Jumat, 16 Agustus 2013

Keshalihan Ortu Berpengaruh pada Anak-cucu di Dunia dan Akherat

Oleh: Shalih Hasyim

WAHAI bapak dan ibu, ketika kita dapati anak kita tidak sesuai dengan harapan, maka terlebih dahulu hendaknya kita melihat diri kita. Barangkali pada diri kita masih ada kesalahan atau dosa-dosa yang masih sering kita lakukan. Karena sesungguhnya amalan-amalan yang dilakukan orangtua akan memberi pengaruh terhadap keshalihan anak. Seorang anak yang melihat ayahnya selalu berdzikir, mengucapkan tahlil, tahmid, tasbih, dan takbir niscaya akan menirunya mengucapkan kalimat-kalimat tersebut.

Demikian juga seorang anak yang diutus orangtuanya untuk memberi sedekah kepada orang-orang miskin dirumah-rumah berbeda dengan seorang anak yang disuruh orangtuanya membeli rokok dan barang-barang memabukkan. Seorang anak melihat ayahnya berpuasa senin kamis dan melaksanakan shalat jumat dan jama’ah tidak sama dengan anak yang melihat kebiasaan ayahnya nongkrong di kafe, diskotik, dan bioskop.

Kita bisa membedakan antara seorang anak yang sering mendengar adzan dengan seorang anak yang sering mendengar ayahnya bernyanyi. Anak-anak itu pasti akan meniru apa yang sering mereka dengar.

Bila seorang ayah selalu berbuat baik kepada orangtuanya, mendoakan dan memohonkan ampunan untuk mereka, selalu berusaha tahu kabar mereka, menenangkan mereka, memenuhi kebutuhan mereka, memperbanyak berdoa, “rabbighfirli wa li wali dayya..”, berziarah ke kuburan mereka bila telah meninggal, dan bersedekah untuk mereka, serta tetap menyambung hubungan dengan teman-teman mereka dan member hadiah dengan orang-orang yang biasa diberi hadiah oleh mereka dahulu. Maka anak yang melihat akhlak ayahnya seperti ini dengan seizin Allah Subhanahu Wata’ala akan menontohnya dan juga akan memohonkan ampunan untuk orangtuanya.

Seorang anak yang diajari shalat dan agama, tidak sama dengan anak yang dibiasakan nonton film, musik, sepak bola atau gemerlapnya dunia.

Seorang anak yang melihat ayahnya shalat di malam hari, menangis karena takut kepada Allah Subhanahu Wata’ala, membaca al-Qur’an, pasti akan berfikir, “Mengapa ayah menangis, mengapa ayah shalat, untuk apa ayah tidur meninggalkan ranjangnya yang enak lalu berwudhu dengan air dingin di tengah malam seperti ini? Untuk apakah ayah sedikit tidur dan berdoa dengan penuh pengharapan dan diliputi kecemasan?”

Semua pertanyaan ini akan berputar dibenaknya dan akan selalu hadir dalam pikirannya. Selanjutnya dia akan mencontoh apa yang dilakukan ayahnya.

Demikian juga dengan seorang anak perempuan yang melihat ibunya berhijab dari laki-laki yang bukan mahramnya, menutup aurat di hadapan mereka, berhias dengan akhlak malu, ketenangan, dan menjaga kesucian diri. Dia akan mempelajari dari ibunya akhlak tersebut.

Beda dengan seorang anak perempuan yang selalu melihat ibunya bersolek di depan para lelaki bukan mahram, bersalaman, berikhtilat, duduk bersama mereka, tertawa, tersenyum, bahkan berdansa dengan lelaki bukan mahram. Dia akan mempelajari semua itu dari ibunya.

Karena itu takutlah kepada Allah Subhanahu Wata’ala wahai Ayah Ibu, dalam membina anak-anak kalian! Jadilah Anda berdua teladan yang baik, berhiaslah dengan akhlak yang baik, tabiat yang mulia, dan sebelum itu semua berpegang teguh dengan agama ini dan cintailah Allah Subhanahu Wata’ala dan rasul-Nya.

Penjagaan Allah pada Keturunan Orangtua yang Shalih

Keshalihan dan amal baik orangtua memiliki dampak yang besar bagi keshalihan anak-anaknya, dan memberikan manfaat bagi mereka di dunia dan akhirat. Sebaliknya amal-amal jelek dan dosa-dosa besar yang dilakukan orangtua akan berpengaruh jelek terhadap pendidikan anak-anaknya.

Pengaruh-pengaruh tersebut diatas datang dengan berbagai bentuk. Diantaranya berupa keberkahan amal-amal shalih dan pahala yang Allah Subhanahu Wata’ala sediakan untuknya. Atau sebaliknya berupa kesialan amal-amal jelek dan kemurkaan Allah Subhanahu Wata’ala serta akibat jelek akan diterimanya.

