Jumat, 19 Februari 2016

Hukum Diyat



Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi Lc



Pada edisi sebelumnya, telah dibahas tentang Qishâsh sebagai hukuman bagi pelaku jinâyât pada pembunuhan disengaja beserta syarat dan ketentuannya. Ada juga hukuman lain yang berhubungan dengan pelaku jinâyât yang dikenal dengan hukuman diyat. Lalu apakah hukuman diyat itu? berikut penjelasannya.

PENGERTIAN DIYAT
Kata diyat (دِيَةٌ ) secara etimologi berasal dari kata “wadâ – yadî – wadyan wa diyatan”( وَدَى يَدِى وَدْيًا وَدِيَةً). Bila yang digunakan mashdar wadyan (وَدْيًا ) berarti sâla ( سَالَ= mengalir) yang sering dikaitkan dengan lembah, seperti di dalam firman Allah Azza wa Jalla :

إِنِّي أَنَا رَبُّكَ فَاخْلَعْ نَعْلَيْكَ ۖ إِنَّكَ بِالْوَادِ الْمُقَدَّسِ طُوًى

Sesungguhnya Aku inilah rabbmu, maka tanggalkanlah kedua terompahmu. Sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci, Thuwa. [Thâhâ/20: 12].

Akan tetapi, jika yang digunakan adalah mashdar diyatan (دِيَةً), berarti ‘membayar harta tebusan yang diberikan kepada korban atau walinya dengan sebab tindak pidana penganiyaan (jinâyat).

Bentuk asli kata diyat ( دِيَةٌ) adalah widyat ( وِدْيَة) yang dibuang huruf wau-nya, seperti kata عِدَةdan صِلَة dari kata لْوَعْدُ dan.الوَصْلُ [1

Sedangkan diyat secara terminologi syariat adalah harta yang wajib dibayar dan diberikan oleh pelaku jinâyat kepada korban atau walinya sebagai ganti rugi, disebabkan jinâyat yang dilakukan oleh si pelaku kepada korban. [2]

Definisi ini mencakup diyat pembunuhan dan diyat anggota tubuh yang dicederai, sebab harta ganti rugi ini diberikan kepada korban bila jinâyatnya tidak sampai membunuhnya dan diberikan kepada walinya bila korban terbunuh.

PENSYARIATAN HUKUMAN DIYAT
Hukuman diyat disyari’atkan dalam syariat Islam berdasarkan dalil dari al-Qur‘ân, Sunnah dan ijmâ’. Di antara dalil dari al-Qur‘ân adalah firman Allah Azza wa Jalla :

فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ

Maka barangsiapa yang mendapat suatu permaafan dari saudaranya, hendaklah yang memaafkan mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah yang diberi maaf membayar diyat kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik pula. [al-Baqarah/2:178]

Ini berlaku untuk pembunuhan disengaja Juga firman Allah Azza wa Jalla :

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَن يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلَّا خَطَأً ۚ وَمَن قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ إِلَىٰ أَهْلِهِ إِلَّا أَن يَصَّدَّقُوا ۚ فَإِن كَانَ مِن قَوْمٍ عَدُوٍّ لَّكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ ۖ وَإِن كَانَ مِن قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُم مِّيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ إِلَىٰ أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ ۖ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِّنَ اللَّهِ ۗ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا

Dan tidak pantas bagi seorang Mukmin membunuh seorang Mukmin yang lain, kecuali karena tersalah tidak sengaja. Dan barangsiapa membunuh seorang Mukmin karena tersalah, hendaklah ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.[an-Nisâ‘/4:92]

Hal ini berhubungan dengan pembunuhan tidak disengaja dan mirip sengaja. 

Sedangkan dari Sunnah di antaranya adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَنْ قُتِلَ لَهُ قَتِيْلٌ فَهُوَ بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ إِمَّا أَنْ يُفْدَى وَإِمَّا أَنْ يُقْتَل

Barangsiapa yang keluarganya terbunuh maka ia bisa memilih dua pilihan, bisa memilih diyat dan bisa juga memilih pelakunya dibunuh (qishâsh). [HR al-Jamâ’ah].

Demikian juga kaum Muslimin telah bersepakat tentang pensyariatan diyat pada jinâyat pembunuhan.

KAPAN DITERAPKAN HUKUMAN DIYAT?
Diyat merupakan sebagian dari hukuman yang dijatuhkan oleh hakim atas:
1. Orang yang telah terbukti secara sah menurut hukum membunuh orang Mukmin, secara tidak di sengaja atau mirip sengaja. Namun, apabila ahli waris korban merelakan diyat tersebut, terhukum dan keluarganya tidak wajib membayar diyat tersebut.

2. Orang yang telah terbukti secara sah menurut hukum membunuh kafir dzimmi (orang kafir yang mengadakan perjanjian untuk tidak saling memerangi dengan orang Islam).

3. Orang yang dijatuhi hukuman karena qishâsh (pembunuhan atau pelukaan dengan sengaja),tetapi dimaafkan oleh ahli waris korban.

UKURAN DIYAT PEMBUNUHAN
Diyat sebagai satu hukuman memiliki ukuran tertentu yang telah ditetapkan syari’at, tergantung kepada korban pembunuhan. Hal ini dapat diringkas sebagai berikut:

1. Muslim Laki-Laki Merdeka
Para Ulama sepakat menjadikan diyat Muslim merdeka seratus onta, [3] tidak ada bedanya dalam hal ini antara pembunuhan sengaja, tidak sengaja dan mirip sengaja. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

أَلاَ إِنَّ قَتِيلَ الْخَطَاءِ قَتِيْلَ السَّوْطِ وَالْعَصَا فِيْهِ مِائَةٌ مِنْ اْلإِبِل

Ketahuilah, sesungguhnya dalam korban pembunuhan mirip sengaja, korban terbunuh oleh cambuk dan tongkat, diyatnya 100 onta [HR Ibnu Mâjah no 2618 dan dishahîhkan al-Albâni dalam kitab Shahîhul-Jâmi’ no 2638]

Namun diyat ketiga jenis pembunuhan ini berbeda dari sisi ringan dan beratnya diyat. Diyat pembunuhan sengaja diperberat dari tiga sisi dan diyat pembunuhan mirip sengaja diperberat dari satu sisi dan mendapat keringanan dari dua sisi. Sedangkan diyat pembunuhan tidak sengaja mendapat keringanan dari tiga sisi sekaligus. Perinciannya sebagai berikut:

a). Sisi pemberatan hukuman diyat pembunuhan disengaja adalah:
Pertama: Pembayarannya ditanggung sendiri oleh pelaku pembunuhan, tidak dibebankan kepada keluarga besarnya. Ini sudah menjadi ijmâ’ sebagaimana disampaikan Ibnu Qudâmah. [4]

Kedua: Diwajibkan kontan dan tidak dibayar tempo karena disamakan dengan qishâsh dan ganti rugi jinâyât. Inilah pendapat yang râjih menurut jumhur Ulama.

Ketiga: Diperberat dari sisi usia onta. Onta yang harus diserahkan yaitu 30 ekor onta hiqqah, 30 onta Jaza’ah, 40 onta hamil yang mengandung janin diperutnya (khalifah) menurut pendapat yang rajah dengan dasar sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَنْ قَتَلَ مُتَعَمِّدًا دُفِعَ إِلَى أَوْلِيَاءِ الْمَقْتُوْلِ فَإِنْ شَاءُوْا قَتَلُوْهُ وَإِنْ شَاءُا أَخَدُوْا الدِّيَةَ وَهِيَ ثَلاَثُوْنَ حِقَّةً وَثَلاَثُوْنَ جَذَعَةً وَأَرْبَعُوْنَ خَلِفَةً وَمَا صُوْ لِحُوْا عَلَيْهِ فَهُوَ لَهُمْ

Siapa yang membunuh dengan sengaja maka diserahkan kepada para wali korban, apabila mereka ingin maka mereka membunuhnya dan bila ingin (lainnya) maka mengambil diyat yaitu 30 hiqqah (onta berusia 3 tahun), 30 jaza’ah (onta berusia 4 tahun) dan 40 khalifah (onta yang sedang mangandung janin). Semua yang mereka terima dengan damai maka itu hak mereka. [HR Ibnu Mâjah no 2626 dan dihasankan al-Albâni dalam Irwâ’ 2199 dan Shahîhul-Jâmi’ no. 6455.]

b). Sisi pemberatan dan keringanan dalam diyat pembunuhan mirip sengaja. Diyat pembunuhan semacam ini diperberat dalam satu sisi saja yaitu usia ontanya sama dengan diyat pembunuhan disengaja. Hal ini didasarkan kepada hadits ‘Abdullâh bin ‘Amr Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أََلاَ إِنَّ دِيَةَ الْخَطَأِ شِبْهِ الْعَمْدِ مَا كَنَا بِالسَّوْطِ وَالْعَصَا مِا ئَةٌ مِنَالإِبِلِ مِنْهَا أَرْبَعُوْنَ فِيْ بُطُوْ نِهِا أَوْلاَدُهَا

Ketahuilah bahwa diyat pembunuhan yang mirip dengan sengaja yaitu yang dilakukan dengan cambuk dan tongkat adalah seratus ekor onta. Di antaranya empat puluh ekor yang sedang hamil.[5]

Namun mendapat keringanan dari dua sisi yaitu:
Pertama : Kewajiban ini dibebankan kepada keluarga besar pembunuh (al’-‘Aqilah), sebagaimana ditetapkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi:

