasih-Ku wajib bagi orang-orang yang saling mencintai karena Aku; cinta kasih-Ku wajib bagi orang-orang yang saling menasehati karena Aku; cinta kasih-Ku wajib bagi orang-orang yang bersilaturrahim karena Aku. Dan orang-orang yang saling mencintai karena Aku berada di atras mimbar-mimbar dari cahaya di bawah naungan ‘Arsy pada hari dimana tidak ada lagi naungan kecuali naungan-Ku [11]

Dari Abu Hurairah RA, dia berkata, Nabi SAW bersabda:

أَنَّ رَجُلاً زَارَ أَخًا لَهُ فِي قَرْيَةٍ أُخْرَى فَأَرْصَدَ اللهُ لَهُ عَلَى مَدْرَجَتِهِ مَلَكًا ، فَلَمَّا أَتَى عَلَيْهِ قَالَ: أَيْنَ تُرِيدُ ؟ قَالَ: أُرِيدُ أَخًا لِي فِي هَذِهِ الْقَرْيَةِ . قَالَ هَلْ لَكَ عَلَيْهِ مِنْ نِعْمَةٍ تَرُبُّهَا ؟ قَالَ: لاَ غَيْرَ أَنِّي أَحْبَبْتُهُ فِي اللهِ عَزَّ وَجَلَّ . قَالَ: فَإِنِّي رَسُولُ اللهِ إِلَيْكَ بِأَنَّ اللهَ قَدْ أَحَبَّكَ كَمَا أَحْبَبْتَهُ فِيهِ .

Suatu hari, seseorang melakukan perjalanan untuk mengunjungi saudaranya yang tinggal di suatu kampung. Maka Allah mengutus seorang Malaikat untuk mencegat di suatu tempat di tengah-tengah perjalanannya. Ketika orang tersebut sampai di tempat tersebut, Malaikat bertanya: Hendak kemana engkau? Ia menjawab: Aku hendak mengunjungi saudaraku yang berada di kampung ini. Malaikat kembali bertanya: Apakah kamu punya kepentingan duniawi yang diharapkan darinya? Ia menjawab: Tidak, kecuali karena aku mencintainya karena Allah. Lantas Malaikat itu berkata: Sesungguhnya aku adalah utusan Allah yang dikirim kepadamu untuk menyampaikan bahwa Allah telah mencintaimu seperti engkau mencintai saudaramu.[12]

Dari Abu Hurairah RA, dia berkata, Nabi SAW bersabda:

إِنَّ اللهَ إِذَا أَحَبَّ عَبْدًا دَعَا جِبْرِيلَ فَقَالَ: إِنِّي أُحِبُّ فُلاَنًا فَأَحِبَّهُ ، قَالَ: فَيُحِبُّهُ جِبْرِيلُ . ثُمَّ يُنَادِي فِي السَّمَاءِ فَيَقُولُ: إِنَّ اللهِ يُحِبُّ فُلاَنًا فَأَحِبُّوهُ ، فَيُحِبُّهُ أَهْلُ السَّمَاءِ . قَالَ: ثُمَّ يُوضَعُ لَهُ الْقَبُولُ فِي الأَرْضِ . وَإِذَا أَبْغَضَ عَبْدًا دَعَا جِبْرِيلَ فَيَقُولُ: إِنِّي أُبْغِضُ فُلاَنًا فَأَبْغِضْهُ ، قَالَ: فَيُبْغِضُهُ جِبْرِيلُ . ثُمَّ يُنَادِي فِي أَهْلِ السَّمَاءِ: إِنَّ اللهَ يُبْغِضُ فُلاَنًا فَأَبْغِضُوهُ ، قَالَ: فَيُبْغِضُونَهُ ثُمَّ تُوضَعُ لَهُ الْبَغْضَاءُ فِي الأَرْضِ .

Sesungguhnya apabila Allah mencintai seorang hamba, Dia memanggil Jibril dan berfirman: Sesungguhnya Aku mencintai Fulan maka cintailah dia. Jibril pun mencintainya, kemudian dia mengumumkan pada penduduk langit: Sesungguhnya Allah mencintai Fulan maka cintailah dia. Maka penduduk langit pun mencintainya. Kemudian diletakkan untuknya kecintaan di muka bumi. Dan apabila Dia membenci seorang hamba, Dia memanggil Jibril dan berfirman: Sesungguhnya Aku membenci Fulan maka bencilah dia. Jibril pun membencinya, kemudian dia mengumumkan pada penduduk langit: Sesungguhnya Allah membenci Fulan maka bencilah dia. Maka penduduk langit pun membencinya. Kemudian diletakkan untuknya kebencian di muka bumi.[13]

Dari Anas RA, dia berkata, Nabi SAW bersabda:

ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ طَعْمَ الإِيمَانِ: مَنْ كَانَ يُحِبُّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلهِ ، وَمَنْ كَانَ اللهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا ، وَمَنْ كَانَ أَنْ يُلْقَى فِي النَّارِ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ أَنْ يَرْجِعَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ .

Tiga perkara siapa yang memiliknya dia akan merasakan manisnya iman: Orang yang mencintai seseorang tidaklah ia mencintainya melainkan karena Allah, orang yang Allah dan Rasul-Nya paling ia cintai dari selain keduanya, dan orang yang lebih suka dicampakkan kedalam api neraka daripada ia kembali kepada kekafiran setelah Allah menyelamatkannya darinya (kekafiran). [14]

Dari Abu Hurairah RA, dia berkata, bahwasanya Nabi SAW bersabda:

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَجِدَ طَعْمَ الإِيمَانِ فَلْيُحِبَّ الْعَبْدَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلهِ عَزَّ وَجَلَّ .

Barang siapa yang ingin merasakan kelezatan iman, maka mestilah ia mencintai seseorang, tidak dicintainya melainkan karena Allah ‘Azza wa Jalla. [15]

4. Mereka merasakan manisnya iman. Sedangkan selain mereka tidak.

Rasulullah SAW bersabda,

ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الإِيمَانِ ، مَنْ كَانَ اللهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا ، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلهِ ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ ، كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ .

“Ada tiga golongan yang dapat merasakan manisnya iman: orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya lebih dari mencintai dirinya sendiri, mencintai seseorang karena Allah, dan ia benci kembali pada kekafiran sebagaimana ia benci jika ia dicampakkan ke dalam api neraka.” (HR. Bukhari)

5. Mereka berada di bawah naungan cinta Allah, di bawah Arasy Al-Rahman.

Allah Ta’ala berfirman,

أَيْنَ الْمُتَحَابُّونَ بِجَلالِي الْيَوْمَ أُظِلُّهُمْ فِي ظِلِّي يَوْمَ لا ظِلَّ إِلا ظِلِّي .