Jika orangtua shalih dan gemar melaksanakan amalan baik maka akan mendapatkan ganjaran dan pahala yang dapat dirasakan anak. Ganjaran tersebut dapat berupa penjagaan, rizki yang luas, dan pembelaan dari murka Allah Subhanahu Wata’ala. Adapun amal jelek orangtua, akan berdampak jelek terhadap anak. Dampak tersebut dapat berupa musibah, penyakit, dan kesulitan-kesulitan lain.

Oleh karena itu, orangtua hendaknya memperbanyak amal shaleh karena pengaruhnya akan terlihat pada anak. Bukti pengaruh ini dapat dilihat dari kisah nabi Khidhir yang menegakkan tembok dengan suka rela tanpa meminta upah, sehingga Musa menanyakan alasan mengapa ia tidak mau mengambil upah. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman memberitakan perkataan nabi Khidhir,

وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي ذَلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا (٨٢)

“Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.” (QS. Al Kahfi: 82)

Dalam menafsirkan firman Allah Subhanahu Wata’ala, “dan kedua orangtuanya adalah orang shalih” Ibnu Katsir berkata: “Ayat diatas menjadi dalil bahwa keshalihan seseorang berpengaruh kepada anak cucunya di dunia dan akhirat, berkat ketaatannya dan syafaatnya kepada mereka maka mereka terangkat derajatnya di surga agar kedua orangtuanya senang dan berbahagia sebagaimana yang yang telah dijelaskan dalam Al Qur’an dan as sunnah.”

Allah Subhanahu Wata’ala telah memerintahkan kepada kedua orangtua yang khawatir terhadap masa depan anak–anaknya agar selalu bertakwa, beramal shalih, beramar ma’ruf nahi mungkar, dan berbagai macam amal ketaatan lainnya. Sehingga dengan amalan-amalan itu, Allah Subhanahu Wata’ala akan menjaga anak cucunya. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman,

وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلا سَدِيدًا (٩)

“Dan hendaklah takut kepada Allah Subhanahu Wata’ala orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah Subhanahu Wata’ala dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (An Nisa: 9)

Dari said bin Jubair dari Ibnu ‘Abbas berkata: “Allah Subhanahu Wata’ala mengangkat derajat anak cucu seorang mukmin setara dengannya, meskipun amal perbuatan anak cucunya di bawahnya, agar kedua orangtuanya tenang dan bahagia. Kemudian beliau membaca firman Allah Subhanahu Wata’ala yang artinya, “Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikit pun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (QS: Ath Thuur : 21).

Lafal hadits tersebut berbunyi,

إِنَّ اللهَ لَيَرْفعُ ذُرِّيَّةَ المُؤمِنِ إِلَيْهِ فِي دَرَجَتِهِ وَ إِنْ كَانُوا دُونَهُ فِي العَمَل ، لِتُقرَّ

بِهِم عَينُهُ ، ثُمَّ قَرَأَ : وَ الَّذِينَ آَمَنُوا وَ اتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيْمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ

Hadits ini dikeluarkan oleh Al-Bazzar (Hal. 221), Ibnu Adi (I/270) dan Al-Baghawi dalam At-Tafsir (8/82) dari Qais bin Rabi’ dari Amr bin Murrah dari Said bin Jubair dari Ibnu ‘Abbas dan diangkat sampai kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Albani berkata,“Hadits ini mauquf namun dihukumi marfu’’ (sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi Wassalam -red) dan hadits ini memiliki sanad yang baik.”(As-Silsilah Ash-Shahihah no.2490, Al-Maktabah As-Syamilah).

Karena itu bertakwalah dan beramal shalihlah agar doa untuk kebaikan anak Anda diterima!

Diceritakan bahwa sebagian orang-orang salaf dahulu pernah berkata kepada anaknya,“Wahai anakku, aku akan membaguskan shalatku agar engkau mendapat kebaikan.”Sebagian ulama salaf menyatakan bahwa makna ucapan itu adalah aku akan memperbanyak shalatku dan beroda kepada Allah Subhanahu Wata’ala untuk kebaikanmu.

Kedua orangtua bila membaca al-Qur’an, surat al-Baqarah dan surat-surat Al Mu’awwidzat (Al-Ikhlash, Al Falaq, An Naas), maka para malaikat akan turun mendengarnya dan setan-setan akan lari. Tidak diragukan bahwa turunnya malaikat membawa ketenangan dan rahmat. Dan jelas ini member pengaruh baik terhadap anak dan keselamatan mereka.

Tetapi bila al-Qur’an ditinggalkan, dan orangtua lalai dari dzikir, ketika itu setan-setan akan turun dan memerangi rumah yang tidak ada bacaan al-Qur’an, penuh dengan musik, alat-alat musik, dan gambar-gambar haram. Kondisi seperti ini jelas akan berpengaruh jelek terhadap anak-anak dan mendorong mereka berbuat maksiat dan kerusakan.