اقْتَتَلَتِ امرَأَتَانِ مِنْ هُذَيْلِ فَِرَمَتْ إِحْدَا هُمَا الأُخْرَى بِحَجَرٍ فَقَتَلَتْهَا وَمَا فِى يَطْنِهَا فَاخْتَصَمُوا إِلَى رَسُو لِ اللَّهِ صًلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَضَى رَسُوْ لُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ دِيَةَ جَنِيْبِهَا غُرَّةٌ عَبْدٌ أَوْ وَاِلِيْدَةٌ وٌَقَضَى بِدِيَةِ الْمَرْاَةِ عَلَى عَا قِلَتِهَا وَوَرَّثَهَا وَلَدَهَا وَمَنْ مَعَهُمْ 

Dua orang wanita dari suku Hudzail saling berperang, lalu salah seorang dari mereka melempar batu kepada yang satunya, lalu membunuhnya dan membunuh juga janin isi kandungannya. Lalu kaum mereka memperadilkannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam memutuskan kewajiban membayar diyat janinnya ghurrah budak laki-laki atau wanita dan menetapkan diyat korban wanita tersebut atas kerabat wanita pembunuhnya. Kemudian anak korban dan kerabat yang bersamanya mewarisi diyat tersebut. [Muttafaq ‘alaihi]

Kedua: Diyat boleh diangsur selama tiga tahun menurut ijmâ’ sebagaimana dikatakan Ibnu Qudâmah rahimahullah, “Diriwayatkan dari Umar Radhiyallahu ‘anhu dan Ali Radhiyallahu ‘anhu bahwa keduanya menetapkan diyat kepada al-Aqilah (keluarga pembunuh) selama tiga tahun dan tidak ada yang menyelisihi keduanya di zaman mereka sehingga itu menjadi ijmâ’. [6]

c). Sisi keringanan dalam diyat pembunuhan tidak sengaja dari tiga sisi

Pertama: Kewajiban ini dibebankan kepada al-Aqilah menurut ijmâ’ umat ini [7]. Ibnu Qudâmah rahimahullah menyatakan, “Kami tidak mengetahui adanya khilâf di antara para Ulama bahwa diyat pembunuhan tidak sengaja diambil dari al-‘Aqilah (keluarga).[8]

Kedua: Dibayar dalam tiga tahun sebagaimana diyat pembunuhan mirip sengaja. Ibnu Qudâmah rahimahullah menyatakan: “Tidak ada khilaf di antara mereka bahwa diyatnya tidak kontan (dibayar) tiga tahun”.[9]

Ketiga: Mendapatkan keringan dari sisi usia ontanya menjadi lima jenis, yaitu 20 bintu makhâdh (onta betina berusia setahun), 20 ibnu makhâdh (onta jantan berumur setahun) , 20 onta bintu labûn (onta betina usia dua tahun), 20 onta hiqqah dan 20 onta jaza’ah. [10]

STANDAR PEMBAYARAN DIYAT
Standar pembayaran diyat pembunuhan adalah onta menurut pendapat mayoritas Ulama dan pendapat yang dirâjihkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah [11] dan Ibnul-Qayyim rahimahullah serta Syaikh Prof. DR. Shâlih bin ‘Abdillâh al-Fauzân [12], dengan dasar :

- Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkannya pada diyat pembunuhan mirip sengaja, seperti dalam hadits ‘Abdullâh bin ‘Amru di atas.

- Riwayat shahîh dari Umar bin al-Khaththâb Radhiyallahu ‘anhu ketika berbicara di atas mimbar:

أَلاَ إِنَّ اْلإِبِلَ ٌَدْ غَلَتْ قَالَ فَفَرَ ضَهَا عُمَرُعَلَى أَهْلِ الدَّهَبٍ أَلْفَ دِيْنَارٍ وَعَلَى أَهْلِ الْوَرِقِ اثْنَيْ عَشَرَ أَلْفًا وَعَلَى أَهْلِ الشَّاءِ أَلْفَيْ شَاةٍ

Ketahuilah bahwa harga onta telah naik (menjadi mahal). Lalu Umar mewajibkan diyat kepada orang yang punya emas sebanyak 1000 dinar, kepada pemilik perak 12000 dirham, pemilik sapi 200 sapi dan pemilik kambing 2000 kambing. [HR Abu Dâwud no. 4542 dan dihasankan al-Albâni dalam kitab al-Irwâ’ no. 2247]

Dalam hal ini nampak Umar Radhiyallahu ‘anhu menaikkan jumlah diyat selain onta disebabkan mahalnya harga onta, sehingga jadilah onta sebagai standar pembayaran diyat, sedangkan yang lain mengikuti nilai onta.

- Seluruh diyat anggota tubuh dibayar dan diukur dengan onta. Syariat selalu menentukan ukuran bagian diyat dengan onta, sehingga menunjukkan onta adalah standar (asal) pembayaran diyat. Syaikh Ibnu Utsaimîn rahimahullah menyatakan: “Orang-orang dari zaman dulu senantiasa menghukumi bahwa standar dalam diyat adalah onta. Diyat bagi kami sekarang ini dinilai dengan 1000 riyal, seandainya perak dijadikan sebagai standar maka diyat orang bernilai 3360 riyal”. [13]

- Ditambah adanya perbedaan antara diyat pembunuhan sengaja dengan yang tidak sengaja. Hal ini tidak dapat diwujudkan menurut ijmâ’ dengan selain onta. Wallâhu a’lam.

2. Diyat Orang Kafir Ahli Kitab Yang Merdeka
Diyat lelaki ahli kitab yang merdeka baik sebagai seorang Mu’âhad, musta’man atau dzimmi adalah separuh diyat Muslim berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

أَنَّ رَسُوْ لَ اللَّهُ صَلَّى اللَّهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَضَى أَنَّ عَقْلَ أَهْلِ الْكِتَابِ نِصْفُ غَقْلِ الْمُسْلِمِيْنَ 

Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan bahwa diyat ahli kitab separuh diyat Muslimin. [HR Ahmad 6795 dan dihasankan al-Albâni dalam kitab al-Irwâ’ no 2251]

3. Diyat Orang Kafir Non Ahli Kitab
Mereka ini seperti majusi, baik ahli dzimmah atau musta’man atau mu’âhad dan orang kafir musyrik namun mu’âhad atau musta’man, maka diyatnya adalah 800 dirham islami sebagaimana dijelaskan dalam pernyataan Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu :

وَدِيَةُ الْمَجُوسِيِّ ثَمَانُ مِائَةِ دِرْهَمٍ

Diyat al-Majusi 800 dirham. [HR at-Tirmidzi no, 1417] Ini adalah pendapat mayoritas Ulama.[14]

4. Diyat Wanita Muslimah
Diyat wanita Muslimah separuh diyat lelaki Muslim, sebagaimana dijelaskan dalam surat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disampaikan kepada ‘Amru bin Hazm yang di antara isinya adalah:

دِيَةُ الْمَرْأَةِ عَلَى النِّصفِ مِنْ دِيَةِ الرَّجُلِ

Diyat wanita itu separuh dari diyat lelaki. [HR al-Baihaqi dalam Sunanul-Kubra no. 16344 dan didhaîfkan al-Albâni dalam Irwâ‘ul-Ghalîl no. 2250]

Hal ini telah menjadi ijmâ’ sebagaimana disampaikan Ibnul-Mundzir rahimahullah : “Para Ulama berijmâ` bahwa diyat wanita separuh diyat lelaki” [15]

Ibnul-Qayyim rahimahullah menjelaskan hal ini dengan menyatakan: “Karena wanita lebih lemah dibandingkan laki-laki dan laki-laki lebih memiliki potensi darinya, lelaki bisa menduduki sesuatu yang tidak dapat diduduki oleh wanita berupa jabatan keagamaan, perwalian, menjaga perbatasan, jihad, membangun negeri, mengerjakan industri yang menjadi kesempurnaan maslahat dunia dan membela dunia dan agama. Maka nilai diyat keduanya tidak sama dalam diyat, karena diyat diberlakukan sebagaimana nilai harga budak dan selainnya berupa harta benda. Sehingga hikmah pembuat syari’at menuntut adanya penentuan separuh nilai diyat lelaki, karena perbedaan yang ada pada keduanya.[16]

5. Diyat Wanita Ahli Kitab
Diyat wanita ahli kitab dan majusi serta kaum musyrikin adalah separuh dari diyat laki-laki mereka, sebagaimana diyat wanita Muslimah adalah separuh dari laki-laki Muslim.[17]

6.Diyat Budak
Diyat budak, baik lelaki atau perempuan, kecil atau dewasa adalah sesuai harga budak itu sendiri selama harganya tidak mencapai nilai diyat lelaki merdeka. Ini sudah menjadi ijmâ’ di kalangan kaum Muslimin [18] karena budak adalah harta yang bernilai jual sehingga diganti seharga nilai budak tersebut.