“Di mana orang-orang yang saling mencintai karena-Ku, maka hari ini aku akan menaungi mereka dengan naungan yang tidak ada naungan kecuali naunganku.” (HR. Muslim)

Rasulullah SAW bersabda,

أَنَّ رَجُلا زَارَ أَخًا لَهُ فِي قَرْيَةٍ أُخْرَى ، فَأَرْصَدَ اللَّهُ لَهُ عَلَى مَدْرَجَتِهِ مَلَكًا ، فَلَمَّا أَتَى عَلَيْهِ قَالَ : ” أَيْنَ تُرِيدُ ؟ ” . قَالَ : أُرِيدُ أَخًا لِي فِي هَذِهِ الْقَرْيَةِ . قَالَ : ” هَلْ لَهُ عَلَيْكَ مِنْ نِعْمَةٍ تَرُبُّهَا ؟ ” . قَالَ : لا ، غَيْرَ أَنِّي أَحْبَبْتُهُ فِي اللهِ عَزَّ وَجَلَّ . قَالَ : ” فَإِنِّي رَسُولُ اللهِ إِلَيْكَ ، فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ قَدْ أَحَبَّكَ كَمَا أَحْبَبْتَهُ فِيهِ .

“Ada seseorang yang mengunjungi saudaranya di sebuah desa. Di tengah perjalanan, Allah mengutus malaikat-Nya. Ketika berjumpa, malaikat bertanya, “Mau kemana?” Orang tersebut menjawab, “Saya mau mengunjungi saudara di desa ini.” Malaikat bertanya, “Apakah kau ingin mendapatkan sesuatu keuntungan darinya?” Ia menjawab, “Tidak. Aku mengunjunginya hanya karena aku mencintainya karena Allah.” Malaikat pun berkata, “Sungguh utusan Allah yang diutus padamu memberi kabar untukmu, bahwa Allah telah mencintaimu, sebagaimana kau mencintai saudaramu karena-Nya.” (HR. Muslim)

6. Mereka dijamin sebagai ahli surga di akhirat kelak.

Rasulullah SAW bersabda,

مَنْ عَادَ مَرِيضًا أَوْ زَارَ أَخًا لَهُ فِي اللهِ نَادَاهُ مُنَادٍ : أَنْ طِبْتَ وَطَابَ مَمْشَاكَ ، وَتَبَوَّأْتَ مِنْ الْجَنَّةِ مَنْزِلًا .

“Barangsiapa yang mengunjungi orang sakit atau mengunjungi saudaranya karena Allah, maka malaikat berseru, ‘Berbahagialah kamu, berbahagialah dengan perjalananmu, dan kamu telah mendapatkan salah satu tempat di surga.” (HR. At-Tirmizi)

Rasulullah SAW bersabda,

إن حول العرشِ مَنابِرَ من نورٍ، عليها قومٌ لِبَاسُهم نورٌ، ووجوهُهم نورٌ، ليسوا بأنبياءَ ولا شهداءَ، يَغبِطُهم النبيُّونَ والشهداءُ. فقالوا: انعَتْهم لنا يا رسول الله. قال: هم المتحابُّون في الله، والمتآخون في الله، والمُتزاوِرُون في الله .

“Sesungguhnya di sekitar arasy Allah ada mimbar-mimbar dari cahaya. Di atasnya ada kaum yang berpakaian cahaya. Wajah-wajah mereka bercahaya. Mereka bukanlah para nabi dan bukan juga para syuhada. Dan para nabi dan syuhada cemburu pada mereka karena kedudukan mereka di sisi Allah.” Para sahabat bertanya, “Beritahukanlah sifat mereka wahai Rasulallah. Maka Rasul bersabda, “Mereka adalah orang-orang yang saling mencintai karena Allah, bersaudara karena Allah, dan saling mengunjungi karena Allah.” (Hadis yang ditakhrij Al-Hafiz Al-Iraqi, ia mengatakan, para perawinya tsiqat)

7. Bersaudara karena Allah adalah amal mulia yang mendekatkan hamba kepada Allah.

Rasul pernah ditanya tentang derajat iman yang paling tinggi, beliau bersabda,

أَنْ تُحِبَّ لِلهِ ، وَتُبْغِضَ لِلهِ ، وَتُعْمِلَ لِسَانَكَ فِي ذِكْرِ اللهِ ” . قَالَ : وَمَاذَا يَا رَسُولَ اللهِ ؟ قَالَ : ” أَنْ تُحِبَّ لِلنَّاسِ مَا تُحِبُّ لِنَفْسِكَ ، وَتَكْرَهَ مَا تَكْرَهُ لِنَفْسِكَ .

“…Hendaklah kamu mencinta dan membenci karena Allah…” Kemudian Rasul ditanya lagi, “Selain itu apa wahai Rasulullah?” Rasul menjawab, “Hendaklah kamu mencintai orang lain sebagaimana kamu mencintai dirimu sendiri, dan hendaklah kamu membenci bagi orang lain sebagaimana kamu membenci bagi dirimu sendiri.” (HR. Al-Munziri)

8. Semua dosa-dosa mereka diampunkan.

Rasulullah SAW bersabda,

إذا التقى المسلمان فتصافحا ، غابت ذنوبهم من بين أيديهما كما تَسَاقَطُ عن الشجرة .

“Jika dua orang Muslim bertemu dan kemudian mereka saling berjabat tangan, maka dosa-dosa mereka hilang dari kedua tangan mereka, bagai berjatuhan dari pohon.” (Hadis yang ditakhrij oleh Al-Imam Al-Iraqi, sanadnya dha’if)
Kekuatan Ukhuwah Islamiyah

Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam) adalah satu dari tiga unsur kekuatan yang menjadi karakteristik masyarakat Islam di zaman Rasulullah, yaitu:

Pertama : kekuatan iman dan aqidah.

Kedua : kekuatan ukhuwah dan ikatan hati.

Ketiga : kekuatan kepemimpinan dan senjata.

Dengan tiga kekuatan ini, Rasulullah SAW membangun masyarakat ideal, memperluas Islam, mengangkat tinggi bendera tauhid, dan mengeksiskan umat Islam atas muka bumi ini.

Pada abad ke-15 Hijriah ini, kita berusaha memperbaharui kekuatan ukhuwah ini, karena ukhuwah memiliki pengaruh kuat dan aktif dalam proses mengembalikan kejayaan umat Islam. Jika salah satu dari ketiga unsur kekuatan ini hilang,maka sangat sulit bagi umat Islam meraih kembali kejayaan yang pernah diraih diwaktu yang lampau.

Imam Malik Rahimahullahu Ta’ala berkata

لَنْ يَصْلُحَ آخِرُ هَذِهِ الأُمَّةِ إِلاَّ بِمَا صَلُحَ بِهِ أَوَّلُهَا .

“Sekali-kali tidak akan menjadi baik akhir kehidupan ummat ini kecuali dengan apa yang pernah menjadikan nya baik pada awalnya.” (Asy Syifa fi Huquuqil Musthafa 2/88, oleh Al-Qadhi ‘Iyadh)
Kedudukan Ukhuwah dalam Islam

1. Ukhuwah Islamiyah adalah nikmat Allah, anugerah suci, dan pancaran cahaya rabbani yang Allah persembahkan untuk hamba-hamba-Nya yang ikhlas dan pilihan.