Sehingga dari itu semua, cara yang paling tepat untuk meluruskan anak-anak harus dimulai dengan melakukan perubahan sikap dan perilaku dari kedua orangtua. Kita harus menanamkan komitmen dan berpegang teguh terhadap syariat Allah Subhanahu Wata’ala pada diri kita dan anak-anak. Serta kita harus senantiasa berbuat baik kepada orangtua kita serta menjauhi sikap durhaka kepadanya, agar anak-anak kita nantinya menjadi anak yang berbakti, selamat dari dosa durhaka kepada kedua orangtua dan murka Allah Subhanahu Wata’ala. Karena anak-anak saat ini adalah orangtua di mana yang akan datang dan suatu ketika ia akan merasakan hal yang sama ketika menginjak masa tua.

Selanjutnya, hal yang tidak boleh kita lupakan adalah senantiasa berdoa, mengharap pertolongan kepada Allah Subhanahu Wata’ala dalam mendidik anak-anak kita, janganlah kita sombong terhadap kemampuan yang kita miliki. Karena hidayah itu berada di tangan Allah dan hanya Allah Subhanahu Wata’alalah yang membolak balikkan hati hamba-hambaNya.*

Penulis adalah penulis hidayatullah.com, tinggal di Kudus, Jawa Tengah
Rep: Anonymous
Editor: Cholis Akbar sumber. hidayatullah.com

Imam Syafi’i dan Para Lawan Debatnya


IMAM Syafi’i, salah satu imam madzhab empat. Ulama yang lahir di Gaza 150 H dan wafat di Mesir 204 H ini dikenal sebagai mujtahid mutlak. Beliau dikenal dengan beberapa karyanya antara lain Al Umm (fiqih), Ar Risalah (ushul fiqih), dll.

Tidak diragukan lagi bahwa Imam Syafi’i amat akrab dengan perdebatan, beberapa ulama besar pun pernah terlibat perdebatan dengannya, seperti Muhammad bin Al Hasan, Syeikh ahlu ra’yi, sahabat sekaligus “ustadz” Imam Syafi’I sendiri, juga Asbagh bin Al Farj bin Sa’di, faqih dari kibar ulama madzhab Maliki di Mesir, begitu pula pernah berdebat dengan Imam Ahmad bin Hambal tentang kekufuran mereka yang meninggalkan shalat.

Akan tetapi setiap ia berdebat dengan ulama lain ia selalu menggunakan adab dan sopan santun serta tidak mencela lawannya.

Adalah Abu Utsman, putranya pernah mengatakan: “Aku sekali-kali tidak pernah mendengar ayahku mendebat seseorang dengan meninggikan suaranya.” (Tahdzibul Asma’ Wal Lughat, hal. 66, vol.1).

Ahmad bin Kholid bin Kholal berkata: “Aku mendengar Syafi’i berkata, “ketika aku mendebat seseorang aku tidak menginginkan dia jatuh kepada kesalahan.” (Tawaliyut Ta’sis, hal. 65)

Syafi’i sendiri juga pernah berkata: “Aku berdebat tidak untuk menjatuhkan orang.” (Tahdzibul Asma Wal Lughat, hal 66, vol.1)

Hafidz Ad Dzahabi menukil di Siar A’lamin Nubala’, dari Imam Hafidz Abu Musa Yunus bin ‘Abdul A’la Ashodafi Al Misri, salah satu sahabat Imam Syafi’i, dia berkata: “Aku tidak melihat orang berakal melebihi Syafi’i, aku mendebatnya tentang suatu masalah pada suatu hari, kemudian kami berpisah, lalu dia menemuiku, dan menggandeng tanganku, lalu berkata: “Wahai Abu Musa, bukankan lebih baik kita tetap berteman walau kita tidak sepakat dalam satu masalah?”

Berkata Imam Ad Dzahabi: “Ini menunjukkan kesempurnaan akal imam ini, dan faham atas dirinya…” (Siar A’lam An Nubala’ hal. 16, vol. 10).

‘Alamah Murtadha Az Zabidi berkata dalam Syarh Ihya’ ketika imam Ghazali membahas tentang perdebatan-perdebatan para salafus shalih, bagaimana hal itu terjadi di antara mereka, bagaimana mereka mempertahankan al haq dengan adab dan sopan santun, berkatalah Murtadha Az Zabidi: “Salah satu di antarnya adalah perdebatan Ishaq bin Rahuyah dengan Imam Syafi’i, dan Ahmad bin Hambal hadir pula di tempat itu, aku telah membaca dari Kitab Nasikh Wal Mansukh, karya Hafidz Abu Al Hasan Badali bin Abil Ma’mar At Tibrizi: “…Dikisahkan bahwa Ishaq bin Rahuyah mendebat Syaf’i, dan Ahmad bin Hambal ada di tempat itu juga, tentang hukum kulit bangkai jika disamak. Maka, berkatalah Syafi’i: “Jika disamak maka menjadi suci.” Maka berkatalah Ishaq: “Apa dalilnya?” Maka Syafi’i menjawab: “Hadits Az Zuhri dari ‘Ubaidillah bin Abdullah bin Abdullah, dari Ibnu ‘Abbas, dari Maimunah, bahwa sesungguhnya Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Was Salam bersabda: “Tidakkah kalian memanfaatkannya dengan cara menyamaknya?”