7. Diyat Janin
Diyat janin baik laki-laki atau perempuan apabila keguguran atau mati dengan sebab akibat jinâyat atas ibunya baik pada pembunuhan sengaja atau tidak sengaja adalah ghurrah budak. Nilai ghurrah ini adalah 5 ekor onta berdasarkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu :

اقْتَتَلَتِ امرَأَتَانِ مِنْ هُذَيْلِ فَِرَمَتْ إِحْدَا هُمَا الأُخْرَى بِحَجَرٍ فَقَتَلَتْهَا وَمَا فِى يَطْنِهَا فَاخْتَصَمُوا إِلَى رَسُو لِ اللَّهِ صًلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَضَى رَسُوْ لُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ دِيَةَ جَنِيْبِهَا غُرَّةٌ عَبْدٌ أَوْ وَاِلِيْدَةٌ وٌَقَضَى بِدِيَةِ الْمَرْاَةِ عَلَى عَا قِلَتِهَا وَوَرَّثَهَا وَلَدَهَا وَمَنْ مَعَهُمْ 

Dua orang wanita dari suku Hudzail saling berperang,lalu salah seorang dari mereka melempar batu kepada yang satunya, lalu membunuhnya dan membunuh juga janin isi kandungannya. Lalu kaum mereka memperadilkannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan kewajiban membayar diyat janinnya ghurrah budak laki-laki atau wanita dan menetapkan diyat korban wanita tersebut atas kerabat wanita pembunuhnya. Kemudian anak korban dan kerabat yang bersamanya mewarisi diyat tersebut.[Muttafaq ‘alaihi]

Demikianlah sebagian permasalahan seputar diyat, mudah-mudahan dapat memberikan wacana tentang keindahan dan kesempurnaan Islam, sehingga kita semua dapat menerapkannya dalam kehidupan kita di dunia ini.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XIII/1431H/2010M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]
_______
Footnote
[1]. Al-Mulakhkhash al-Fiqhi 2/490
[2]. Lihat Al-Mulakhkhash al-Fiqhi 2/490
[3]. Lihat keterangannya pada kitab Al-Mulakhkhash al-Fiqhi 2/496
[4]. Lihat Al-Mughni 12/13
[5]. HR Abu Dâwud no. 4547, an-Nasâ‘i 2/247 dan Ibnu Mâjah no. 2627 lihat Irwâ’ul-Ghalîl 7/255-258 no.2197
[6]. Al-Mughni 12/17
[7]. lihat Al-Mulakhash al-Fiqhi 2/462
[8]. Al-Mughni 12/21
[9]. Ibid
[10]. Al-Mulakhkhash al-Fiqhi 2/497
[11]. Lihat kitab Syarhul-Mumti’ 14/119
[12]. Lihat kitab Al-Mulakhkhash al-Fiqhi 2/496
[13]. Syarhul-Mumti’ 14/118-119.
[14]. Lihat Al-Mulakhkhash al-Fiqhi 2/497-498.
[15]. Ibid 2/498
[16]. Lihat I’lâmul-Muwaqqi’în 2/149 dan Zâdul-Ma’âd 3/175. Pernyataan ini dinukil dari Al-Mulakhkhash al-Fiqhi 2/498
[17]. Al-Mulakhkhash al-Fiqhi 2/498
[18]. Ibid 2/499

Syariat Hukum Potong Tangan


Oleh
Ustadz Mu'tashim



Salah satu kebutuhan pokok yang harus ada dalam setiap tatanan kehidupan manusia, dari kehidupan yang terkecil sampai yang terbesar adalah adanya peraturan dengan segala konsekuensinya yang dijadikan sebagai pijakan bagi semuanya. Karenanya, di setiap lini kehidupan pasti ada peraturan atau undang-undang yang berlaku, baik tertuang ataupun tidak, tertulis ataupun tidak.

Begitu pula dengan agama ini yang berfungsi sebagai rambu-rambu bagi seluruh manusia, yang telah Allah Azza wa Jalla pilihkan untuk makhluk-Nya. Allah Azza wa Jalla adalah Dzat yang Maha Adil, Maha Mengetahui dan Maha Penyayang kepada para makhluk-Nya. Apa saja yang telah diatur dan dipilihkan-Nya buat manusia, tidak mungkin akan menyengsarakan mereka. 

Di antara peraturan yang telah ditegaskan Allah Azza wa Jalla demi kemaslahatan seluruh manusia adalah peraturan tentang hal pencurian, yang berupa sangsi tegas dengan hukuman potong tangan bagi para pelakunya.

Allah Azza wa Jalla menegaskan:

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِّنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ فَمَن تَابَ مِن بَعْدِ ظُلْمِهِ وَأَصْلَحَ فَإِنَّ اللَّهَ يَتُوبُ عَلَيْهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ 

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Maka barangsiapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang [al-Mâidah/5:38-39]

Dan apa yang telah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan kepada seseorang yang tertangkap basah ketika mencuri. ‘Abdullâh Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata:

أََنَّرَسُوْلَ اللَّهِ صّلى اللّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَمَ قَطَعَ سَا رِقًا فِي مِجَنٍّ قِيْمَتُهُ ثَلاَثَةُ دَرَاهِمَ

Bahwa Rasûlullâh memotong tangan seseorang yang mencuri tameng/perisai, yang nilainya sebesar tiga dirham [Muttafaqun ‘Alaihi]

Ibnu Mundzir rahimahullah dalam hal ini berkata,”Para Ulama sepakat bahwa hukum potong tangan bagi pencuri dilakukan bila ada dua orang saksi yang adil, beragama Islam dan merdeka.” [1]

‘Abdurrahmân al-Jazirî berkata, “Hukum had atas pencurian telah ditetapkan oleh al-Qur’an dan Sunnah serta kesepakatan para ulama. Allah Azza wa Jalla telah menyebutkan hukumannya dalam ayat-Nya yang mulia. Dia Azza wa Jalla telah memerintahkan potong tangan atas pencuri baik laki-laki atau perempuan, budak atau merdeka, Muslim atau non Muslim guna melindungi dan menjaga harta. Hukum potong tangan ini telah diberlakukan pada zaman jahiliyah sebelum Islam. Setelah Islam datang, Allah Azza wa Jalla menetapkannya dan menambahnya dengan persyaratan yang telah diketahui.” [2]

KEJAMKAH HUKUM POTONG TANGAN ITU?
Tudingan bahwa agama Islam kejam, melanggar hak asasi manusia, terbelakang dan sangat primitive dalam penerapan hukuman, sudah lama dihembuskan oleh orang-orang yang dungu dan tidak mau berfikir jauh ke depan. Yaitu berupa emosi sesaat dan hanya memperhatikan kepentingan kelompok kecil yang bersalah dan yang berhak atas hukuman tersebut serta menutup mata dan telinga mereka terhadap masa depan masyarakat banyak dan orang-orang yang telah dirugikan dari pencurian ini. 

Perlu di ingat, bahwa harta sangat berharga bagi manusia. Sehingga, dalam hal ini perhatian Islam kepada harta sangatlah besar, begitu pula perintah untuk menjaganya. Rasulullah n menyandingkan keharamannya dengan permasalahan nyawa. 

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَ الَكُمْ وَأَعْرَا ضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامُ، كَحُرْ مَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا، فِيْ بَلَدِ كُمْ هَذَا، فِيْ شَهْرِكُمْ هَذَأ

Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian diharamkan atas kalian, sebagaimana diharamkannya hari kalian pada saat ini, di tempat ini, dan di bulan ini [HR. Bukhâri] [3]

Pernahkah mereka berpikir, bagaimanakah perasaan orang-orang yang kehilangan harta mereka? Terlebih bila harta yang terambil adalah harta yang telah dikumpulkan selama bertahun-tahun, kemudian disimpan ditempat yang dianggap aman, ternyata hilang begitu cepat. Berpikirkah mereka, bagaimana dahsyatnya efek jera yang akan memberi keamanan bagi masyarakat luas setelahnya, dari hukuman potong tangan yang mereka anggap sebagai pelanggar norma kehidupan mereka? Hak asasi siapakah yang mereka perjuangkan?

Dalam kasus pencurian ini, syariat Islam berusaha menjaga kepentingan orang banyak daripada menjaga kepentingan si pencuri. Memberi hukuman yang berat berupa memotong tangan bertujuan membasmi sesuatu yang menjadikan kecemasan manusia pada harta mereka. Sehingga Allah Azza wa Jalla menjadikannya sebagai cambuk untuk mendapatkan maslahat yang lebih besar dibandingkan dengan kepentingan si pencuri yang hanya sesaat dan banyak menimbulkan kerusakan. Ini adalah hukuman yang setimpal yang penuh faedah dan hikmah. Bila seseorang mau berpikir, hukuman setimpal bukan berarti menzhalimi si pelaku, tetapi ini merupakan keadilan dalam peraturan Allah Azza wa Jalla yang pasti baik bagi makhluk-Nya karena hanya Dia-lah yang Maha Mengetahui segala sesuatunya. Bila hukuman ini dibiarkan diatur oleh seorang mujtahid atau seorang hakim atau kelompok tertentu, pasti akan menyebabkan saling bertentangan. Dan hasilnya tidak dapat dipastikan akan dapat mewujudkan suatu keadilan yang dapat dirasakan oleh manusia, sehingga merasa tenang dari kezhaliman dan kekerasan orang lain. [4]

SETIMPALKAH HUKUMAN POTONG TANGAN DENGAN BARANG YANG DICURI?
Ibnu Jauzi rahimahullah dan Abdul Wahhâb al-Maliki rahimahullah, mengomentari beratnya hukuman yang diberlakukan dalam had pencurian, bila dibandingkan antara harta yang tidak seberapa dengan hukuman potong tangan yang harganya bisa jadi berlipat-lipat, mereka mengatakan, “Ketika tangan tersebut dapat dijaga maka ia adalah sesuatu yang berharga, namun bila ia berkhianat maka itu akan menjadi murah”.[5]

