Tidak banyak kaum Muslimin, khususnya di Indonesia, yang tahu bahwa pada bulan Maret kemarin, 88 tahun yang lalu menurut perhitungan Masehi dan 91 tahun menurut perhitungan Hijriah, tepatnya tanggal 3 Maret 1924, Khilafah Islam yang berkedudukan di Istanbul (Turki) diruntuhkan oleh kekuatan penjajah Inggris melalui kaki tangannya, Mustafa Kemal Attaturk. Sepantasnya kaum Muslim prihatin-sebagaimana jutaan umat Islam di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, yang sedih luar biasa saat itu-menyaksikan institusi politik Islam global itu diruntuhkan.
Ya, kita pantas prihatin dan bersedih karena ada beberapa alasan:
Pertama, Khilafah adalah institusi politik yang telah di-nubuwwah-kan oleh Rasul saw. sejak 14 abad yang lalu:.
“Dulu Bani Israil selalu dipimpin dan dipelihara urusannya oleh para nabi. Setiap nabi meninggal, nabi lain menggantikannya. Sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku. Akan tetapi, nanti akan ada banyak khalifah.” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Kedua, Khilafahlah yang lebih dari 13 abad mengayomi dan mempersatukan kaum Muslim sedunia, dengan seluruh kemajuan peradabannya, kejayaan institusinya dan kemakmuran warga negaranya. Bahkan kaum Muslim Indonesia pun pernah merasakan perhatian dan kepedulian Khilafah Islam; sesuatu yang tidak banyak diketahui oleh kaum Muslim sendiri di negeri ini.
Namun demikian, tulisan berikut tidak dimaksudkan untuk “meratapi” keruntuhan Khilafah Islam. Tulisan ini lebih ditujukan agar kita tidak mudah melupakan begitu saja sejarah kita sendiri sebagai umat Islam, khususnya di Indonesia, yang diakui atau tidak, banyak diwarnai oleh warna Islam. Bahkan jejak Syariah dan Khilafah Islam di Indonesia sebetulnya bisa ditelusuri dari sejumlah rujukan dan bukti sejarah yang bisa dipertanggungjawabkan.
Awal Masuknya Islam ke Nusantara

Rute masuknya Islam ke Nusantara
Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7. Saat itu sudah ada jalur pelayaran yang ramai dan bersifat internasional melalui Selat Malaka yang menghubungkan Dinasti Tang di Cina, Sriwijaya di Asia Tenggara dan Bani Umayyah di Asia Barat sejak abad ke-7. (Prof. Dr. Uka Tjandrasasmita, dalam Ensiklopedia Tematis Dunia Islam Asia Tenggara, Kedatangan dan Penyebaran Islam, 2002, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, hlm. 9-27).
Sebuah kesultanan Islam bernama Kesultanan Peureulak didirikan pada 1 Muharram 225H atau 12 November tahun 839M. Demikian pula Kerajaan Ternate tahun 1440. Kerajaan Islam lain di Maluku adalah Tidore dan Kerajaan Bacan. Institusi Islam lainnya di Kalimantan adalah Kesultanan Sambas, Pontianak, Banjar, Pasir, Bulungan, Tanjungpura, Mempawah, Sintang dan Kutai. Di Sumatera setidaknya diwakili oleh institusi kesultanan Peureulak, Samudera Pasai, Aceh Darussalam, Palembang. Adapun kesultanan di Jawa antara lain: Kesultanan Demak yang dilanjutkan oleh Kesultanan Jipang, lalu dilanjutkan Kesultanan Pajang dan dilanjutkan oleh Kesultanan Mataram, Cirebon dan Banten. Di Sulawesi, Islam diterapkan dalam institusi Kerajaan Gowa dan Tallo, Bone, Wajo, Soppeng dan Luwu. Di Nusa Tenggara penerapan Islam di sana dilaksanakan dalam institusi Kesultanan Bima. (Ensiklopedia Tematis Dunia Islam: Khilafah dalam bagian “Dunia Islam Bagian Timur”, PT. Ichtiar Baru Vab Hoeve, Jakarta. 2002).