Maka berkatalah Ishaq kepadanya: “Hadits Ibnu ‘Ukaim: “Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Was Salam telah menulis untuk kami, kira-kira sebulan sebelum beliau meninggal, “Jangan memanfaatkan sesuatu dari bangkai dengan, baik kulitnya maupun dagingnya.” Hadits ini sepertinya memansukh hadits Maimunah, karena datang satu bulan sebelum wafat”.

Maka berkatalah Syafi’i: “Ini tulisan dan tadi (hadits Maimunah) ucapan.” Ishaq menjawab: “Sesungguhnya Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam menulis untuk Kisra dan Qoishar, dan hal itu hujjah di antara mereka dihadapan Allah, dan diamlah Syafi’i.

Dan ketika Ahmad bin Hambal mendengar hal itu, dia memilih hadits Ibnu ‘Ukaim dan berfatwa dengannya, dan sebaliknya Ishaq malah condong kepada hadits Syafi’i.

Berkata Abu Al Hasan At Tibrizi: “Khalal telah mengisahkan dalam kitabnya, bahwa Ahmad bin Hambal tawaquf terhadap hadits Ibnu ‘Ukaim ketika melihat tazalzul (kegoncangan) dalam periwayatannya, dan ada beberapa yang mengatakan bahwa Imam Ahmad meninggalkan hadits tersebut.”

Cara inshaf dalam masalah ini adalah, bahwa hadits Ibnu ‘Ukaim kalau dilihat secara dhahir memang menunjukan nashk jika sahih, akan tetapi hadit tersebut itthirab (guncang), maka dia tidak sebanding kesahihannya jika dihadapkan dengan hadits Maimunah, berkata Abu ‘Abdurrahman An Nasai: “Yang paling sahih dalam masalah ini adalah hadits Maimunah.” (Syarhul Ikhya’, hal.291, vol.1)

Abdul Fattah Abu Ghuddah mengomantari nukilan di atas: “Lihatlah, inshaf Ishaq yang meninggalkan pendapatnya setelah jelasnya kebenaran, dan adab Syafi’i dan tawadhu’nya, di mana ia diam ketika terlihat kebenaran atas pendebatnya.”/Thoriq
Rep: Thoriq
 Editor: Cholis Akbar sumber.hidayatullah.com

Segera Tinggalkan Mall, Mari Kembali ke Masjid!



MENJELANG akhir Ramadhan, umat Islam umumnya berbondong-bondong menuju pusat perbelanjaan (mall). Bahkan, jauh-jauh hari, rencana belanja itu sudah ditetapkan sedemikian rupa, sehingga suasana belanja pun terasa sangat antusias dan meriah.

Seolah tidak ada waktu belanja lagi, mall-mall tampak penuh sesak. Pengunjung dan pembeli pun harus rela berjalan dengan suasana yang sangat sumpek dan berdesak-desakan. Tetapi, semua itu tidak mengurangi semangat berbelanja. Ditambah dengan iming-iming diskon dan lain sebagainya, mall pun menjadi tempat favorit mengisi akhir-akhir Ramadhan.

Sementara itu, kian menuju akhir Ramadhan, masjid yang semestinya dimakmurkan dengan i’tikaf dan berbagai kegiatan ibadah lainnya, justru semakin lengang, sepi. Semangat awal Ramadhan seolah lenyap tanpa jejak.

Inilah yang ironis. Justru di 10 malam terakhir di banyak para malaikan Allah turun dari langit mendoakan hamba-hambanya yang sujud, yang menangis dengan linangan air matanya, yang keningnya merapat ke lantai dan tangan-tangan mereka menengada ke langit guna meminta ampunan, justru waktu paling mulia ini banyak ditinggalkan karena banyak hati-hati manusia masih tertambat di mall.

Padahal Rasulullah Muhammad berkali-kali meminta kita menghindari pasar dan mall. “Negeri yang paling dicintai Alalh adalah masjid-masjidnya.” (HR. Muslim).

Banyak kaum Muslim sering lalai dan tak memiliki management waktu. Seharusnya belanja dilakukan sebelum masuknya hari-hari istimewa di penghujung Ramadhan, justru di saat hari-hari penuh berkah mereka sibuk menghadiri mall-mall dan meninggalkan tempat-tempat yang paling disukai Allah dan para malaikatnya, yakni masjid.

Dalam al-Qur’an Allah berfirman

رِجَالٌ لَّا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَن ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاء الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْماً تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ

“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan shalat, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.” (QS: An Nuur [24]: 37).

Kemuliaan Hanya ada di Masjid

Suasana tersebut tentu berbanding terbalik dengan masa umat Islam di zaman Rasulullah. Di masa itu, umat Islam sangat antusias memakmurkan masjid, lebih-lebih di sepuluh hari terakhir Ramadhan.

Dorongan keyakinan akan janji Allah begitu kuat, sehingga para sahabat tidak pernah meninggalkan masjid, kecuali memang jika ada udzur syar’i. Umat Islam kala itu benar-benar ingin meraih keutamaan-keutamaan yang Allah berikan hanya apabila umat Islam memakmurkan masjid.