PERAMPASAN BARANG APAKAH BERLAKU HUKUMAN POTONG TANGAN?
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata ,”Penerapan hukum potong tangan bagi pencuri senilai tiga dirham dan tidak diterapkannya kepada pelaku pencopetan, perampasan dan pemaksaan merupakan kesempurnaan hikmah syariat. Juga karena seorang pencuri sulit untuk dicegah karena ia masuk rumah orang lain secara sembunyisembunyi, merusak tempat penyimpanan dan kunci. Dan tidak memungkinkan pemilik barang melakukan penyimpanan lebih dari itu. Kalau seandainya potong tangan tidak disyariatkan, maka akan terjadi saling mencuri antar manusia, kerusakan akan membesar, semakin berbahaya. Berbeda dengan pelaku pencopetan dan perampasan, karena dia mengambil secara terangterangan dengan penglihatan manusia, yang memungkinkan mereka dapat mengambilnya kembali dari kedua tangannya dan mengembalikan hak orang yang dizhalimi atau bersaksi di hadapan hakim.[6]

Imam Nawawi rahimahullah berkata dalam Syarh Muslim bahwa Qâdhi Iyâd rahimahullah berkata:”Allah Azza wa Jalla menjaga harta dengan mewajibkan potong tangan bagi pencuri, dan tidak memberlakukannya pada selain pencurian seperti penjambretan, pemalakan, atau pemaksaan karena perbuatan-perbuatan tersebut lebih sedikit/ringan daripada pencurian. Dan juga korbannya dimungkinkan bisa mengambil kembali dengan meminta tolong kepada penguasa serta lebih mudah untuk ditegakkan bukti atasnya dibandingkan dengan kasus pencurian, karena jarang sekali ada bukti. Maka, pencurian itu dianggap merupakan perkara yang besar dan hukumannya lebih berat untuk lebih membuat jera.

DI ANTARA FAEDAH HUKUMAN POTONG TANGAN
Bila hukuman ini dilaksanakan, maka akan menghasilkan empat hal:
1. Keimanan terhadap Islam, baik dalam akidah, syariah atau manhaj.
2. Terwujudnya syariat Allah Azza wa Jalla pada seluruh hukumhukumnya, baik secara politik, ekonomi maupun sosial.
3. Membuktikan faedah yang dihasilkan dari hokum hudûd kepada akal dan kehidupan nyata.
4. Semangat untuk mewujudkan kemaslahatan bagi orang banyak daripada kebaikan perorangan.[7]

SEBAB DAN SYARAT HUKUM POTONG TANGAN
Yang menjadi sebab dapat dijatuhkan hokum potong tangan kepada seseorang adalah karena pencurian. Sebagaimana di firmankan oleh Allah Azza wa Jalla yang artinya , “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” [al-Mâidah/5:38]

Pencurian yang dimaksud di sini adalah pengambilan harta dari pemiliknya, atau wakilnya dengan cara sembunyi sembunyi.

Harta yang dimaksud di atas tidak termasuk harta yang ditiadakan oleh syariat. Walaupun secara bahasa dianggap sebagai harta. Seperti arak, anjing, dll. Sehingga apabila seseorang mencuri anjing maka tidak akan dikenakan hukum potong tangan. Ibnul Mundzir rahimahullah mengatakan, “….dan mereka telah sepakat bahwa seorang Muslim bila ia mencuri khamer dari saudaranya maka ia tidak dipotong (tangannya)…..”[8]

Dari pengertian di atas dapat dipahami pula bahwa kalimat “pemiliknya atau wakilnya” tidak memasukkan pencurian selain harta yang bukan miliknya, seperti harta yang masih menjadi milik orang lain dari hasil merampas , korupsi, dll. Apabila ada orang yang mencurinya maka tidak sampai kepada hukum potong tangan. 

Apakah ini berarti diperbolehkan mencuri dari seorang yang zhalim atau orang yang telah melakukan perampasan? Dalam hal ini ada dua keadaan, bila niatnya adalah untuk mengembalikan barang tersebut kepada pemiliknya, maka tidak mengapa. Namun bila untuk kepentingan pribadi atau keluarganya sendiri, maka jelas tidak diperbolehkan.[9]

SYARAT DILAKSANAKANNYA HUKUMAN PENCURIAN
Hukum potong tangan bukanlah hukuman yang asal dilakukan tanpa ada kriteria tertentu. Namun ia adalah hukuman yang adil, yang harus dipenuhi kriterianya, sehingga pelakunya benar-benar berhak untuk dipotong tangannya supaya menghasilkan efek jera baginya dan bagi orang lain, tanpa mengabaikan hak si pelakunya.

Syarat yang harus dipenuhi dari pelaku pencurian itu sendiri, antara lain:

• Ia seorang yang mukallaf, berniat untuk mencuri, tidak terpaksa dalam mencuri, tidak didapati adanya hubungan antara pencuri dengan yang dicuri dan tidak ada syubhat dalam melakukan pencurian. Yang dimaksud dengan mukallaf adalah seorang yang baligh dan berakal.

• Tidak terpaksa, bukan seorang yang dipaksa oleh orang lain untuk melaksanakan pencurian, dengan ancaman yang membahayakan nyawanya.

• Tidak didapati adanya hubungan kekerabatan, di sini pengertiannya adalah harta yang dicuri bukan harta anaknya sendiri. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “ Kamu dan harta kamu adalah milik bapak kamu”, atau harta bapak atau orang tuanya sendiri (menurut pendapat mayoritas para ulama). Karena anaknya adalah bagian dari orang yang akan mewarisi hartanya dan ia masih bertanggung jawab untuk memberikan nafkah kepadanya, atau dari harta suaminya atau istrinya. Adapun hubungan keluarga/kekerabatan yang lainnya maka tidak ada pengaruhnya .

• Tidak ada syubhat dalam melakukan pencurian. Maksudnya adalah tidak dalam kondisi terpaksa dalam melakukannya, misalnya ia lapar, sangat membutuhkan harta, dan sebagainya. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,”Ini adalah syubhat yang kuat yang dapat memalingkan hukum had karena ia sangat membutuhkannya. Ini adalah (alasan) yang lebih kuat dibandingkan dengan syubhat yang disebutkan oleh banyak para ulama…)[10]

Di antara syarat yang harus dipenuhi dalam kriteria pencurian hukuman potong tangan, yang berkaitan dengan barang yang dicuri antara lain:

1. Pencurian dilakukan dari tempat /penyimpanan yang terjaga. Ibnu Mundzir rahimahullah berkata,”Mereka sepakat bahwa potong tangan diberlakukan kepada orang yang mencuri dari tempat penyimpanan.”Yang dimaksud tempat penyimpanan/yang terjaga di sini adalah tempat penunjang yang dapat menjaga harta yang dimaksudkan dengan aman; misalnya rumah yang terkunci, lemari, atau toko yang ditutup dan semisalnya.

Pengarang Ar-Raudhah Nâdiyah (2/277) berkata: “Al-hirzu/tempat simpanan adalah yang dianggap masyarakat sebagai tempat penyimpanan harta tersebut, seperti lumbung untuk menyimpan gabah, kandang untuk menyimpan binatang dan keranjang untuk menyimpan buah-buahan.”

Tempat ini berbeda antara daerah/negara satu dengan yang lainnya; disesuaikan dengan bentuk barang, tempat yang biasa digunakan untuk penyimpanan. Bila pencurian yang dilakukan bukan pada tempat yang terjaga, seperti uang yang ditaruh di depan pintu rumah, maka pelakunya tidak sampai terkena hukuman potong tangan.[11]

2. Harta yang dicuri adalah harta yang terhormat, punya pemiliknya atau wakilnya.

3. Barang yang dicuri mencapai nishâbnya ketika diambil dari tempatnya.
Yang dimaksudkan nishâb di sini adalah adalah nishâb/batasan minimal dalam masalah pencurian,, yaitu tiga dirham atau seperempat dinar atau yang senilai dengan salah satu dari keduanya. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadist ‘Aisyahx, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Tidak dipotong tangan (pencuri) terkecuali pada seperempat dinar atau lebih” 

Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menghukum potong tangan terhadap pencurian perisai yang senilai tiga dirham [HR. Muslim:1687), Tirmidzi (1446)]

Bila dinilai dengan uang rupiah maka bisa dilihat dengan harga emas yang sekarang berlaku. Syaikh Utsaimîn berkata:”Jumlah seperempat dinar yang dimaksudkan pada zaman sekarang, sedikit sekali, yakni dinar sebesar mitsqâl–dinar Islam-, kemudian ia menanyakan orang pemilik emas, berapa ukuran mitsqâl/berat dari emas? Sedikit sekali yakni sekitar dua puluh riyal. (satu riyal sekitar dua ribu sampai tiga ribu rupiah). Lihat Liqâ‘ Maftûh (28/201).

4. Terbuktinya pencurian oleh si pelaku. Baik dengan cara bukti dua orang saksi yang menyatakan bahwa pelakulah yang mengambil atau dengan cara pengakuan dari si pelaku. Dalam masalah saksi tidak diperbolehkan adanya saksi wanita, walaupun bersaksi terhadap dua orang wanita atau lebih dengan seorang laki laki. Karena dalam masalah hukum hudûd , saksi wanita tidak di gunakan.[12]

SIAPAKAH YANG MELAKSANAKAN HUKUMAN INI?
Yang melaksanakannya adalah penguasa/ pemerintah atau orang yang ditugasi untuk menjalankannya.