Allah berfirman,

“Wahai kaum mukmin, teguhkanlah diri kalian dalam melaksanakan Islam secara utuh. Janganlah kalian mengambil sebagian syari’at, tetapi meninggalkan sebagian lainnya. Ingatlah nikmat Allah kepada kalian. Ketika kalian masih kafir pada jaman jahiliyah kalian bermusuhan, kemudian Allah satukan hati kalian dengan Islam, sehingga kalian menjadi bersaudara karena Islam. Pada jaman jahiliyah kalian mengalami masa kerusakan moral, lalu Allah selamatkan kalian dari kerusakan moral itu. Demikianlah Allah menjelaskan syari’at-Nya kepada kalian supaya kalian memperoleh petunjuk untuk hidup bersaudara.“ (QS Ali Imran 3: 103)

2. Ukhuwah adalah pemberian Allah.

Allah Ta’ala berfirman:

“…Wahai Muhammad, sekiranya kamu membelanjakan semua kekayaan yang ada di bumi ini untuk menyatukan hati kaum mukmin, niscaya kamu tidak akan dapat menyatukan hati mereka. Akan tetapi Allah lah yang menyatukan hati mereka.…” (QS. Al-Anfal, 8: 63)

“…Ingatlah nikmat Allah kepada kalian. Ketika kalian masih kafir pada jaman jahiliyah kalian bermusuhan...” (QS. Ali Imran, 3: 103)

3. Ukhuwah adalah kelembutan, cinta, dan kasih sayang

Rasulullah SAW bersabda,

مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ ، وَتَرَاحُمِهِمْ ، وَتَعَاطُفِهِمْ ، مَثَلُ الْجَسَدِ ؛ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى .

“Perumpamaan seorang mukmin dengan mukmin lainnya dalam kelembutan dan kasih sayang, bagaikan satu tubuh. Jika ada bagian tubuh yang merasa sakit, maka seluruh bagian tubuh lainnya turut merasakannya.” [HR. Muslim]

4. Ukhuwah juga membangun umat yang kokoh.

Ia adalah bangunan maknawi yang mampu menyatukan masyarakat manapun. Ia lebih kuat dari bangunan materi, yang suatu saat bisa saja hancur diterpa badai atau ditelan masa. Sedangkan bangunan ukhuwah Islamiyah akat tetap kokoh.

Rasulullah SAW bersabda,

الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا .

“Mukmin satu sama lainnya bagaikan bangunan yang sebagiannya mengokohkan bagian lainnya.” [HR. Bukhari]

5. Ukhuwan tak bisa dibeli dengan uang atau sekedar kata-kata. Tapi ia diperoleh dari penyatuan antara jiwa dan jiwa, ikatan hati dan hati.

Dan ukhuwah merupakan karakteristik istimewa dari seorang mukmin yang shalih. Rasulullah SAW bersabda,

الْمُؤْمِنُ آلِفٌ مَأْلُوفٌ ، وَلَا خَيْرَ فِيمَنْ لَا يَأْلَفُ وَلَا يُؤْلَفُ .

“Seorang mukmin itu hidup rukun. Tak ada kebaikan bagi yang tidak hidup rukun dan harmonis.”

6. Dan ukhuwah Islamiyah ini diikat oleh iman dan taqwa. Iman juga diikat dengan ukhuwah.

Allah Ta’ala berfirman,

orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” [QS. Al-Hujurat 49: 10]

Artinya, mukmin itu pasti bersaudara. Dan tidak ada persaudaraan kecuali dengan keimanan. Jika Anda melihat ada yang bersaudara bukan karena iman, maka ketahuilah itu adalah persaudaraan dusta. Tidak memiliki akar dan tidak memiliki buah. Jika Anda melihat iman tanpa persaudaraan, maka itu adalah iman yang tidak sempurna, belum mencapai derajat yang diinginkan, bahkan bisa berakhir dengan permusuhan. Allah berfirman,

“Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang bertakwa.” [QS. Al-Zukhruf: 67]
Syarat dan Hak Ukhuwah


Hendaknya bersaudara untuk mencari keridhaan Allah, bukan kepentingan atau berbagai tujuan duniawi. Tujuannya ridha Allah, mengokohkan internal umat Islam, berdiri tegar di hadapan konspirasi pemikiran dan militer yang menghujam agama dan akidah umat. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya…” [HR. Bukhari]


Hendaknya saling tolong-menolong dalam keadaan suka dan duka, senang atau tidak, mudah maupun susah. Rasul bersabda, “Muslim adalah saudara muslim, ia tidak mendhaliminya dan tidak menghinanya… tidak boleh seorang muslim bermusuhan dengan saudaranya lebih dari tiga hari, di mana yang satu berpaling dari yang lain, dan yang lain juga berpaling darinya. Maka yang terbaik dari mereka adalah yang memulai mengucapkan salam.” [HR. Muslim]


Memenuhi

hak umum dalam ukhuwah Islamiyah. Rasul bersabda,

حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ : إِذَا لَقِيتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ ، وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ ، وَإِذَا اسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْ لَهُ، وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اللهَ فَشَمِّتْهُ ، وَإِذَا مَرِضَ فَعُدْهُ ، وَإِذَا مَاتَ فَاتَّبِعْهُ .

“Hak muslim atas muslim lainnya ada enam,

“(1) Apabila kamu bertemu dengannya, maka ucapkanlah salam kepadanya,

(2) Apabila dia mengundangmu, maka penuhilah undangannya,

(3) Apabila dia meminta nasihat kepadamu, maka berilah nasihat kepadanya,

(4) Apabila dia bersin lalu memuji Allah, maka doakanlah dia -dengan bacaan yarhamukallah-,

(5) Apabila dia sakit, maka jenguklah dia,

(6) Dan apabila dia meninggal, maka iringilah jenazahnya.” [HR. Muslim]
Contoh Penerapan Ukhuwah Islamiyah

1. Rasul mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan Anshar, antara Aus dan Khazraj.

Saat itu Rasul menggenggamkan tangan dua orang, seorang dari Muhajirin dan seorang lagi dari Anshar. Rasul berkata pada mereka, “Bersaudaralah karena Allah dua-dua.”

Maka Rasulullah mempersaudarakan antara Sa’ad bin Rabi’ dan Abdurrahman bin Auf. Saat itu, Sa’ad langsung menawarkan setengah hartanya kepada Abdurrahman, memberikan salah satu dari dua rumahnya. Bahkan ia siap menceraikan salah satu istrinya supaya bisa dinikahi oleh Abdurrahman.

Pemuliaan keimanan kaum Anshar ini diterima kaum Muhajirin dengan keimanan pula, sehingga Abdurrahman bin Auf berkata, “Biarkanlah harta, rumah, dan istrimu bersamamu. Tunjukkanlah aku pasar.” Maka Abdurrahman meminjam uang dari Sa’ad, sehingga Allah membukakan pintu-pintu rizki baginya, sehingga Abdurrahman bin Auf menjadi salah satu sahabat Nabi yang sangat kaya.

Allah berfirman, “Bagi para fuqara yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-(Nya) dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar. Dan orang-orang yang telah menempati kota Madiah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah pada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang-orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang diperlihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” [QS: Al-Hasyr: 8-9]

2. Persaudaraan yang sejati ialah Persaudaraan seiman.

Setelah perang Badar, kaum Muslimin menawan 70 orang musyrikin. Salah seorang dari kaum musyrik itu bernama Aziz, saudara kandungnya sahabat Rasul bernama Mus’ab bin Umair.