Sebuah hadits memberikan penjelasan tentang keutamaan berangkat ke masjid. “Ada tiga (kelompok) manusia yang berada di dalam jaminan Allah Ta’ala; (pertama) orang yang berangkat ke salah satu masjid Allah; (kedua) orang yang keluar berperang di jalan Allah; dan (ketiga) orang yang berangkat menunaikan ibadah haji.” (HR. Imam Abu Nu’aim).

Selain itu, Allah akan memberikan ampunan kepada orang yang shalat berjama’ah di masjid. “Barangsiapa berwudhu untuk shalat, lalu ia menyempurnakan wudhunya, kemudian berangkat melaksanakan shalat wajib, lalu ia mengerjakannya bersama orang-orang atau jama’ah atau di masjid, niscaya Allah akan mengampuni baginya dosa-dosanya.” (HR. Ahmad, Muslim dan Nasa’i).

Tidak saja itu, Allah bahkan akan memberikan balasan jannah. “Barangsiapa berangkat ke masjid dan pulang (darinya), niscaya Allah akan menyediakan baginya tempat tinggal di jannah (surge) setiap kali pergi dan kembali (darinya).” (HR. Baihaqi).

Dengan demikian, dapat dipahami dengan jelas, mengapa Rasulullah dan sahabat serta umat Islam kala itu, sangat ‘lengket’ dengan masjid. Bahkan, karena begitu lengketnya, tidak ada seorang sahabat pun yang absen dalam shalat jama’ah, kecuali Rasulullah bisa mengetahui ketidakhadirannya.

Termasuk jika ada sahabat yang tidak bisa mengikuti dzikir usai shalat, Rasulullah pun bisa mengetahui. Itulah kasus yang pernah dialami oleh Tsa’labah, sahabat Nabi yang karena tidak memiliki baju kecuali di badan yang dipakai secara bergantian dengan istrinya, sehingga setiap usai shalat Tsa’labah harus segera pulang, karena istrinya di rumah sedang menanti pakaian yang dikenakannya untuk mendirikan shalat.

Sungguh luar biasa tradisi umat Islam memakmurkan masjid di zaman Nabi. Jadi, seorang Muslim tidak semestinya meninggalkan masjid apalagi jika tanpa alasan syar’i. Karena hanya masjid-lah satu-satunya tempat yang Allah limpahkan keberkahan dan kemuliaan.

Oleh karena itu, siapapun, sejauh masih bisa melangkah ke masjid, maka wajib hukumnya shalat di masjid. Pernah suatu ketika, ada seorang sahabat buta bertanya kepada Nabi apakah dirinya diperbolehkan shalat di rumah karena kondisinya yang buta. Nabi menjawab, selama mendengar suara adzan berkumandang, maka wajib hukumnya datang ke masjid untuk shalat berjama’ah.

Apalagi, bagi kaum Muslimin yang rumahnya dekat dengan masjid, jelas tidak ada tawaran lagi, kecuali harus shalat di masjid. Rasulullah bersabda, “Tidak ada shalat bagi tetangga masjid, selain (shalat) di dalam masjid (HR. Addarqathani).

Bukti Keimanan

إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللّهِ مَنْ آمَنَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلاَةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلاَّ اللّهَ فَعَسَى أُوْلَـئِكَ أَن يَكُونُواْ مِنَ الْمُهْتَدِينَ

“Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. At Taubah [9]: 18).

Ayat tersebut secara eksplisit menunjukkan bahwa, hanya orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, artinya orang yang benar-benar beriman secara haq yang tergerak hatinya untuk memakmurkan masjid-masjid Allah. Dengan kata lain, memakmurkan masjid adalah bukti keimanan seorang Muslim.

Rasulullah Shallallahu alayhi wasallam bersabda, “Apabila kamu melihat orang yang terbiasa masuk masjid maka saksikanlah bahwa dia beriman karena sesungguhnya Allah telah berfirman dalam surat Al-Taubah ayat 18: ““Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi).

Nah, masihkah kita masih ingin berlama-lama dan bersibuk-sibuk di mall-mall yang sesungguhnya tempat paling kurang disukai Rasulullah?*/Imam Nawawi
Rep: Imam Nawawi
 Editor: Cholis Akbar sumber : hidayatullah.com

Beda Ijtihad, Utamakan Ukhuwah


SALAH satu persoalan yang masih menjadi sebab sulitnya umat Ahlus Sunnah bersatu atau mudah terjatuh pada pemikiran sesat adalah belum dipahaminya antara perkara furu dan ushul dengan baik. Ketika perkara ushul diyakini sebagai furu', maka yang terjadi adalah kesesatan. Seperti yang terjadi dalam Islam Liberal. Sebaliknya, jika perkara furu' dianggap ushul, maka yang terjadi adalah penghakiman takfir, dan tadhlil kepada saudara sesama Ahlus Sunnah.

Harus dipahami bahwa ijtihad ulama tidak berada pada wilayah ushul tapi furu'. Dalam persoalan ijtihad dilarang menghukumi kafir atau sesat pendapat lain di luar jama’atul muslimin. Jika berdebat, maka perdebatan itu haruslah atas dasar penjagaan terhadap persatuan Islam dan kasih-sayang (uluffah).