APAKAH TANGANNYA YANG TELAH TERPOTONG DIGANTUNGKAN?
Imam Syafi‘i rahimahullah dan Ahmad rahimahullah berpendapat bolehnya dalam hal ini, bila dimaksudkan untuk membuat jera, berdasarkan riwayat dari at-Tirmidzi bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika didatangkan kepadanya seorang pencuri yang telah terpotong tangannya, kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengalungkannya di lehernya.[13]

BAGAIMANA CARA PELAKSANAAN HUKUMAN POTONG TANGAN?
Dinukil oleh Syaikh Abdul Adzîm Badawi, dari penulis kitab Ar-Raudhatun Nâdiyah: para Ulama sepakat; seorang pencuri pada pencurian yang pertama dipotong tangan sebelah kanannya. Bila ia mencuri kedua kalinya, maka dipotong kaki kirinya. Kemudian mereka berbeda pendapat bila ia mencuri untuk ketiga kalinya; setelah dipotong tangan kanan dan kaki kirinya, mayoritas mereka berpendapat dipotong tangan kirinya. Dan bila ia mencuri lagi setelahnya maka dipotong kaki kanannya. Kemudian bila mencuri lagi, maka ia dihukum ta‘zîr dan dikurung.[14]

TERHINDARNYA PENCURI DARI POTONG TANGAN
Seorang pencuri yang dimaafkan oleh orang yang dicurinya dan belum sampai diangkat perkara/diajukan ke hakim, maka hal ini dapat menghindarkan si pencuri dari hukuman potong tangan.[15]

Akhirnya, apa yang dibutuhkan manusia adalah apa yang telah ditetapkan oleh Dzat yang telah menciptakan mereka. Karena tidak ada hukum yang lebih baik dari hukum-Nya. Dan dalam melaksanakan konsekuensi ini, seorang seharusnya tidak hanya mengedepankan pikiran pendeknya dan perasaan yang bukan pada tempatnya. Tetapi lebih mengedepankan kepastian hasil yang akan didapat bila benar-benar dijalankan sesuai dengan prosedur dan tata cara yang diatur dalam agama ini. Allah Azza wa Jalla berfirman: “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak
mengetahui.” [al-Baqarah/2/216]

Wallâhu a‘lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XIII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]
_______
Footnote
[1]. Kitab Al-Ijmâ‘ : 261/140, Lihat kitab Al-Wajîz hal. 443
[2]. Kitab Al-Fiqih ‘Alal Madzâhibil Arba‘ah , Abdurrahmân al-Jazirî, : 5/153
[3]. lihat Majalah Al-Buhûs Al-Islâmiyah:22/317
[4]. Lihat Majalah Jâmi‘ah Islâmiah:4/484
[5]. Ahmad al-Hasary, Al-Hudûd Wal Asyribah Fil Fiqh Islâmi : 374 – 375, Tafsîr Ibnu Katsîr:3/110
[6]. I‘lâmul Muwaqqi‘în hal 44
[7].Al-Fiqh Islâmi Wa Adillatuhu:219-222
[8]. lihat kitab Al-Wajîz hal 443
[9]. Al-Jâmi‘li Ahkâm Fiqhis Sunnah, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimînt:4/205
[10]. lihat Al-Mausû‘atul Fiqhiyyatul Kuwaitiyyah:2/8608-8609
[11]. Lihat kitab Al-Wajîz hal. 443
[12] Al-Jâmi‘ Li Ahkâm Fiqhis Sunnah, Syaikh Muhammad Bin Shâlih al-Utsaimîn:4/206-210
[13]. Lihat Asna‘al Mathâlib : 4/153, Al-Mughni :10/266
[14]. lihat kitab Al-Wajîz hal 444
[15]. Lihat Al-Wajîz hal 444

Qishash




Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi Lc



Pemahaman terhadap qishâsh selama ini terkadang masih dianggap sebagai sesuatu yang sangat angker, menakutkan dan tidak manusiawi; sehingga timbul apa yang dinamakan “Islam phobia”. Padahal Allah Azza wa Jalla menggambarkan qishâsh dalam firman-Nya:

وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Dan dalam qishâsh itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa. [al-Baqarah/2:179]

Imam as-Syaukâni rahimahullah menjelaskan ayat ini dengan menyatakan: “Maknanya ialah kalian memiliki jaminan kelangsungan hidup dalam hukum yang Allah Azza wa Jalla syariatkan ini; karena bila seseorang tahu akan dibunuh secara qishâsh apabila ia membunuh orang lain, tentulah ia tidak akan membunuh dan akan menahan diri dari meremehkan pembunuhan serta terjerumus padanya. Sehingga hal itu sama seperti jaminan kelangsungan hidup bagi jiwa manusia. Ini adalah satu bentuk sastra (balâghah) yang tinggi dan kefasihan yang sempurna. Allah Azza wa Jalla menjadikan qishâsh yang sebenarnya adalah kematian, sebagai jaminan kelangsungan hidup, ditinjau dari efek yang timbul yaitu bisa mencegah saling bunuh di antara manusia. Hal ini dalam rangka menjaga keberadaan jiwa manusia dan kelangsungan kehidupan mereka. Allah Azza wa Jalla juga menjelaskan ayat ini untuk ulul albâb (orang yang berakal); karena merekalah orang yang memandang jauh ke depan dan berlindung dari bahaya yang muncul kemudian. Sedangkan orang yang pandir, berfikiran pendek dan gampang emosi; mereka tidak memandang akibat yang akan muncul dan tidak berfikir tentang masa depannya.” [1]

Akibat sikap terburu-buru dan tidak mengerti hakekat syariat yang ditetapkan Allah Azza wa Jalla, banyak orang bahkan kaum Muslimin yang belum mau menerima atau bersimpati atas penegakan qishâsh ini. Padahal pensyariatan qishâsh adalah kemaslahatan bagi manusia.

Syaikh Prof. DR. Shalih bin Fauzân –hafizhahullâh menyatakan: “Pensyariatan qishâsh berisi rahmat bagi manusia dan penjagaan atas darah mereka, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :

وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ

Dan dalam qishâsh itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu. [al-Baqarah/2:179] 

Sehingga amat buruk orang yang menyatakan bahwa qishâsh itu sesuatu yang tidak berperikemanusiaan (biadab) dan keras. Mereka tidak melihat kepada kebiadaban pelaku pembunuhan ketika membunuh orang tak berdosa, ketika menebar rasa takut di daerah tersebut dan ketika para wanita menjadi janda, anak-anak menjadi yatim dan hancurnya rumah tangga. Mereka ini hanya kasihan kepada pelaku kejahatan dan tidak kasihan kepada korban yang tak berdosa. Sungguh jelek dan dangkal akal mereka. Allah Azza wa Jalla berfirman:

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ

Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ? [al-Mâ‘idah/5:50]" [2]

Untuk itu sangat diperlukan penjelasan tentang qishâsh ini agar kaum Muslimin bisa mengerti keindahan dan rahmat yang ada di dalamnya.

DEFINISI QISHÂSH.
Qishâsh berasal dari bahasa Arab dari kata قِصَا صُ yang berarti mencari jejak seperti al-Qashâsh. Sedangkan dalam istilah hukum Islam berarti pelaku kejahatan dibalas seperti perbuatannya, apabila membunuh maka dibalas dengan dibunuh dan bila memotong anggota tubuh maka dipotong juga anggota tubuhnya.[3]

Sedangkan Syaikh Prof.DR. Shâlih bin Fauzân - hafizhahullâh- mendefiniskannya dengan: ‘al-Qishâsh adalah perbuatan (pembalasan) korban atau walinya terhadap pelaku kejahatan sama atau seperti perbuatan pelaku tadi. [4]

Dapat disimpulkan Qishâsh adalah melakukan pembalasan yang sama atau serupa, seperti istilah “hutang nyawa dibayar nyawa”.

DASAR PENSYARIATAN
Qishâsh disyariatkan dalam al-Qur‘ân dan Sunnah serta ijmâ’. Di antara dalil dari al-Qur‘ân adalah firman Allah Azza wa Jalla :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى ۖ الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْأُنثَىٰ بِالْأُنثَىٰ ۚ فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ۗ ذَٰلِكَ تَخْفِيفٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ ۗ فَمَنِ اعْتَدَىٰ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ 

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishâsh berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Rabbmu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih dan dalam qishâsh itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa. [al-Baqarah/2:178-179]

Sedangkan dalil dari Sunnah di antaranya adalah hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ قُتِلَ لَهُ قَتِيْلٌ فَهُوَ بِخَيْرٍ النَّظَرَيْنِ إِمَّا أَنْ يُفْدَى وَإِمَّا أَنْ يُقْتَل

Siapa yang menjadi keluarga korban terbunuh maka ia memilih dua pilihan, bisa memilih diyât dan bisa qishâsh (balas bunuh).[HR al-Jamâ’ah]

Sedangkan dalam riwayat at-Tirmidzi rahimahullah dengan lafazh:

مَنْ قُتِلَ لَهُ قَتِيْلٌ فَهُوَ بِخَيْرٍ النَّظَرَيْنِ إِمَّا أَنْ يَعْفُوَ وَإِمَّا أَنْ يَقْتُلَ

Siapa yang menjadi keluarga korban terbunuh maka ia mempunyai dua pilihan, bisa memilih memaafkannya atau bisa membunuhnya. [5]