Jejak Penerapan Syariah Islam di Nusantara

Peta Kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara
Seiring perjalanan waktu, hukum-hukum Islam diterapkan secara menyeluruh dan sistemik di Indonesia. A.C Milner mengatakan bahwa Aceh dan Banten adalah kerajaan Islam di Nusantara yang paling ketat melaksanakan hukum Islam sebagai hukum negara pada abad ke-17. Di Banten, hukuman terhadap pencuri dengan memotong tangan bagi pencurian senilai 1 gram emas telah dilakukan pada tahun 1651-1680 M di bawah Sultan Ageng Tirtayasa. Sultan Iskandar Muda pernah menerapkan hukum rajam terhadap putranya sendiri yang bernama Meurah Pupok yang berzina dengan istri seorang perwira. Kerajaan Aceh Darussalam mempunyai UUD Islam bernama Kitab Adat Mahkota Alam. Sultan Alaudin dan Iskandar Muda memerintahkan pelaksanaan kewajiban shalat lima waktu dalam sehari semalam dan ibadah puasa secara ketat. Hukuman dijalankan kepada mereka yang melanggar ketentuan. (Musyrifah Sunanto, 2005).
Kerajaan Demak sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa memiliki jabatan qadi di Kesultanan yang dijabat oleh Sunan Kalijaga. De Graff dan Th Pigeaud mengakui hal ini. Di Kerajaan Mataram pertama kali dilakukan perubahan tata hukum di bawah pengaruh hukum Islam oleh Sultan Agung. Perkara kejahatan yang menjadi urusan peradilan dihukumi menurut kitab Kisas, yaitu kitab undang-undang hukum Islam pada masa Sultan Agung.
Dalam bidang ekonomi Sultan Iskandar Muda mengeluarkan kebijakan pengharaman riba. Menurut Alfian, deureuham adalah mata uang Aceh pertama. Istilah deureuham dari bahasa Arab dirham. Selain itu Kesultanan Samudera Pasai pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Malik az-Zahir (1297/1326) telah mengeluarkan mata uang emas. (Ekonomi Masa Kesultanan; Ensiklopedia Tematis Dunia Islam: Khilafah dalam bagian “Dunia Islam Bagian Timur”, PT. Ichtiar Baru Vab Hoeve, Jakarta. 2002).
Hubungan Nusantara dengan Khilafah Islam

Peta perkembangan wilayah Khilafah Turki Utsmani (indonesia.faithfreedom.org)
Di samping penerapan Syariah Islam, hubungan Nusantara dengan Khilafah Islam pun terjalin. Pada tahun 100 H (718 M) Raja Sriwijaya Jambi yang bernama Srindravarman mengirim surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Khilafah Bani Umayyah. Sang Raja meminta dikirimi dai yang bisa menjelaskan Islam kepadanya. Dua tahun kemudian, yakni tahun 720 M, Raja Srindravarman, yang semula Hindu, masuk Islam. Sriwijaya Jambi pun dikenal dengan nama Sribuza Islam. (Ayzumardi Azra, 2005).
Sebagian pengemban dakwah Islam juga merupakan utusan langsung yang dikirim oleh Khalifah melalui amilnya. Tahun 808H/1404M adalah awal kali ulama utusan Khalifah Muhammad I ke Pulau Jawa (yang kelak dikenal dengan nama Walisongo). Setiap periode ada utusan yang tetap dan ada pula yang diganti. Pengiriman ini dilakukan selama lima periode. (Rahimsyah, Kisah Wali Songo, t.t., Karya Agung Surabaya, hlm. 6).
Bernard Lewis (2004) menyebutkan bahwa pada tahun 1563 penguasa Muslim di Aceh mengirim seorang utusan ke Istanbul untuk meminta bantuan melawan Portugis. Dikirimlah 19 kapal perang dan sejumlah kapal lainnya pengangkut persenjataan dan persediaan; sekalipun hanya satu atau dua kapal yang tiba di Aceh.