Adapun perselisihan dalam perkara furu jika diangkat sampai menimbulkan perdebatan panjang akan mengakibatkan perpecahan umat Islam. Imam al-Ghazali memberi nasihat penting, bahwa perdebatan (jidal) furu' akan membawa pada lingkaran kehancuran. Jidal dalam perkara tersebtu merupakan penyakit kronis yang menjadi sebab para ahli fikih jatuh pada persaingan tidak sehat (Ihya Ulumuddin I/41). Karena dalam jidal akan membangkitkan hawa nafsu, egoisme dan keangkuhan.

Dalam hal ini, Imam al-Ghazali mengatakan: “Coba perhatikan orang-orang yang senang mendebat lawan madzhab fikihnya pada masa sekarang, ketika lawan debatnya memenangkan maka orang-orang itu tersulut api dendamnya. Mereka merasa malu dan berupaya sekuat tenaga untuk menolak lawan debatnya dengan menjelek-jelekkan dan mencari-cari alasan agar kredibilitas lawan debatnya jatuh di hadapan masyarakat” (Ihya Ulumuddin I/44).

Karakter tersebut tumbuh dikarenakan kerusakan hatinya yang terserang penyakit sombong, riya, ‘inad (menolak kebenaran), dengki, hasud dan lain sebagainya. Padahal di kalangan imam mujtahid sendiri jauh dari sifat tersebut.

Dikisahkan, Imam Syafi’i pernah duduk bersimpuh di hadapan seorang bernama Syaiban al-Ra’i. Simpuh imam Syafi’i mirip seorang anak kecil yang duduk di majelis seorang Syaikh, karena ketawadhu’an sang Imam. Lalu Imam Syafii tidak malu untuk bertanya tentang beberapa soal. Maka, ada yang heran dengan perilaku Imam Syafii dan bertanya; “Bagaimana orang hebat seperti kamu bertanya kepada orang Baduwi yang ilmunya lebih rendah dari kamu”? Imam Syafii menjawab; “Sesungguhnya, dia memiliki sesuatu yang aku tidak mengetahuinya?”.

Karena itu, ketika berinteraksi dengan fikih, kita tidak boleh fanatisme buta. Seakan akan menempatkan posisi fikih itu sebagai ushul. Ini yang menimbulkan caci maki antar pengikut madzhab fikih. Yang diutamakan adalah persatuan dan kesatuan umat.

Aa beberapa hal yang perlu dipahami tentang perbedaan hukum fikih. Bahwasannya perbedaan dalam hal ini bukan hal baru, akan tetapi telah ada pada masa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Memang ikhtilaf ini merupakan fenomena yang syar’i. Yang tidak syar’i itu adalah iftiraq. Karena iftiraq itu konteksnya perkara haq, batil, dlalal dan salamah.

Fenomena ikhtilaf fikih ini bukanlah bid’ah tapi memang begitulah adanya karakteristik syari’ah. Oleh sebab itu, selama fenomena ini masih dalam konteks ijtihad fiqhiyyah, maka ia diterima oleh syari’at dan para ulama salaf. Para ulama salaf dari kalangan Ahlus Sunnah mayoritas hanya berbeda dalam fatwa ijtihad fikih bukan akidah. Jika bedanya akidah maka urusannya adalah antara sesat dan tidak. Jika fatwa fikih persoalannya cuma pada penilain benar (shahih) dan salah (khata’).

Ikhtilaf furu telah terjadi setelah masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ikhtilaf ini sesuatu yang dianggap lumrah oleh generasi salaf. Sebab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. terkadang menjawab satu soal yang berbeda kepada para sahabat. Tapi bukan bertentangan.

Oleh sebab itu, ikhtilaf dalam furu’iyyah sesungguhnya merupakan bagian dari keindahan Islam. Para ulama salaf tidak pernah mengajarkan untuk menafikan madzhab fikih yang berbeda.

Mengikuti pada satu madzhab, merupakan keharusan, tapi dilarang untuk fanatik. Fanatik dengan memvonis madzhab fikih lainnya tidak benar dan sesat. Sebab, fanatisme madzhab fikih bukan etika ulama salaf, tapi karakter orang tidak berilmu. Fanatisme kepada madzhab fikih menimbulkan perpecahan yang tidak dikehendaki agama.

Syeikh Dr. Wael al-Zard, ahli hadis dari Universitas Gaza Palestina, pada beberapa hari lalu berkunjung ke Surabaya berpesan bahwa, sebab hilangnya al-Quds adalah khilaf nya(persilisihan) para pencari ilmu terhadap masalah fikih, di mana umat Islam tidak mungkin bersatu dalam urusan fikih.