Ayat dan hadits di atas menunjukkan wali (keluarga) korban pembunuhan dengan sengaja memiliki pilihan untuk membunuh pelaku tersebut (qishâsh) bila menghendakinya, bila tidak, bisa memilih diyât dan pengampunan. Pada asalnya pengampunan lebih utama, selama tidak mengantar kepada mafsadat (kerusakan) atau ada kemashlahatan lainnya.[6]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menguatkan bahwa tidak boleh memberikan maaf pada qatlu al-ghîlah (pembunuhan dengan memperdaya korban).[7]

Sedangkan Ibnu al-Qayyim rahimahullah ketika menyampaikan kisah al-‘Urayinin menyatakan: ‘Qatlu al-ghîlah menuntut pelakunya harus dibunuh secara had (hukuman), sehingga tidak bisa gugur dengan sebab ampunan dan tidak pandang kesetaraannya (mukâfaah). Inilah pendapat penduduk Madinah dan salah satu dari dua pendapat dalam madzhab Ahmad dan yang dikuatkan oleh Syaikh (Ibnu Taimiyah - pen) dan beliau rahimahullah berfatwa dengannya.’[8]

HIKMAH PENSYARIATAN QISHÂSH
Allah al-Hakîm menetapkan satu ketetapan syariat dengan hikmah yang agung. Hikmah-hikmah tersebut ada yang diketahui manusia dan ada yang hanya menjadi rahasia Allah Azza wa Jalla. Demikian juga dalam qishâsh terdapat banyak hikmah, di antaranya:

1. Menjaga masyarakat dari kejahatan dan menahan setiap orang yang akan menumpahkan darah orang lain. Karena itu Allah Azza wa Jalla sebutkan dalam firman-Nya:

وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Dan dalam qishâsh itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal,supaya kamu bertakwa. [al-Baqarah/2:179]

2. Mewujudkan keadilan dan menolong yang terzhalimi dengan memberikan kemudahan bagi wali korban untuk membalas pelaku seperti yang dilakukannya kepada korban. Karena itulah Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَمَن قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا فَلَا يُسْرِف فِّي الْقَتْلِ ۖ إِنَّهُ كَانَ مَنصُورًا

Dan barangsiapa dibunuh secara zhalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan. [al-Isrâ‘/17:33]

3. Menjadi sarana taubat dan pensucian dari dosa yang telah dilanggarnya, karena qishâsh menjadi kaffârah (penghapus) dosa pelakunya. Hal ini dijelaskan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:

تُبَا يِعُونِيِّ عَلَى أَنْ لاَ تُشْرِكُوْا بِاللَّهِ شَيْئًا وَلاَ تَسْرِقُوْا وَلاَ تَزْنُوْاوَلاَ تَقْتُلُوْاأَوْلاَدَكُمْ وَلاَتَأْتُوْابِبُهتَانٍ تَفْتَرُونَهُ بَيْنَ أَيْدِيْكُمْ وَأَرْجُلِكُمْ وَلاَ تَعْصُوْا فِي مَعْرُوفٍ فَمَنْ وَفَى مِنْكُمْ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَعُوْقِبَ فِي الدُّنْيَا فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَسَتَرَهُ اللَّهُ فَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ إِنْ شَاءَ عَا قَبَهُ وَإِنْ شَاءَ عَفَا عَنْهُ 

Kalian harus berbai'at kepadaku untuk tidak berbuat syirik, tidak mencuri dan tidak berzina, tidak membunuh anak kalian, tidak melakukan kedustaan dan berbuat durhaka dalam hal yang ma`ruf. Barangsiapa di antara kalian menunaikannya maka pahalanya ada pada Allah dan siapa yang melanggar
sebagiannya lalu dihukum di dunia, maka hukuman itu sebagai penghapus baginya dan siapa yang melanggarnya lalu Allah tutupi; maka urusannya diserahkan kepada Allah. Bila Ia kehendaki maka mengadzabnya dan bila Ia menghendaki maka mengampuninya'. [Muttafaq 'alaihi].

SYARAT KEWAJIBAN QISHÂSH
Secara umum wali (keluarga) korban berhak menuntut qishâsh apabila telah memenuhi syarat berikut:

1. Jinâyat (kejahatan) nya termasuk yang disengaja. Ini merupakan ijmâ’ para Ulama sebagaimana dinyatakan Ibnu Qudâmah rahimahullah : ‘Para Ulama berijmâ` bahwa qishâsh tidak wajib kecuali pada pembunuhan yang disengaja dan kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di antara mereka dalam kewajiban qishâsh karena pembunuhan dengan sengaja, apabila terpenuhi syarat-syaratnya.[9]

2. Korban termasuk orang yang dilindungi darahnya (‘Ishmat al-Maqtûl) dan bukan orang yang dihalalkan darahnya, seperti orang kafir harbi dan pezina yang telah menikah. Hal ini karena qishâsh disyariatkan untuk menjaga dan melindungi jiwa. 

3. Pembunuh atau pelaku kejahatan seorang yang mukallaf yaitu berakal dan baligh. Ibnu Qudâmah rahimahullah menyatakan: ‘Tidak ada perbedaan pendapat di antara para Ulama bahwa tidak ada qishâsh terhadap anak kecil dan orang gila. Demikian juga orang yang hilang akal dengan sebab udzur, seperti tidur dan pingsan. [10]

4. At-takâfu‘ (kesetaraan) antara korban dan pembunuhnya ketika terjadi tindak kejahatan dalam sisi agama, merdeka dan budak. Sehingga tidak diqishâsh seorang Muslim karena membunuh orang kafir; dengan dasar sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لاَيُقْتَلُ مُسْلِمُ بِكَافِرٍ

Tidaklah dibunuh (qishâsh) seorang Muslim dengan sebab membunuh orang kafir. [11]

5. Tidak ada hubungan keturunan (melahirkan) dengan ketentuan korban yang dibunuh adalah anak pembunuh atau cucunya, dengan dasar sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لاَيُقْتَلُ الوَالِدُ بِوَلَدِهِ

Orang tua tidak diqishâsh dengan sebab (membunuh) anaknya.[12]

Sedangkan anak bila membunuh orang tuanya tetap terkena keumuman kewajiban qishâsh.

SYARAT PELAKSANAAN QISHÂSH
Apabila terpenuhi syarat-syarat kewajiban qishâsh seluruhnya, maka masih perlu dipenuhi lagi syarat-syarat pelaksanaannya. Syarat-syarat tersebut adalah:

1. Semua wali (keluarga) korban yang berhak menuntut qishâsh adalah mukallaf. Apabila yang berhak menuntut qishâsh atau sebagiannya adalah anak kecil atau gila, maka tidak bisa diwakilkan oleh walinya; sebab dalam qishâsh ada tujuan memuaskan dan pembalasan sehingga wajib menunggu pelaksanaannya dengan memenjarakan pelaku pembunuhan hingga anak kecil tersebut menjadi baligh atau orang gila tersebut sadar. Hal ini dilakukan Mu’âwiyah bin Abi Sufyânz yang memenjarakan Hudbah bin Khasyram dalam qishâsh hingga anak korban menjadi baligh. Hal ini dilakukan di zaman para Sahabat dan tidak ada yang mengingkarinya sehingga seakan-akan menjadi ijmâ’ di masa beliau. Apabila anak kecil atau orang gila membutuhkan nafkah dari para walinya, maka wali orang gila saja yang boleh memberi pengampunan qishaash dengan meminta diyaat, karena orang gila tidak jelas kapan sembuhnya berbeda dengan anak kecil.[13]

2. Kesepakatan para wali korban terbunuh dan yang terlibat dalam qishâsh dalam pelaksanaannya. Apabila sebagian mereka walaupun seorang memaafkan dari qishâsh maka gugurlah qishâsh tersebut. [14]

3. Dalam pelaksanaannya tidak melampaui batas kepada selain pelaku pembunuhan, dengan dasar firman Allah Azza wa Jalla :

وَمَن قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا فَلَا يُسْرِف فِّي الْقَتْلِ ۖ إِنَّهُ كَانَ مَنصُورًا

Dan Barangsiapa dibunuh secara zhalim, Maka Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya. Tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan. [al-Isrâ‘/17:33]

Apabila qishâsh menyebabkan sikap melampaui batas maka dilarang sebagaimana dijelaskan dalam ayat di atas. Dengan demikian, apabila wanita hamil akan diqishâsh maka tidak bisa sampai diqishâsh hingga melahirkan anaknya, karena membunuh wanita tersebut dalam keadaan hamil akan menyebabkan kematian pada janinnya. Padahal janin tersebut belum berdosa, Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَىٰ

Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. [al-An’âm/6:164]

SIAPAKAH YANG BERHAK MELAKUKAN QISHÂSH?
Yang berhak melakukannya adalah yang memiliki hak yaitu para wali korban, dengan syarat mampu melakukan qishâsh dengan baik sesuai syariat. Apabila tidak mampu, maka diserahkan kepada pemerintah atau wakilnya. Hal ini tentunya dengan pengawasan dan naungan pemerintah atau wakilnya agar dapat mencegah sikap melampai batas dalam pelaksanaannya dan memaksa pelaksana menunaikannya sesuai syari’at. [15]

Demikian beberapa hukum seputar qishâsh; mudah-mudahan dapat memberikan pencerahan akan keindahan dan pentingnya menerapkan qishâsh di masyarakat kita. Wabillâhi taufîq.