Hubungan ini tampak pula dalam penganugerahan gelar-gelar kehormatan. Abdul Qadir dari Kesultanan Banten, misalnya, tahun 1048 H (1638 M) dianugerahi gelar Sultan Abulmafakir Mahmud Abdul Kadir oleh Syarif Zaid, Syarif Makkah saat itu. Pangeran Rangsang dari Kesultanan Mataram memperoleh gelar sultan dari Syarif Makkah tahun 1051 H (1641 M) dengan gelar, Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarami. (Ensiklopedia Tematik Dunia Islam Asia Tenggara, 2002). Bahkan Banten sejak awal memang menganggap dirinya sebagai Kerajaan Islam, dan tentunya termasuk Dar al-Islam yang ada di bawah kepemimpinan Khalifah Turki Utsmani di Istanbul. (Ensiklopedia Tematis Dunia Islam, Struktur Politik dan Ulama: Kesultanan Banten, 2002).
Selain itu, Snouck Hurgrounye, sebagaimana yang dikutip oleh Deliar Noer, mengungkapkan bahwa rakyat kebanyakan pada umumnya di Indonesia, melihat stambol (Istanbul, ibukota Khalifah Usmaniyah) senantiasa sebagai kedudukan seorang raja semua orang Mukmin dan tetap (dipandang) sebagai raja dari segala raja di dunia. (Deliar Noer, 1991).
Dokumen Penting Hubungan Nusantara dengan Khilafah Islam

Peta Kesultanan Aceh Darussalam (abad ke-16)
Sejarah Islam Nusantara saat ini sangat susah mendapatkan bukti otentik bahwa benar adanya bahwa Nusantara adalah wilayah ke Khalifahan Islam. Sangat susah menemukan buku-buku sejarah mengungkap hal ini seolah-olah sengaja menghilangkan fakta ini. Tapi sejarah yang benar pasti akan terungkap. Berikut bukti otentik yang dapat membuktikan hal tersebut. Bukti ini berupa surat resmi dari sultan Aceh Alauddin Mahmud Syah kepada Khalifah Abdul Aziz dari ke-khalifahan Turki Usmani, berikut isi suratnya;
“Sesuai dengan ketentuan adat istiadat kesultanan Aceh yang kami miliki dengan batas-batasnya yang dikenal dan sudah dipunyai oleh moyang kami sejak zaman dahulu serta sudah mewarisi singgasana dari ayah kepada anak dalam keadaan merdeka. Sesudah itu kami diharuskan memperoleh perlindungan Sultan Salim si penakluk dan tunduk kepada pemerintahan Ottoman dan sejak itu kami tetap berada di bawah pemerintahan Yang Mulia dan selalu bernaung di bawah bantuan kemuliaan Yang Mulia almarhum sultan Abdul Majid penguasa kita yang agung, sudah menganugerahkan kepada almarhum moyang kami sultan Alaudddin Mansursyah titah yang agung berisi perintah kekuasaan.
Kami juga mengakui bahwa penguasa Turki yang Agung merupakan penguasa dari semua penguasa Islam dan Turki merupakan penguasa tunggal dan tertinggi bagi bangsa-bangsa yang beragama Islam. Selain kepada Allah SWT, penguasa Turki adalah tempat kami menaruh kepercayaan dan hanya Yang Mulialah penolong kami. Hanya kepada Yang Mulia dan kerajaan Yang Mulialah kami meminta pertolongan rahmat Ilahi, Turkilah tongkat lambang kekuasaan kemenangan Islam untuk hidup kembali dan akhirnya hanya dengan perantaraan Yang Mulialah terdapat keyakinan hidup kembali di seluruh negeri-negeri tempat berkembangnya agama Islam. Tambahan pula kepatuhan kami kepada pemerintahan Ottoman dibuktikan dengan kenyataan, bahwa kami selalu bekerja melaksanakan perintah Yang Mulia. Bendera negeri kami, Bulan Sabit terus bersinar dan tidak serupa dengan bendera manapun dalam kekuasaan pemerintahan Ottoman; ia berkibar melindungi kami di laut dan di darat. Walaupun jarak kita berjauhan dan terdapat kesukaran perhubungan antara negeri kita namun hati kami tetap dekat sehingga kami telah menyetujui untuk mengutus seorang utusan khusus kepada Yang Mulia, yaitu Habib Abdurrahman el Zahir dan kami telah memberitahukan kepada beliau semua rencana dan keinginan kami untuk selamanya menjadi warga Yang Mulia, menjadi milik Yang Mulia dan akan menyampaikan ke seluruh negeri semua peraturan Yang Mulai.