Karena khilaf sangat kuat, di masa itu masalah qunut tidak qunut, masalah jahr atau sirr, masalah membaca al-Fatihah atau tidak, persoalan wajah wanita aurat atau bukan. Masalah-masalah ini menyebabkan stigma ahlu bid’ah, fasiq hingga tuduhan kafir. Di masa itu, perbedaan sangat menguat hingga sampai ke masjid. Hingga masjid memiliki mihrab 4, di antaranya mihrab untuk penganut Syafi’i, Hambali, Maliki dan Hanafi. Akibat khilaf fikih ini merembet dan menyebabkan perpecahan lebih besar. Bahkan antar penganut mazdhab tidak mau mengikuti (hidayatullah.com, 27/08).

Pada Rabu, 29 Juli 2013 Dr. Al-Zard berkesempatan berceramah di hadapan aktivis muda Surabaya. Ia menasihati agar umat Islam memikirkan hal-hal besar yang sedang dihadapi kaum Muslimin. Menurutnya, orang yang kesibukannya hanya memperdebatkan urusan-urusan kecil furu adalah orang yang wawasannya sempit. Ia menganjurkan untuk mempelajari seluruh pendapat-pendapat para ulama, agar wawasan luas dan bijak dalam menghakimi.

Pola-pola terburu-buru memperdebatkan hasil ijtihad ulama itulah yang dikritik oleh Imam al-Ghazali. Menurut Imam al-Ghazali, selama seorang mujtahid itu menggunakan dalil-dalil, maka tidak boleh dikafirkan. Karena kesalahan menggunakan dalil dan perbedaan pandangan politik bukanlah sebab seorang jatuh kepada kekafiran. Di sini yang diutamakan al-Ghazali adalah mendidik generasi-generasi Muslim agar mereka mengutamakan persatuan daripada fanatisme buta sehingga menyebabkan terpisahnya dari jamaah kaum Muslimin. Jika terdapat kesalahan ijtihad, maka persatuan lah yang harus diutamakan.

Karena itu, hal yang paling penting saat ini bukan memperdebatkan persoalan ijtihadiyah, hingga sampai saling menyesatkan. Satu sama lain menghujat penuh nafsu. Akan tetapi hendaknya umat Islam memahami tantangan terbesar yang dihadapi. Tantangan itu adalah kerusakan pemikiran yang menyebabkan rusaknya akidah.*

Penulis adalah peneliti InPAS Surabaya
 Rep: Anonymous sumber: hidayatullah.com

Ikhtilaf dalam Masalah Ijtihad


SYAIKHUL Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang orang-orang yang bertaklid kepada sebagian ulama dalam masalah ijtihad, apakah harus dingkari dan dijauhi? Beliau menjawab: “Alhamdulillah, dalam masalah-masalah ijtihad, barang siapa mengamalkan pendapat ulama tidak boleh diingkari atau dijauhi. Dan barang siapa mengambil salah satu dari dua pendapat juga tidak boleh dingkari, jika dalam sebuah masalah ada dua pendapat. Apabila seseorang mengetahui ada salah satu dari dua pendapat yang lebih rajih, maka hendaklah ia mengamalkannya, jika tidak maka dibolehkan dia bertaklid terhadap beberapa ulama yang bisa dijadikan rujukan untuk menjelaskan pendapat yang lebih rajih diantara dua pendapat, wallahu’alam.” (Majmu’ah Al Fatawa, vol. 20, hal. 115)

Beliau berkata di tempat lain:”Adapun ikhtilaf dalam permasalahan hukum, bisa lebih banyak lagi. Seandainya saja jika dua orang muslim ikhtilaf dalam suatu masalah dan keduanya saling menjahui maka tidaklah tersisa dari umat ini kemaksuman dan persaudaraan…” (Majmu’ah Al Fatawa, vol. 24, hal 96).

Syaikhul Islam dalam Khilaf Al Ummah fi Al Ibadat wa Madzhab Ahlu As Sunnah juga menyebutkan Imam Ahmad yang berpendapat bahwa membaca basmalah dalam shalat tidak perlu dengan jahr. Akan tetapi beliau membaca basmalah dengan jahr jika shalat di Madinah, karena penduduknya membaca basmalah dengan jahr. Qadhi Abu Yu’la Al Fara’ menjelaskan bahwa Imam Ahmad melakukan hal itu dalam rangka menjaga ukhuwah (Risalah Ulfah, hal. 48).
Larangan Berpecah-Belah

Salah satu penyebab perpecahan umat adalah imtihan (menguji) dengan penisbatan yang tidak berdasarkan nash. Seperti yang dicontohkan oleh Ibnu Taimiyah, yaitu dengan mengatakan kepada seseorang:”Kamu Shukaily atau Qarfandi?” Maka jika seseorang ditanya dengan pertanyaan seperti itu, jawabnya adalah:”Saya bukan Shukaili atau Qarfandi, akan tetapi saya muslim yang mengikuti Kitabullah dan sunnah rasul-Nya.”

Sebagaimana diriwayatkan, bahwa Ibnu Abbas ditanya oleh Muawiyah:”Kamu mengikuti millah Ali atau millah Utsman?” Beliau menjawab: “Saya tidak mengikuti millah Ali ataupun Utsman, akan tetapi saya mengikuti millah Rasulullah shalallahu’alaihi wasalam.”