MARÂJI’:
1. Imam Ibnu Qudâmah, al-Mughni, tahqîq ‘Abdullâh bin ‘Abdilmuhsin at-Turki, cetakan ke-2 tahun 1413
H. penerbit Hajar.
2. Shâlih bin Fauzân al-Fauzân, Al-Mulakhash al-Fiqh, cetakan ke-2 tahun 1426 H, Jam’iyah Ihyâ’ at-Turâts al-Islâmi.
3. Muhammad bin Shalih Ibnu Utsaimîn, Asy-Syarhul-Mumti’ ‘Ala Zâdil-Mustaqni’, cetakan pertama tahun 1428 H, Dâr Ibnul-Jauzi, KSA 14/5
4. Muhammad Nâshirudin al-Albâni, Irwâ’ul-Ghalîl, al-Maktab al-Islâmi. Dll

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XIII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]
_______
Footnote
[1]. Fathul-Qadîr 1/179 dinukil dari al-Mulakhash al-Fiqh 2/471
[2]. Al-Mulakhas al-Fiqh 2/475
[3]. Asy-Syarhul-Mumti’ 14/34
[4]. Al-Mulakhas al-Fiqh 2/476
[5]. HR at-Tirmidzi no. 1409
[6]. Lihat Al-Mulakhash al-Fiqh 2/473 dan Asy-Syarhul-Mumti’ 14/34
[7]. Al-Mulakhash al-Fiqh 2/473
[8]. Lihat Hasyiyah ar-Raudh al-Murbi’ 7/207
[9]. al-Mughni 11/457
[10]. al-Mughni 11/481
[11]. HR al-Bukhâri no. 111
[12]. HR Ibnu Mâjah no. 2661 dan dishahîhkan al-Albâni dalam Irwâ’ al-Ghalîl no. 2214
[13]. Lihat Al-Mulakhash al-Fiqh 2/476
[14]. Lihat Asy-Syarhul-Mumti’ 14/38
[15]. Lihat Asy-Syarhul-Mumti’ 14/54 dan Al-Mulakhas al-Fiqh 2/478.

Fikih Jinayat


Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi Lc


Jiwa manusia dan darahnya adalah perkara yang sangat dijaga dalam syari’at Islam. Demikian juga kegunaan dan fungsi anggota tubuh pun tak lepas dari penjagaan syari’at. Semua ini untuk kemaslahatan manusia dan kelangsungan hidup mereka, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla:

وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Dan dalam qishâsh itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa. [al-Baqarah/2:179]

Hal ini nampak jelas dengan larangan Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap pembunuhan, dalam banyak ayat dan hadits nabawi. Ayat-ayat al-Qur`ân itu di antaranya adalah:

Firman Allah Azza wa Jalla :

وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

“...dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” [an-Nisâ’/4:29]

dan firman Allah Azza wa Jalla :

وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا

“Dan barangsiapa yang membunuh seorang Mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, ia kekal di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” [an-Nisâ’/4:93]

Sedangkan dari sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , di antaranya adalah :

a. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 

اجْتَنِبُوْا السَّبْعَ الْمُوْبِقَاتِ قِيْلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّيْ يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلاَتِ الْمُؤْمِنَاتِ

“Hendaklah kalian menjauhi tujuh perkara yang membinasakan.” Ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , apa saja itu?” Beliau n menjawab,“(Pertama) menyekutukan Allah k, (kedua) perbuatan sihir, (ketiga) membunuh jiwa yang telah Allah haramkan (membunuhnya) kecuali dengan cara yang haq, (keempat) makan harta benda anak yatim, (kelima) makan riba, (keenam) berpaling pada waktu menyerang musuh (desersi), dan (ketujuh) menuduh (berzina) perempuan-perempuan Mukmin yang tidak tahu menahu (tentang itu).” [1] 

b. Hadits dari `Abdullâh bin Umar bin Khaththâb Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللَّهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ 

“Bagi Allah Azza wa Jalla lenyapnya dunia jauh lebih ringan daripada membunuh seorang Muslim.” [2] 

c. Dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu dan Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda: 
“Andaikata segenap penghuni langit dan penghuni bumi bersekongkol menumpahkan darah seorang Mukmin, maka niscaya Allah Azza wa Jalla akan menjebloskan mereka ke dalam api neraka.”[3]

d. Dari `Abdullâh bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 

وأَوَّلُ مَا يُقْضَى بَيْنَ النَّاسِ فِيْ الدِّمَاءِ

“Perkara yang pertama kali diputuskan di antara manusia (oleh Allah Azza wa Jalla kelak) ialah kasus pembunuhan.” [4] 

e. Dari `Abdullâh bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 

يَجِيْءُ الرَّجُلُ آخِذًا بِيَدِ الرَّجُلِ فَيَقُوْلُ يَا رَبِّ هَذَا قَتَلَنِيْ فَيَقُوْلُ اللهُ لَهُ لِمَ قَتَلْتَهُ فَيَقُوْلُ قَتَلْتُهُ لِتَكُوْنَ الْعِزَّةُ لَكَ فَيَقُوْلُ فَإِنَّهَا لِيْ وَيَجِيْءُ الرَّجُلُ آخِذًا بِيَدِ الرَّجُلِ فَيَقُوْلُ إِنَّ هَذَا قَتَلَنِيْ فَيَقُوْلُ اللهُ لَهُ لِمَ قَتَلْتَهُ فَيَقُوْلُ لِتَكُوْنَ الْعِزَّةُ لِفُلاَنٍ فَيَقُوْلُ إِنَّهَا لَيْسَتْ لِفُلاَنٍ فَيَبُوْءُ بِإِثْمِهِ 

“Ada seorang laki-laki datang dengan memegang tangan laki-laki lain, lalu berkata, ‘Wahai Rabbku, orang ini telah berusaha membunuhku.’ Kemudian Allah Azza wa Jalla bertanya kepadanya, ‘Mengapa engkau berusaha membunuhnya?’ Maka orang yang telah berusaha membunuhnya itu menjawab, 'Aku membunuhnya supaya kemuliaan menjadi milik-Mu semata.' Kemudian Allah Azza wa Jalla menjawab, 'Maka (kalau begitu), itu untuk-Ku semata.' Kemudian datang (lagi) seorang laki-laki (lain) sambil memegang tangan laki-laki juga, lalu ia berkata, '(Wahai Rabbku), orang ini telah membunuhku.' Lalu tanya Allah Azza wa Jalla kepadanya, ‘Mengapa engkau membunuhnya?’ Jawabnya, ‘Supaya kemuliaan ini menjadi milik si fulan.’ Maka firman Allah Azza wa Jalla, 'Sesungguhnya kemuliaan bukanlah milik si fulan.' Maka laki-laki yang berusaha itu pulang dengan membawa dosanya.”[5] 

Demikian juga kaum Muslimin berijmâ’ atas hal ini. 

Oleh karena itu syari’at Islam memberikan hukuman dan balasan terhadap para pelaku pembunuhan dan penganiayaan terhadap tubuh manusia yang dikenal dengan fikih Jinâyât. 

1.DEFINISI JINAYAT 
Kata jinâyât menurut bahasa Arab adalah bentuk jama’ dari kata jinâyah yang berasal dari janâ dzanba yajnîhi jinâyatan (جَنَى الذَنْبَ – يَجْنِيْهِ جِنَايَةً) yang berarti melakukan dosa. Sekalipun isim mashdar (kata dasar), kata jinâyah dipakai dalam bentuk jama’ (plurals), karena ia mencakup banyak jenis perbuatan dosa. Karena ia kadang mengenai jiwa dan anggota badan, secara disengaja ataupun tidak.[6] Kata ini juga berarti menganiaya badan atau harta atau kehormatan.[7] 

Sedangkan menurut istilah syari’at jinâyat (Tindak Pidana) adalah menganiaya badan sehingga pelakunya wajib dijatuhi hukuman qishâsh atau membayar diyat[8] atau kafârah[9] . 

2. HUKUM PEMBUNUH DAN PENGANIAYA.
Pembunuh dan penganiaya badan manusia dihukumi sebagai fâsiq, karena melakukan satu dosa besar. Hukum akhiratnya dikembalikan kepada Allah Azza wa Jalla; apabila Allah Azza wa Jalla hendak mengadzabnya maka akan diadzab; dan bila mengampuninya maka ia diampuni. Karena masuk dalam firman Allah Azza wa Jalla:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. [an-Nisâ`/4:48]

Ini bila ia tidak bertaubat sebelum meninggal dunia. Apabila ia telah bertaubat, maka taubatnya diterima dengan dasar firman Allah Azza wa Jalla:

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

Katakanlah:"Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu terputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya.Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [az-Zumar/39:53]

Namun tidak gugur darinya hak korban yang terbunuh (al-Maqtûl) di akhirat dengan sekedar taubat. Tapi korban tersebut akan mengambil kebaikan dan pahala pembunuh tersebut sesuai dengan ukuran kezhalimannya atau Allah Azza wa Jalla yang memberikannya dari sisinya. Juga tidak gugur hak korban dengan di qishâsh, karena qishâsh adalah hak keluarga dan kerabat korban (Auliya` al-maqtûl). [10] 

Syaikh Ibnu Utsaimîn rahimahullah menyatakan: Pembunuhan dengan sengaja berhubungan dengan tiga hak:
a. Hak Allah Azza wa Jalla dan ini akan terhapus dengan taubat.
b. Hak auliyâ` al-Maqtûl dan ini gugur dengan menyerahkan diri kepada mereka.
c. Hak al-maqtûl (korban). Ini tidak gugur, karena korban telah mati dan hilang. Namun apakah akan diambil dari kebaikan pembunuh (di akherat) atau Allah Azza wa Jalladengan keutamaan dan kemurahannya menanggungnya? Yang benar Allah Azza wa Jalla dengan keutamaannya yang bertanggung jawab apabila jelas kebenaran dan kejujuran taubatnya.[11] 