Ketika Mus’ab melihat saudara kandungnya, ia berkata pada saudaranya yang muslim, “Kuatkanlah ikatannya. Mintalah uang darinya sesukamu, karena ibunya memiliki banyak uang.” Dengan terkejut Aziz berkata, “Apakah seperti ini wasiatmu atas saudaramu?” Mus’ab berkata, “Kamu bukan saudaraku, akan tetapi dia (sambil menunjuk seorang Muslim).” Ini menunjukkan bahwa ukhuwah atas dasar agama lebih kuat dari hubungan darah.

3. Pernah seorang sahabat Rasulullah memberikan segelas air kepada salah satu teman-temannya yang sedang mengembala kambing. Temannya tersebut memberikan air kepada teman kedua. Yang kedua memberikan kepada yang ketiga. Begitulah seterusnya, hingga air tersebut kembali pada yang memberikan air pertama kali, setelah tujuh kali air itu berpindahan tangan.

4. Salah seorang sahabat Rasul bernama Masruq memiliki hutang yang banyak. Namun karena saudaranya bernama Khaitsamah juga berhutang, maka Masruq membayar hutang Khaitsamah tanpa sepengetahuannya. Sedangkan Khaitsamah, mengetahui saudaranya masruq memiliki hutang yang banyak, ia pun membayarnya tanpa sepengetahuannya Masruq.
Faktor-faktor Perusak Ukhuwah Islamiyah

Dalam kehidupan umat Islam, kita akui bahwa ukhuwah Islamiyah belum berwujud secara ideal, namun musuh-musuh umat ini tidak suka bila ukhuwah itu berwujud, mereka terus berusaha menghambatnya. Karena itu, setiap kali ada berita buruk, kita tidak boleh langsung mempercayainya, tapi lakukan tabayyun atau cek dan ricek terlebih dahulu kebenaran berita itu. Tentang perkara berita buruk, berita sensasi yang tidak jelas sumbernya, Al Qur’an telah mengingatkan cara menghadapi dan solusinya.

Allah swt. berfirman,

“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya sehingga kamu akan menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS Al-Hujurat (49): 6)

Asbabun nuzul (sebab turunnya ayat) tersebut di atas adalah, suatu ketika Al-Harits datang menghadap Nabi Muhammad SAW, beliau mengajaknya masuk Islam, bahkan sesudah masuk Islam ia menyatakan kemauan dan kesanggupannya untuk membayar zakat. Kepada Rasulullah, Al-Harits menyatakan, “Saya akan pulang ke kampung saya untuk mengajak orang untuk masuk Islam dan membayar zakat dan bila sudah sampai waktunya, kirimkanlah utusan untuk mengambilnya.” Namun ketika zakat sudah banyak dikumpulkan dan sudah tiba waktu yang disepakati oleh Rasul, ternyata utusan beliau belum juga datang. Maka Al-Harits beserta rombongan berangkat untuk menyerahkan zakat itu kepada Nabi.

Sementara itu, Rasulullah SAW mengutus Al-Walid bin Uqbah untuk mengambil zakat, namun di tengah perjalanan hati Al-Walid merasa gentar dan menyampaikan laporan yang tidak benar, yakni Al-Harits tidak mau menyerahkan dana zakat, bahkan ia akan dibunuhnya. Rasulullah tidak langsung begitu saja percaya, beliau pun mengutus lagi beberapa sahabat yang lain untuk menemui Al-Harits. Ketika utusan itu bertemu dengan Al-Harits, ia berkata, “Kami diutus kepadamu.” Al-Harits bertanya, “Mengapa?” Para sahabat menjawab, “Sesungguhnya Rasulullah telah mengutus Al-Walid bin Uqbah, ia mengatakan bahwa engkau tidak mau menyerahkan zakat bahkan mau membunuhnya.”

Al-Harits menjawab, “Demi Allah yang telah mengutus Muhammad dengan sebenar-benarnya, aku tidak melihatnya dan tidak ada yang datang kepadaku.” Maka ketika mereka sampai kepada Nabi SAW, beliau pun bertanya, “Apakah benar engkau menahan zakat dan hendak membunuh utusanku?” “Demi Allah yang telah mengutusmu dengan sebenar-benarnya, aku tidak berbuat demikian.” Maka turunlah ayat tersebut diatas.

Allah Ta’ala berfirman:

“Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat. Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hujurat, 49: 10-12)

Dalam ayat-ayat di atas terdapat tuntutan-tuntutan yang harus dilaksakanakan oleh orang-orang muslim yang menjalin Ukhuwah Islamiyah yang dengan ukhuwah itu saling tolong menolong untuk melaksanakan tuntutan tesebut. Sedikitnya ada enam perkara yang harus hindari agar ukhuwah Islamiyah tetap terpelihara yaitu:

Pertama, memperolok-olokan, baik antar individu maupun antar kelompok, baik dengan kata-kata maupun dengan bahasa isyarat karena hal ini dapat menimbulkan rasa sakit hati, kemarahan dan permusuhan. Manakala kita tidak suka diolok-olok, maka janganlah kita memperolok-olok, apalagi belum tentu orang yang kita olok-olok itu lebih buruk dari diri kita.

Kedua, mencaci atau menghina orang lain dengan kata-kata yang menyakitkan, apalagi bila kalimat penghinaan itu bukan sesuatu yang benar. Manusia yang suka menghina berarti merendahkan orang lain, dan iapun akan jatuh martabatnya.

Ketiga, memanggil orang lain dengan panggilan gelar-gelar yang tidak disukai. Kekurangan secara fisik bukanlah menjadi alasan bagi kita untuk memanggil orang lain dengan keadaan fisiknya itu. Orang yang pendek tidak mesti kita panggil si pendek, orang yang badannya gemuk tidak harus kita panggil dengan si gembrot, begitulah seterusnya karena panggilan-panggilan seperti itu bukan sesuatu yang menyenangkan. Memanggil orang dengan gelar sifat yang buruk juga tidak dibolehkan meskipun sifat itu memang dimilikinya, misalnya karena si A sering berbohong, maka dipanggillah ia dengan si pembohong, padahal sekarang sifatnya justru sudah jujur tapi gelar si pembohong tetap melekat pada dirinya. Karenanya jangan dipanggil seseorang dengan gelar-gelar yang buruk.

Keempat, berburuk sangka, ini merupakan sikap yang bermula dari iri hati (hasad). Akibatnya ia berburuk sangka bila seseorang mendapatkan kenimatan atau keberhasilan. Sikap seperti harus dicegah karena akan menimbulkan sikap-sikap buruk lainnya yang bisa merusak ukhuwah islamiyah.

Kelima, mencari-cari kesalahan orang lain, hal ini karena memang tidak ada perlunya bagi kita, mencari kesalahan diri sendiri lebih baik untuk kita lakukan agar kita bisa memperbaiki diri sendiri.

Keenam, bergunjing dengan membicarakan keadaan orang lain yang bila ia ketahui tentu tidak menyukainya, apalagi bila hal itu menyangkut rahasia pribadi seseorang. Manakala kita mengetahui rahasia orang lain yang ia tidak suka bila hal itu diketahui orang lain, maka menjadi amanah bagi kita untuk tidak membicarakannya.

Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa ketika ukhuwah islamiyah kita dambakan perwujudannya, maka segala yang bisa merusaknya harus kita hindari. Bila ukhuwah sudah terwujud, yang bisa merasakan manfaatnya bukan hanya sesama kaum muslimin, tapi juga umat manusia dan alam semesta, karena Islam merupakan agama yang membawa rahmat bagi seluruh alam. Karenanya mewujudkan ukhuwah Islamiyah merupakan kebutuhan penting
Tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar terpelihara ukhuwah Islamiyah

Dari Abu Hurairah RA, yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda:

لاَ تَحَاسَدُوا وَلاَ تَنَاجَشُوا وَلاَ تَبَاغَضُوا وَلاَ تَدَابَرُوا وَلاَ يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَكُونُوا عِبَادَ اللهِ إِخْوَانًا . الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ ، لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يَخْذُلُهُ وَلاَ يَحْقِرُهُ …

“Janganlah kalian mendengki, saling ‘najasy’ menawarkan barang agar orang lain membeli dengan harga mahal saling membenci, saling memusuhi, dan jangan membeli barang yang sedang ditawar orang lain. Hendaklah kalian menjadi hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang Muslim adalah saudara bagi muslim yang lain tidak menzhaliminya, tidak membiarkan saat ia membutuhkan pertolongan dan tidak menghinanya…” [HR. Muslim]

Dari Abu Musa RA, dia berkata: “Rasulullah SAW bersabda:

إِنَّ الْمُؤْمِنَ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا وَشَبَّكَ أَصَابِعَهُ

“Seorang mukmin bgi mukmin yang lain adalah bagaikan sebuah bangunan yang sebagiannya menguatkan sebagian yang lain.” Dan beliau merajutkan antara jari-jemarinya.” [HR. Bukhari dan Muslim]

Dari Nu’man Ibn Basyir RA, dia berkata: “Rasulullah SAW bersabda:

مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى .

“Perumpamaan orang mukmin di dalam saling mencintai, saling mengasihi dan saling menyayangi adalah bagaikan satu jasad, jika salah satu anggotanya menderita sakit maka seluruh jasad merasakan (penderitaan) dengan tidak bisa tidur dan merasa panas.” [HR. Bukhari dan Muslim]

Dari Abdullah bin Umar RA, dia berkata: “Rasulullah SAW bersabda:

الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يُسْلِمُهُ وَمَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللهُ فِي حَاجَتِهِ وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرُبَاتِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Orang muslim adalah saudara muslim yang lain, tidak menganiayanya dan tidak menyerahkanya (kepada musuh). Barangsiapa ada di dalam keparluan saudaranya maka Allah ada di dalam keperluannya. Barangsiapa menghilangkan satu kesukaran dari orang muslim maka Allah akan menghilangkan baginya satu kesukaran dari kesukaran-kesukaran yang ada pada hari kiamat. Dan barangsiapa yang menutupi seorang muslim maka Allah akan menutupinya pada hari kiamat.” [HR. Bukhari dan Muslim]

Dari Abu Hurairah RA, dia berkata: “Rasulullah SAW bersabda:

الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَخُونُهُ وَلَا يَكْذِبُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ عِرْضُهُ وَمَالُهُ وَدَمُهُ التَّقْوَى هَا هُنَا بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنْ الشَّرِّ أَنْ يَحْتَقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ .

“Orang muslim itu saudara muslim yang lain, tidak mengkhianatinya, tidak membohonginya dan tidak menghinanya. Setiap muslim atas muslim yang lainnya haram; kehormatannya, hartanya dan darahnya. Taqwa itu di sini. Cukuplah kejahatan seseorang bila ia menghina saudaranya yang muslim.” [HR. Tirmidzi]

Dan dari Abu Hurairah RA, dia berkata: “Rasulullah SAW bersabda:

لَا تَحَاسَدُوا وَلَا تَنَاجَشُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَلَا تَدَابَرُوا وَلَا يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَكُونُوا عِبَادَ اللهِ إِخْوَانًا الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ وَلَا يَحْقِرُهُ التَّقْوَى هَاهُنَا وَيُشِيرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنْ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ.

“Janganlah kalian saling hasud (iri hati), saling curang, saling membenci, saling membelakangi, dan janganlah sebagian kamu menjual atas penjualan saudara muslim yang lainnya, tidak menganiayanya, tidak meremehkannya dan tidak menghinanya. Taqwa itu di sini –beliau menunjuk dadanya tiga kali- cukuplah kejahatan seseorang bila ia merendahkan saudaranya yang muslim. Setiap muslim atas mulim yang lain haram darahnya, hartanya dan kehormatannya.” [HR. Muslim]

Dari Anas RA, dia berkata: “Rasulullah SAW bersabda:

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

“Tidaklah seseorang itu beriman sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” [HR. Bukhari dan Muslim]

Dan dari Anas RA, dia berkata: “Rasulullah SAW bersabda:

انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللهِ أَنْصُرُهُ إِذَا كَانَ مَظْلُومًا أَفَرَأَيْتَ إِذَا كَانَ ظَالِمًا كَيْفَ أَنْصُرُهُ قَالَ تَحْجُزُهُ أَوْ تَمْنَعُهُ مِنْ الظُّلْمِ فَإِنَّ ذَلِكَ نَصْرُهُ .

“Tolonglah saudaramu yang berbuat aniaya atau yang dianiaya. Maka seseorang bertanya: “Ya Rasulullah, saya menolongnya jika ia dianiaya, tetapi beritahukanlah kepada saya apa bila ia berbuat aniaya, bagaimana saya menolongnya?” Beliau menjawab: “Engkau mencegahnya -atau melarangnya- disaat dia berbuat aniaya, yang demikian itu adalah (cara) memolongnya.” [HR. Bukhari]

Dari Abu Hurairah RA, dia berkata: “Rasulullah SAW bersabda:

حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ خَمْسٌ رَدُّ السَّلَامِ وَعِيَادَةُ الْمَرِيضِ وَاتِّبَاعُ الْجَنَائِزِ وَإِجَابَةُ الدَّعْوَةِ وَتَشْمِيتُ الْعَاطِسِ . وفي رواية لمسلم: حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ قِيلَ مَا هُنَّ يَا رَسُولَ الله قَالَ إِذَا لَقِيتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ وَإِذَا اسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْ لَهُ وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اللهَ فَسَمِّتْهُ وَإِذَا مَرِضَ فَعُدْهُ وَإِذَا مَاتَ فَاتَّبِعْهُ .

“Hak seorang muslim atas muslim yang lainnya ada lima: menjawab salam, menjenguk yang sakit, mengiringi jenazah, mendatangi undangan dan mendoakan yang bersin.” [HR. Bukhari dan Muslim]

Dalam riwayat Muslim: “Hak seorang muslim atas muslim yang lainnya ada enam: “Apabila kamu bertemu dengannya maka ucapkanlah salam kepadanya, apabila ia mengundangmu maka datangla, apa bila meminta nasihat kepadamu maka nasihatilah, apabila ia bersin lalu memuji Allah maka do’akanlah, apabila ia sakit maka jenguklah dan apa bila ia meninggal maka iringilah ia.”