Semoga Yang Mulai dapat mengatur segala sesuatunya sesuai dengan keinginan Yang Mulia. Selain itu kami berjanji akan menyesuaikan diri dengan keinginan siapa saja Yang Mulia utus untuk memerintah kami.
Kami memberi kuasa penuh kepada Habib Abdurrahman untuk bertindak untuk dan atas nama kami.
Yang Mulia dapat bermusyawarah dengan beliau karena kami telah mempercayakan usaha perlindungan demi kepentingan kita.
Semoga harapan kami itu tercapai. Kami yakin, bahwa Pemerintah Yang Mulia Sesungguhnya dapat melaksanakannya dan kami sendiri yakin pula,bahwa Yang Mulia akan selalu bermurah hati”.
Petikan isi surat tersebut dikutip dari Seri Informasi Aceh th.VI No.5 berjudul Surat-surat Lepas Yang Berhubungan Dengan Politik Luar Negeri Kesultanan Aceh Menjelang Perang Belanda di Aceh diterbitkan oleh Pusat Dokumentasi Dan Informasi Aceh tahun 1982 berdasarkan buku referensi dari A. Reid, ”Indonesian Diplomacy a Documentary Study of Atjehnese Foreign Policy in The Reign of Sultan Mahmud 1870-1874”, JMBRAS, vol.42, Pt.1, No.215, hal 80-81 (Terjemahan : R. Azwad).
Poin-poin penting isi surat diatas sebagai berikut :
1. Wilayah Aceh secara resmi menjadi bagian dari ke-Khalifahan Usmani sejak pemerintahan Sultan Salim (Khalifah Turki Usmani yang sangat ditakuti dan disegani sehingga digelas ”sang Penakluk” oleh Eropah abad 15 M.
2. Pengakuan penguasa semua negeri-negeri kaum Muslimin bahwa Turki Usmani adalah penguasa tunggal dunia Islam.
3. Adanya perlindungan dan bantuan militer dari Turki Usmani terhadap Aceh di laut dan di darat. Hal ini wajar karena fungsi Khalifah adalah laksana perisai pelindung ummat di setiap wilayah Islam.
4. Hukum yang berlaku di Aceh adalah hukum yang sama dilaksanakan di Turki Usmani yaitu hukum Islam.
Dari isi surat dapat disimpulkan bahwa kesultanan Aceh di Sumatera adalah bagian resmi wilayah kekuasaan ke khalifahan Islam Turki Usmani tidak terbantahkan lagi. Hal sama juga berlaku untuk daerah-daerah lain di Nusantara dimana kesultanan Islam berdiri.
Penjajah Belanda Menghapuskan Jejak Penerapan Syariah Islam di Indonesia
Pada masa penjajahan, Belanda berupaya menghapuskan penerapan syariah Islam oleh hampir seluruh kesultanan Islam di Indonesia. Salah satu langkah penting yang dilakukan Belanda adalah menyusupkan pemikiran dan politik sekular melalui Snouck Hurgronye. Dia menyatakan dengan tegas bahwa musuh kolonialisme bukanlah Islam sebagai agama. (H. Aqib Suminto, 1986).
Dari pandangan Snouck tersebut penjajah Belanda kemudian berupaya melemahkan dan menghancurkan Islam dengan 3 cara,yaitu:
Pertama: memberangus politik dan institusi politik/pemerintahan Islam. Dihapuslah kesultanan Islam. Contohnya adalah Banten. Sejak Belanda menguasai Batavia, Kesultanan Islam Banten langsung diserang dan dihancurkan. Seluruh penerapan Islam dicabut, lalu diganti dengan peraturan kolonial.
Kedua: melalui kerjasama raja/sultan dengan penjajah Belanda. Hal ini tampak di Kerajaan Islam Demak. Pelaksanaan syariah Islam bergantung pada sikap sultannya. Di Kerajaan Mataram, misalnya, penerapan Islam mulai menurun sejak Kerajaan Mataram dipimpin Amangkurat I yang bekerjasama dengan Belanda.