Pendapat inipun dikuatkan Ibnu al-Qayyim rahimahullah dalam penjelasan beliau: "Yang benar bahwa pembunuhan berhubungan dengan tiga hak; hal Allah, hak korban (al-Maqtûl) dan hak keluarga dan kerabat korban (auliyâ` al-Maqtûl). Apabila pembunuh telah menyerahkan diri dengan suka rela dengan menyesalinya dan takut kepada Allah serta bertaubat dengan taubat nashuha, maka gugurlah hak Allah Azza wa Jalla dengan taubat dan hak auliyâ` al-Maqtûl dengan ditunaikan secara sempurna qishâsh atau perdamaian atau dimaafkan. Namun masih tersisa hak korban, maka Allah Azza wa Jalla yang akan menggantinya dihari kiamat dari hamba-Nya yang bertaubat dan memperbaiki hubungan keduanya."[12] 

3. KLASIFIKASI JINAYAT (TINDAK PIDANA) 
Jinâyat (tindak pidana) terhadap badan terbagi dalam dua jenis:

1. Jinâyat terhadap jiwa (Jinâyat an-Nafsi) adalah jinâyat yang mengakibatkan hilangnya nyawa (pembunuhan). Pembunuhan jenis ini terbagi tiga: 

a. Pembunuhan dengan sengaja (al-‘Amd), Yang dimaksud pembunuhan dengan sengaja ialah seorang mukalaf secara sengaja (dan terencana) membunuh orang yang terlindungi darahnya dengan cara dan alat yang biasanya dapat membunuh.

b. Pembunuhan yang mirip dengan sengaja (syibhul-’Amdi). Ini tidak termasuk sengaja dan tidak juga karena keliru (al-Khatha’) tapi tengah-tengah di antara keduanya. Seandainya kita lihat kepada niat kesengajaan untuk membunuhnya maka ia masuk dalam pembunuhan dengan sengaja. Namun bila kita lihat jenis perbuatannya tersebut tidak membunuh maka dimasukkan ke dalam pembunuhan karena keliru (al-Khatha’). Oleh karena itu para Ulama memasukkannya ke dalam satu tingkatan di antara keduanya dan menamakannya Syibhul-‘Amdi.[13] Adapun yang dimaksud syibhul-’Amdi (pembunuhan yang mirip dengan sengaja) ialah seorang mukallaf bermaksud membunuh orang yang terlindungi darahnya dengan cara dan alat yang biasanya tidak membunuh.[14]

c. Pembunuhan karena keliru (al-Khatha’). Sedangkan yang dimaksud pembunuh karena keliru ialah seorang mukallaf melakukan perbuatan yang mubah baginya, seperti memanah binatang buruan atau semisalnya, ternyata anak panahnya nyasar mengenai orang hingga meninggal dunia. 

Ketiga jenis ini didasarkan kepada penjelasan al-Qur`ân dan Sunnah. Dalam al-Qur`ân dijelaskan dua jenis pembunuhan yaitu sengaja dan tidak sengaja (keliru), seperti dalam firman Allah Azza wa Jalla:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلَّا خَطَأً ۚ وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَىٰ أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ يَصَّدَّقُوا ۚ فَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ لَكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ ۖ وَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَىٰ أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ ۖ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِنَ اللَّهِ ۗ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا

Dan tidaklah layak bagi seorang Mukmin membunuh seorang Mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja) dan barangsiapa membunuh seorang mumin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar dia yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia Mukmin, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba-sahaya yang Mukmin. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang Mukmin. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara taubat kepada Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Barangsiapa yang membunuh seorang Mukmin dengan sengaja, maka balasannnya ialah jahannam, ia kekal di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutuknya serta menyediakan azab yang besar baginya. [an-Nisâ’/4:92-93]

Sedangkan satunya lagi yaitu pembunuhan yang mirip dengan sengaja (syibhul-’Amdi), diambil dari Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . di antaranya adalah hadits Abdullâh bin ‘Amr Radhiyallahu anhu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَلاَ إِنَّ دِيّةَ الْخَطَأِ شِبْهِ الْعَمْدِ مَا كَانَ بِالسَّوْطِ وَالْعَصَا مِائَةٌ مِنَ الإِبِلِ مِنْهَا أَرْبَعُوْنَ فِيْ بُطُوْنِهَا أَوْلاَدُهَا 

Ketahuilah bahwa diyat pembunuhan yang mirip dengan sengaja yaitu yang dilakukan dengan cambuk dan tongkat adalah seratus ekor onta. Di antaranya empat puluh ekor yang sedang hamil.[15] 

2. Jinâyat kepada badan selain jiwa (Jinâyat dûnan-Nafsi/al-Athraf) adalah penganiayaan yang tidak sampai menghilangkan nyawa.

Jinâyât seperti ini terbagi juga menjadi tiga:
a. Luka-luka (الشُجَاجُ وَالْجَرَاحُ)
b. Lenyapnya kegunaan anggota tubuh (إِتْلاَفُ الْمَنَافِعِ)
c. Hilangnya anggota tubuh (إِتْلاَفُ الأَعْضَاءِ)

Demikianlah Fikih jinâyât mencakup kedua jenis jinâyât ini, sehingga nampak jelas perhatian Islam terhadap keselamatan jiwa dan anggota tubuh seorang Muslim. Dengan dasar ini jelaslah kesalahan orang yang mudah menumpahkan darah kaum Muslimin. 
Wabillâhi taufîq.

Referensi
1. Muhammad bin Ismâ’il Ash-Shan’âni, Subulus-Salâm al-Mûshilah Ilâ Bulûghil-Marâm, tahqîq Muhammad Shubhi Hasan Halâf, cetakan kedelapan tahun 1428 H, Dâr Ibnul-Jauzi, KSA 7: 231
2. Muhammad bin Shalih Ibnu Utsaimîn, asy-Syarhul-Mumti’ ‘Ala Zâdil-Mustaqni’, cetakan pertama tahun 1428 H, Dâr Ibnul-Jauzi, KSA 14/5 
3. Shâlih bin fauzân al-Fauzân, Tashîl al-Ilmâm Bi Fiqhi al-Ahâdits Min Bulûghil-Marâm, cetakan pertama tahun 1427 H tanpa penerbit. 5/117.
4. Shâlih bin Fauzân al-Fauzân, Al-Mulakhashul-Fiqh, cetakan pertama tahun 1423 H, Ri`âsah Idarâh al-Buhûts al-Ilmiyah wa al-Ifta`, KSA 2/461.
5. Buku-buku Syaikh Muhammad Nâshirudin al-Albâni dll.

Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XIII/1430H/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Muttafaq ’alaih: lihat Fathul Bâri 7/393 no: 2766, Muslim 1/ 92 no: 89, ’Aunul Ma’bûd 8/77 no: 2857 dan an-Nasâ’i 6/ 257.
[2]. HR Tirmidzi 2/426 no: 1414 dan Nasâ’i 7/82, lihat Shahîhu al-Jâmi’ as-Shaghîr no: 5077. 
[3]. HR Tirmidzi 2/427 no: 1419 lihat Shahîhu al-Jâmi’is-Shaghîr no: 5247. 
[4]. Muttafaq ’alaih: lihat Fathul Bâri 12/187 no: 8664, Muslim 3/1304 no: 1418 dan an-Nasâ’i 7/83
[5]. HR Nasâ’i 7/84, lihat Shahîhun-Nasâ’i no: 3732 dan Shahîhul-Jâmi’ no. 8029.
[6]. Muhammad bin Ismâ’il Ash-Shon’âni, Subulus-Salâm al-Mûshilah Ila Bulughil-Marâm, tahqîq Muhammad Shubhi Hasan Halâf, cetakan kedelapan tahun 1428 H, Dâr Ibnu al-Jauzi, KSA 7: 231
[7]. Lihat Muhammad bin Shâlih Ibnu Utsaimîn, asy-Syarhul-Mumti’ ‘Ala Zâdil-Mustaqni’, cetakan pertama tahun 1428 H, Dâr Ibnul-Jauzi, KSA 14/5 dan Shâlih bin fauzân al-Fauzân, Tashîl al-Ilmâm Bi Fiqhi al-Ahâdits Min Bulûghil-Marâm, cetakan pertama tahun 1427 H tanpa penerbit. 5/117.
[8]. Asy-Syarhul-Mumti’ 14/5
[9]. Shalih bin Fauzân al-Fauzân, Al-Mulakhashul-Fiqh, cetakan pertama tahun 1423 H, Ri`âsah Idarâh al-Buhûts al-Ilmiyah wa al-Ifta`, KSA 2/461.
[10]. Diambil dari kitab al-Mulakhashul-Fiqh 2/462.
[11]. Asy-Syarhul-Mumti’ 14/7
[12]. Hasyiyah ar-Raudh al-Murbi’ 7/165
[13]. Asy-Syarhul-Mumti’ 14/5-6
[14]. Lihat al-Mulakhashul-Fiqh 2/465.
[15]. HR Abu Dâwud no. 4547, An-Nasâ`i 2/247 dan Ibnu Mâjah no. 2627 lihat Irwâ’ ul-Ghalîl 7/255-258 no.2197