Dari Abu Umarah Al-Bara’ Ibn ‘Azib RA, dia berkata:

أَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِسَبْعٍ وَنَهَانَا عَنْ سَبْعٍ أَمَرَنَا بِعِيَادَةِ الْمَرِيضِ وَاتِّبَاعِ الْجَنَازَةِ وَتَشْمِيتِ الْعَاطِسِ وَإِبْرَارِ الْقَسَمِ وَنَصْرِ الْمَظْلُومِ وَإِجَابَةِ الدَّاعِي وَإِفْشَاءِ السَّلَامِ وَنَهَانَا عَنْ خَوَاتِيمَ أَوْ عَنْ تَخَتُّمٍ بِالذَّهَبِ وَعَنْ شُرْبٍ بِالْفِضَّةِ وَعَنْ الْمَيَاثِرِ وَعَنْ الْقَسِّيِّ وَعَنْ لُبْسِ الْحَرِيرِ وَالْإِسْتَبْرَقِ وَالدِّيبَاجِ .

“Rasulullah SAW memerintahkan kami dengan tujuh perkara. Beliau memerintah kami untuk menjenguk orang sakit, mengiring jenazah, mendo’akan orang bersin, menepati (menunaikan) apa yang disumpahkan, menolong orang yang teraniaya, mendatangi orang yang mengundang dan menebar salam. Dan beliau melarang kami dari cincin-cincin atau bercincin dengan emas, minum dengan wadah dari perak, duduk di atas bantal (pelana) sutra (yang biasa) berwarna merah, baju sutera (campuran) dan memakai sutera, yang halus dan yang tebal.” [HR. Bukhari dan Muslim]
Hukum Kafir dan Takfir

As Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh, salah seorang ulama’ Saudi, ketika menjawab sebuah pertanyaan: “Apa saja batasan-batasan didalam masalah Takfir?” Beliau berkata:

“At Takfir artinya memvonis kafir terhadap seseorang tertentu atau kelompok tertentu. Maka di sana ada dua istilah yang saling berkaitan yaitu: al-kufru dan at-takfir, al-bid’ah dan at-tabdi’, al-fisqu dan at-tafsiq dan sebagainya.

Al Kufru (kekafiran) melahirkan At-Takfir (pengkafiran). Maka tidak ada takfir kecuali setelah adanya kufr. Dan yang kita maksud dengan al-kufru di sini adalah al-kufrul-akbar (kufur besar) yang dapat mengeluarkan (pelakunya) dari lingkaran Islam. Dan sesungguhnya al-kufrul-ashghar (kufur kecil) tidak mengeluarkan (pelakunya) dari lingkaran agama Islam, hal ini tidak mengakibatkan pengkafiran terhadap para pelakunya. Jadi, ungkapan at-takfir hanya dialamatkan kepada orang yang melakukan kekafiran yang dapat mengeluarkan dari lingkaran agama Islam. Dasar makna takfir adalah menanggalkan iman dari orang yang iman itu ada padanya.

Iman mempunyai definisi tersendiri secara terminologis menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Iman ini, menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah ‘ucapan, amalan dan keyakinan’. Maka siapa saja yang masuk kedalam iman maka sebutan iman menjadi haknya, maka arti dari mengkafirkannya adalah mencabut akar iman itu darinya, yang berarti ia menjadi seorang kafir setelah sebelumnya sebagai seorang mukmin.

Kalau iman menurut Ahlus Sunnah wal Jamaah dengan ucapan, amalan dan keyakinan sebagai bentukan dari tiga pilar dan bukan konsekuensi, maka siapa saja yang pada dirinya tidak ada keyakinan (i’tiqad) maka dia adalah seorang kafir. Sebab, satu pilar iman hilang darinya, dan iman tidak akan terbentuk kecuali dengan terwujudnya tiga pilar itu secara integral. Dan siapa saja yang tidak mempunyai ikrar pengakuan lisan pada dirinya maka dia adalah seorang kafir. Dan siapa saja yang tidak mempunyai jenis amal pada dirinya maka dia adalah seorang kafir. Inilah makna dari penetapan Ahlus Sunnah wal Jamaah terhadap iman sebagai ‘ucapan, amalan dan keyakinan’.

Jadi, takfir (pengkafiran) menurut Ahlus Sunnah wal Jamaah bias terjadi karena keyakinannya, amalnya dan ucapan-ucapannya, yang disebabkan karena ia telah menyalahinya. Semua itu terbagi menjadi dua bagian, yaitu menyalahi akar (dasar) atau melakukan sesuatu yang menyalahi akar.

Sebagai contoh: dari ucapan, adalah orang yang menolak untuk mengucapkan kalimat tauhid (la ilaha illallah) maka tidak bisa menjadi seorang mukmin; dan siapa saja yang menolak beramal maka ia tidak bisa menjadi seorang mukmin. Maksudnya, ia mengatakan ‘aku menolak dan tidak akan komitmen kepada amal kewajiban apa pun atau tidak akan meninggalkan hal-hal yang diharamkan’ maka orang ini bukan mukmin. Demikian pula orang yang mengatakan, “Aku tidak meyakini sedikitpun dari hal-hal yang wajib diyakini dalam masalah iman, maka akar imannya dicabut darinya. Ini dilihat dari sudut peletakan dasar iman.”

Bisa jadi saya telah menggunakan kata-kata yang tidak bisa difahami tidak seperti makna yang sebenarnya, maka saya perlu menjelaskannya insyaAllah. Yaitu: kata iltizam (komitmen) dan imtina’ (menolak), dua kata ini sering kita jumpai di dalam banyak kitab-kitab para ahli ilmu dan di dalam jawaban-jawaban mereka, terutama Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan para pemuka dakwah. Kata iltazama (berkomitmen) dan kata imtana’a (menolak), ath-thaifah al-multazimah (kelompok yang berkomitmen) dan ath-thaifah al-mumtani’ah (kelompok yang menolak).

Kata iltizam itu tidak mereka maksudkan al-qabul (menerima), dan demikian pula kata al-imtina’ tidak mereka maksudkan adamul-fi’li (tidak mengerjakan). Yang mereka maksud dengan iltizam adalah orang itu meyakini bahwasanya dia adalah orang yang diseru dengan kewajiban, atau diseru dengan pengharaman. Dan yang mereka maksud dengan imtina’ adalah seperti ungkapan, “Bukan aku yang diseru dengan kewajiban ini” atau “bukan aku yang diseru dengan pengharaman ini.” Maka barangsiapa yang meyakini sesuatu dari berbagai keyakinan sesat atau ia berkata, ‘Aku menolak dari amal ini’, dalam arti: amal ini tidak harus bagiku dan bukan aku yang diseru, padahal pada dasarnya wajib, akan tetapi berkeyakinan tidak diwajib atasku, ia wajib namun aku tidak diseru dengannya, ia tidak wajib atasku melainkan wajib atas selain aku, sebagaimana halnya dilakukan oleh sekelompok kaum sufi yang berkeyakinan bahwa “seluruh beban agama sudah menjadi gugur dari kami.” Atau ia mengatakan, ‘aku menolak mengucapkan kalimat syahadat yang dengannya Islam dan iman bisa dicapai.’” Atau berkata, “aku menolak itu.” Maksudnya adalah tidak harus bagiku ini’, atau “aku tidak akan mengatakannya, karena iman itu sudah cukup tanpa harus mengucapkan kalimat ini…!” ini semua tidak masuk kedalam iman. Jika hal ini terjadi sedikit pun dari seorang (yang mengaku) mukmin, maka iman telah keluar darinya.[16]
Kaedah dan Batasan Dalam Masalah Takfir