Begitu juga tidak diperbolehkan imtihan (menguji) dengan penisbatan yang sudah umum dipakai para ulama, seperti penisbatan kepada Imam (Al Hanafi, Al Maliki, As Syafi’i atau Al Hambali), yaitu dengan mengatakan: “Kamu Hanafi atau Maliki?” Juga penisbatan kepada guru ( Al Qadiri atau Al ‘Adawi), atau qabilah (Al Qaisi atau Al Yamani), atau negeri (Al Iraqi, Al Mishri atau As Syami). Juga tidak boleh berloyalitas atas nama-nama ini dan tidak pula menyakiti mereka yang bernisbah kepadanya. Adapun yang paling muliya di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa, tidak pandang dari thaifah mana pun dia (Lihat, Majmu’ah Fatawa, vol. 3, hal. 255).
Loyalitas Tidak Didasari Atas Penisbatan

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah-rahimahullah- mengatakan: “Allah telah memberi kabar, bahwa orang mukmin memiliki loyalitas kepada Allah, rasul-Nya serta hamba-hamba-Nya yang mukmin. Mukmin di sini bersifat umum, barang siapa beriman maka dia disifati dengan sifat ini. Baik mereka yang menisbahkan diri, atas negeri, madzhab, thariqah atau yang tidak menisbahkan diri. Allah telah berfirman:”Dan laki-laki yang beriman serta perempuan yang berimana, sebagian mereka menjadi penolong sebagian yang lain.”(At Taubah: 71).

Ibnu Taimiyah juga menyebutkan beberapa hadits, salah satunya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari: “Permisalan orang-orang mukmin dalam kecintaan, kasih dan sayang atas sesama mereka seperti satu tubuh, jika salah satu dari anggota badan sakit maka seluruh badan ikut demam susah tidur.” (Lihat, Majmu’ah Al Fatawa, vol. 3, hal. 257)
Tawadhu’ Ibnu Taimiyah Kepada Ulama Madzhab Lain

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tidak hanya cukup berfatwa, lebih dari itu, amalan beliau mencerminkan apa yang beliau katakan. Ibnu Taimiyah tetap bisa bersikap obyektif kepada para ulama lain walaupun mereka berbeda pendapat atau madzhab. Meskipun beliau dalam banyak hal mengambil pendapat Madzhab Hambali akan tetapi beliau memiliki beberapa murid yang bermadzhab lain, seperti Ibnu Katsir (774 H) dan Imam Ad Dzahabi (748 H), keduanya bermadzhab Syafi’i.

Antara Ibnu Taimiyah dan Taqiyuddin As Subki (756 H) yang bermadzhab Syafi’i sering saling mengkritik lewat karya masing-masing, akan tetapi Ibnu Taimiyah tetap memuji karya-karya Taqiyuddin As Subki, dan beliau tidak memberi penghormatan kepada orang lain sebagaimana beliau menghormati Taqiyuddin As Subki (lihat, Tabaqat Asyafi’yah Al Kubra, vol.10, hal. 194).

Yang juga perlu dicontoh dari Ibnu Taimiyah adalah sifat tawadhu’ beliau terhadap ‘Alauddin Al Baji (724 H), salah satu ulama madzhab Syafi’I, mutakallim, yang mempunyai majelis perdebatan. Suatu saat mereka berdua bertemu, dan Al Baji berkata kepada Ibnu Taimiyah: ”Bicaralah, kita membahas permasalahan denganmu.” Akan tetapi Ibnu Taimiyah menjawab:”Orang sepertiku tidak akan berbicara di hadapan anda, tugasku adalah mengambil faidah dari anda.” (Tabaqat As Syafi’iyah Al Kubra, vol. 10, hal. 342)
Nasehat Ibnu Taimiyah

Syikhul Islam –rahimahullah- mengatakan: “Perpecahan umat yang telah menimpa para ulama, para masyayikh, umara’, serta para pembesarnya merupakan penyebab berkuasanya musuh atas mereka. Dan itu disebabkan karena mereka telah meninggalkan perintah untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya…”

Di tempat lain dijelaskan, bahwa Allah berfirman:”Dan hendaklah ada dari antara kamu satu golongan yang mengajak kepada kebaikan dan menyeru kepada hal yang ma’ruf serta melarang hal yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang memperoleh kemenangan.” Ibnu Taimiyah mengatakan:”Amar ma’ruf adalah memerintahkan untuk bersatu dan berkumpul adapun nahi mungkar adalah menegakkan hudud dengan Syari’at Allah.” (Lihat, Majmu’ah Al Fatawa, vol. 3, hal. 259).

Maka, marilah kita rapatkan shaff, kikis rasa ta’ashub pada diri kita, juga prasangka buruk terhadap yang lain, juga perasaan bahwa diri kita selalu dalam kebenaran dan yang lain selalu berada dalam kebathilan, juga klaim bahwa hanya kita yang memahami dien sedangakan yang lain hanyalah juhala’ yang tidak perlu didengarkan. Wallahu’alam bishowab.*
Rep: Cholis Akbar
Editor: Cholis Akbar
sumber hidayatullah.com