Ketiga: dengan menyebar para orientalis yang dipelihara oleh pemerintah penjajah. Pemerintah Belanda membuat Kantoor voor Inlandsche zaken yang lebih terkenal dengan kantor agama (penasihat pemerintah dalam masalah pribumi). Kantor ini bertugas membuat ordonansi (UU) yang mengebiri dan menghancurkan Islam. Salah satu pimpinannya adalah Snouck Hurgronye. Dikeluarkanlah: Ordonansi Peradilan Agama tahun 1882, yang dimaksudkan agar politik tidak mencampuri urusan agama (sekularisasi); Ordonansi Pendidikan, yang menempatkan Islam sebagai saingan yang harus dihadapi; Ordonansi Guru tahun 1905 yang mewajibkan setiap guru agama Islam memiliki izin; Ordonansi Sekolah Liar tahun 1880 dan 1923, yang merupakan percobaan untuk membunuh sekolah-sekolah Islam. Sekolah Islam didudukkan sebagai sekolah liar. (H. Aqib Suminto, 1986).
Demikianlah, syariah Islam mulai diganti oleh penjajah Belanda dengan hukum-hukum sekular. Hukum-hukum sekular ini terus berlangsung hingga sekarang. Walhasil, tidak salah jika dikatakan bahwa hukum-hukum yang berlaku di negeri ini saat ini merupakan warisan dari penjajah; sesuatu yang justru seharusnya dienyahkan oleh kaum Muslim, sebagaimana mereka dulu berhasil mengenyahkan sang penjajah: Belanda.
Perjuangan Tak Pernah Padam
Meski penjajah Belanda menuai sukses besar dalam menghapus syariah Islam di bumi Nusantara, umat Islam di negeri ini tidak pernah diam. Perjuangan untuk menegakkan kembali syariah Islam terus dilakukan. Pada tanggal 16 Oktober 1905 berdirilah Sarekat Islam, yang sebelumnya adalah Sarekat Dagang Islam. Inilah mestinya tonggak kebangkitan Indonesia, bukan Budi Utomo yang berdiri 1908 dengan digerakkan oleh para didikan Belanda. KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah tahun 1912 dengan melakukan gerakan sosial dan pendidikan. Adapun Taman Siswa, baru didirikan Ki Hajar Dewantara pada 1922. Sejatinya, KH Ahmad Dahlanlah sebagai bapak pendidikan. (H. Endang Saefuddin Anshari, 1983).
Pada saat Pemilu yang pertama tahun 1955, Masyumi adalah partai Islam pertama dan terbesar yang jelas-jelas memperjuangkan tegaknya syariah Islam di Indonesia. Lahirnya Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945 adalah salah satu puncak dari perjuangan umat Islam dalam menegakkan syariah Islam di Indonesia.
Lebih dari itu, sejarah perjuangan Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari agenda Khilafah Islam. Setelah institusi Khilafah Islam Ustmaniyah dibubarkan pada 3 Maret 1924, ulama dan tokoh pergerakan Islam Indonesia meresponnya dengan pembentukan Komite Khilafah yang didirikan di Surabaya pada 4 Oktober 1924, dengan ketua Wondosudirdjo (Sarikat Islam) dan wakilnya KH A. Wahab Hasbullah (lihat: Bendera Islam, 16 Oktober 1924). Kongres ini memutuskan untuk mengirim delegasi ke Kongres Khilafah ke Kairo yang terdiri dari Surjopranoto (Sarikat Islam), Haji Fachruddin (Muhammadiyah), dan KH. A. Wahab dari kalangan tradisi. (Hindia Baroe, 9 Januari 1925). KH A. Wahab kemudian dikenal sebagai salah satu pendiri ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdhatul Ulama.
Semua bukti sejarah ini menunjukkan kepalsuan tuduhan berbagai pihak-yang menolak penerapan Syariah Islam dan Khilafah – bahwa Indonesia tidak pernah mengenal formalisasi syariah Islam oleh negara, apalagi Khilafah -. Wallohu ‘alam.