Berkaitan takfir, Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid dalam bukunya Dar’ul Fitnah ‘an Ahli Sunnah memberikan beberapa rambu dan peringatan sebagai berikut:


Takfir adalah hukum syari’at yang tidak boleh didasarkan pada ra’yu (akal) semata, karena masalah ini termasuk masalah syar’i, bukan masalah aqliyah. Oleh karena itu, pendapat yang benar dalam masalah ini adalah bahwa takfir merupakan hak Allah semata, dan tidak ada seorang pun di antara hamba-hamba-Nya yang berhak menentukannya. Maka orang kafir adalah orang yang dikafirkan Allah dan rasul-Nya, bukan yang lain. Demikian juga menghukumi seseorang sebagai orang adil, darahnya terjaga dan termasuk orang yang berbahagia di dunia dan akhirat merupakan masalah syar’i, oleh karena itu ra’yu tidak boleh masuk ke dalamnya. Hukum untuk menentukan itu adalah hak milik Allah dan Rasul-Nya.


Untuk menghukumi sesuatu sebagai riddah dan kufr harus ada sebab-sebab adanya hukum riddah dan kufr yaitu perkara-perkara yang membatalkan keislaman dan keimanan, baik berupa keyakinan, perkataan, perbuatan, keraguan, atau meninggalkan suatu perbuatan, yang menurut dalil yang jelas dan keterangan yang terang dari al-Kitab, sunnah dan ijma’ bahwa hal ini merupakan pembatal-pembatal iman yang mu’tabar. Maka dalil yang dlaif (lemah) tidak cukup untuk dijadikan sandaran, demikian juga dalil yang masih samar. Dan tidak boleh mengambil pendapat seorang pun jika pendapatnya itu tidak didasari dalil yang jelas dan shahih. Para ulama telah menjelaskan sebab-sebab kekufuran di dalam kitab-kitab akidah, dan dalam sub bab hukum orang murtad dalam kitab-kitab fikih.

Sebagaimana adanya faktor-faktor yang harus ada untuk menentukan hukum riddah dan kekufuran, maka dia juga memiliki beberapa syarat dan penghalang.

Syaratnya adalah harus ada penegakan hujjah risalah yang dapat menghilangkan syubhat, dan tidak adanya penghalang-penghalang seperti takwil, kebodohan, kesalahan dan paksaan. Pada sebagian syarat tersebut ada perinciannya yang cukup panjang.


Harus dibedakan antara takfir mutlak dan takfir mu’ayyan. Takfir mutlak adalah tindakan mengafirkan secara umum terhadap orang yang melakukan salah satu pembatal keislaman. Sesungguhnya keyakinan, perkataan, perbuatan, keraguan ataupun meninggalkan satu perbuatan itu jika termasuk kekufuran, maka perkataan yang mutlak itu adalah dengan mengafirkan orang yang melakukan perbuatan itu atau mengucapkan perkataan tersebut dan seterusnya.

Tanpa menentukan orang per orangnya. Adapun takfir mu’ayyan adalah jika ada orang yang mengucapkan perkataan itu atau melakukan perbuatan kufur, maka sebelum menghukumi bahwa orang itu kafir harus dilihat terlebih dahulu terpenuhinya syarat-syaratnya dan tidak adanya penghalang. Dia dihukumi sebagai kafir dan murtad, lalu diminta untuk bertaubat, maka jika dia bertaubat, dia bebas. Dan jika tidak mau bertaubat, dia dibunuh menurut ketentuan syari’at.


Pendapat yang benar adalah tidak mengafirkan setiap orang yang menyelisihi ahlussunnah wal jama’ah karena penyimpangannya. Tetapi hukumnya didudukkan sesuai dengan jenis penyimpangannya, apakah termasuk kekufuran, bid’ah, fasik atau maksiat.

Demikianlah pendapat ahlussunnah wal jama’ah, yaitu tidak mengafirkan setiap orang yang menyelisihi mereka. Ini menunjukkan bahwa mereka memiliki ilmu, iman, sikap adil, dan kasih sayang kepada sesama makhluk. Ini berbeda dengan ahlul hawa’, yang kebanyakan mereka mengafirkan orang yang menyelisihi mereka.


Sebagaimana iman itu bercabang-cabang dan tingkatannya berbeda-beda (yang paling tinggi adalah ucapan laa ilaa haillallah, yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan malu itu termasuk salah satu cabang iman), maka demikian juga dengan kekufuran, yang merupakan lawan dari iman, dia juga bercabang-cabang dan tingkatannya berbeda-beda. Yang paling buruk adalah kekufuran yang dapat mengeluarkan pelakunya dari agama, seperti kufur kepada Allah dan mendustakan ajaran yang dibawa Nabi Muhammad SAW Ada juga yang disebut kufur duna kufrin (kekufuran yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama). Dan ada pula sebagian perbuatan maksiat yang dinamai dengan kekufuran.

Oleh karena itu, para ulama tafsir, para pensyarah hadits dan para penulis ilmu bahasa Arab dan kata-kata yang memiliki lebih dari satu makna mengingatkan, bahwa lafazh kufur yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah itu memiliki beberapa makna: ada yang termasuk kekufuran yang mengeluarkan seseorang dari agama, kufr duna kufrin, kufur nikmat, bebas dari tuduhan, juhud (ingkar) dan menutupi (sesuai dengan asal maknanya menurut bahasa). Berdasarkan hal ini, maka jika ada seorang hamba yang melakukan salah satu cabang kekufuran, dia tidak serta merta menjadi kafir secara mutlak yang mengeluarkannya dari agama, sehingga dia melakukan pokok kekufuran, yang berupa salah satu pembatal keislaman, baik yang berupa keyakinan, perkataan ataupun perbuatan yang keterangannya bersumber dari Allah dan rasul-Nya, bukan dari yang lain.

Maka yang wajib dilakukan adalah meletakkan nash-nash sesuai pada tempatnya, dan menafsirkannya sesuai dengan yang dimaksud nash tersebut berdasarkan penjelasan para ulama amilin yang ilmunya mendalam. Kekeliruan dalam masalah ini sering terjadi dalam tataran praktik dan penafsiran nash, maka hendaknya orang yang ingin adil pada dirinya menyadari bahwa ini merupakan perkara yang pelik dan rinci, dan hendaknya dia berhenti pada batas-batasnya dan menyerahkan ilmu kepada orang yang menguasainya.


Menetapkan hukum kafir itu bukan merupakan hak setiap orang, namun penetapan hukum ini diserahkan kepada para ulama yang memahami ilmu syar’i secara mendalam dan mendapat pengakuan dalam hal ilmu, kebaikan dan keutamaannya.

Adanya peringatan keras dan larangan berburuk sangka kepada seorang muslim, apalagi mencacinya dan mengafirkannya, menghukuminya sebagai orang murtad dan tergesa-gesa dalam mengambil kesimpulan dalam masalah itu tanpa didasari hujjah dan penjelasan dari al-Qur’an dan sunnah. [17]
Ancaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap orang yang suka Takfir:

Rasulullah SAW bersabda:

إِذَا كَفَّرَ الرَّجُلُ أَخَاهُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا .

“Apabila ada seseorang yang mengkafirkan saudaranya (seiman-red) maka salah satu dari keduanya akan tertimpa kekufuran.” [HR Muslim]

Rasulullah SAW bersabda:

أَيُّمَا امْرِئٍ قَالَ لِأَخِيهِ يَا كَافِرُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَإِلَّا رَجَعَتْ عَلَيْهِ .

“Barangsiapa yang berkata kepada saudaranya, “hai orang kafir,” maka kata itu akan menimpa salah satunya. Jika benar apa yang diucapkan (berarti orang yang dituduh menjadi kafir); jika tidak, maka tuduhan itu akan menimpa orang yang menuduh.” [HR Muslim]

Dari Abu Dzar RA, dia mendengar Rasulullah SAW bersabda,

لَيْسَ مِنْ رَجُلٍ ادَّعَى لِغَيْرِ أَبِيهِ وَهُوَ يَعْلَمُهُ إِلَّا كَفَرَ وَمَنِ ادَّعَى مَا لَيْسَ لَهُ فَلَيْسَ مِنَّا وَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ وَمَنْ دَعَا رَجُلًا بِالْكُفْرِ أَوْ قَالَ عَدُوَّ اللهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِلَّا حَارَ عَلَيْهِ .

“Tidak ada seorang lelakipun yang mengakui bapak kepada orang yang bukan bapaknya padahal ia tahu (kalau itu bukan bapaknya), kecuali dia telah kufur. Barangsiapa yang mengaku sesuatu yang bukan haknya, berarti dia tidak termasuk golongan kami dan hendaklah ia menempati tempat duduknya dari api neraka. Dan barangsiapa yang memanggil seseorang dengan panggilan “kafir” atau “musuh Allah” padahal dia tidak kafir, maka tuduhan itu akan kembali kepada penuduh. [HR. Bukhari - Muslim]

Dari Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu, beliau mendengar Rasulullah SAW bersabda,

لَا يَرْمِي رَجُلٌ رَجُلًا بِالْفُسُوقِ وَلَا يَرْمِيهِ بِالْكُفْرِ إِلَّا ارْتَدَّتْ عَلَيْهِ إِنْ لَمْ يَكُنْ صَاحِبُهُ كَذَلِكَ .

“Tidaklah seseorang menuduh orang lain dengan kata fasiq, dan menuduhnya dengan kata kafir, kecuali tuduhan itu akan kembali kepada si penuduh jika orang yang tertuduh tidak seperti yang dituduhkan. [HR Bukhari]

Dari Abdullah bin Mas’ud, Rasulullah bersabda:

سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ .

“Mencela sesama Muslim adalah fasik dan memeranginya adalah kafir.” [HR Al Bukhari]
Penutup

Demikianlah tabligh ini dibuat dengan ringkas dan garis besar, tidak detail dan rinci, mengambil pokok-pokok pengertian ukhuwah atau persaudaraan berdasarkan dalil-dalil Al Qur’an dan Al Hadits. Agar menambah luas wawasan ilmiah, yang mungkin selama ini berputar di sekitar pemahaman sempit dan terbatas. Dengan satu asumsi atau anggapan bahwa orang Islam manapun yang tidak satu manhaj perjuangan atau berbeda misi dan visi dakwah dan perjuangannya adalah bukan saudaranya yang berhak dicintai dan disayangi. Bahkan bila dipandang perlu, kelompok kaum Muslim yang tidak sehaluan dengan kelompoknya berhak untuk mendapat vonis kafir, zalim, munafiq dan fasiq.

Keberanian bertindak tegas dan kasar terhadap sesama Muslim, sampai-sampai tidak segan menghinanya, merendahkannya, mencercanya bahkan memvonisnya kafir bukanlah suatu sikap terpuji dan mulia di sisi syari’ah. Tuntunan Rasulullah SAW dalam bermuamalah sesama Muslim sangat indah, santun dan sayang menyangi, tidak didapati prilaku kasar, kaku, saling menghina dan merendahkan kehormatan. Simak kembali sebuah hadits beliau:

Dari Abu Hurairah RA, dia berkata: “Rasulullah SAW bersabda:

الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَخُونُهُ وَلَا يَكْذِبُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ عِرْضُهُ وَمَالُهُ وَدَمُهُ التَّقْوَى هَا هُنَا بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنْ الشَّرِّ أَنْ يَحْتَقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ .

“Orang muslim itu saudara muslim yang lain, tidak mengkhianatinya, tidak membohonginya dan tidak menghinanya. Setiap muslim atas muslim yang lainnya haram; kehormatannya, hartanya dan darahnya. Taqwa itu di sini. Cukuplah kejahatan seseorang bila ia menghina saudaranya yang muslim.” [HR. Tirmidzi]

Jika demikian, atas dasar apa kita mencela dan menghina serta mengkafirkan sesama Muslim, sudah tentu ini bukan ajaran Rasulullah, lalu datang dari mana datangnya kebiasaan yang tidak mulia dan terpuji ini?

—————————————————————-

[1] Fatwa-fatwa Kontemporer, DR. Yusuf Qardhawi, Gema Insani Press.

[2] Maksudnya: batal puasa orang yang membekam dan dibekam. (penj.)

[3] Diriwayatkan oleh Bukhari dalam “Kitab al-Maghazi,” bab “Marji’in Nabiyyi minal Ahzab wa Makhrajihi ila Bani Quraizhah” (Fathul Bari: 4119). Diriwayatkan juga oleh Muslim dalam bab “al-Jihad” (1770) dan shalatnya dikatakan shalat zuhur. Hadits ini juga diriwayatkan dari jalan Ka’ab bin Malik dan Aisyah yang mengatakan bahwa shalatnya adalah shalat asar, sebagaimana disebutkan dalam Fat-hul Bari, 7: 408-409.

[4] Diriwayatkan oleh Bukhari (2: 26, 53) dari hadits Buraidah: “Barangsiapa yang meninggalkan shalat asar, maka gugurlah amalannya.” Dan diriwayatkan oleh Muslim (626) dari hadits Ibnu Umar: “Barangsiapa tidak melakukan shalat asar, maka seakan-akan dia kehilangan keluarga dan hartanya.” Ini juga disebutkan dalam Bukhari (4:24)

[5] Zadul Ma’ad, 3: 131.

[6] HR Abu Dawud, no: 3060.

[7] HR Bukhari, no: 620.

[8] HR Muslim, no: 4655.

[9] HR Ahmad, no: 16532.

[10] HR Ahmad, no: 21022.

[11] HR Ahmad, no: 21052.

[12] HR Muslim, no: 4656.

[13] HR Muslim, no: 4772.

[14] HR Muslim, no: 16.

[15] HR Ahmad, no: 10321.

[16] Fatwa-fatwa Terlengkap, Abul Asybal Al-Mishri, hal. 278-280.

[17] Nasihat Salaf untuk Salafi, Klaten: Wafa Press, hal. 43-53.
sumber arrahmah.com