(Oleh: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA)
Tersebarnya hadits-hadits palsu di tengah kaum Muslimin termasuk musibah besar yang akan merusak agama dan keyakinan umat. Karena mayoritas hadits tersebut mengandung perkara yang sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang lurus, bahkan di antaranya ada yang jelas-jelas berisi kekufuran kepada Allâh Ta'âla.[1]
Kerusakan yang ditimbulkan hadits-hadits palsu menjadi lebih parah lagi dikarenakan kebodohan mayoritas umat Islam terhadap agama mereka, sehingga mudah terpengaruh dan menerima semua ucapan yang dinisbatkan (disandarkan/berasal dari) kepada Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam yang sampai ke telinga mereka, tanpa berusaha mencari kejelasan tentang mana hadits yang shahîh dan mana yang lemah, bahkan palsu.
Tentu saja, kondisi ini akan berakibat fatal, karena nantinya kerusakan yang terdapat pada hadits-hadits palsu tersebut akan diterima dan diyakini oleh mereka sebagai kebenaran. Oleh karena itulah, para ulama Ahli Hadits dari dulu sampai sekarang, selalu berusaha menjelaskan kedudukan hadits-hadits yang tersebar di kalangan kaum Muslimin (benar atau tidaknya penisbatan hadits-hadits tersebut kepada Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam) sebagai pembelaan terhadap Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam, sekaligus juga menjadi bukti penjagaan Allâh Ta'âla terhadap kemurnian syariat Islam sampai di akhir zaman.
Allâh Ta'âla berfirman:
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al- Qur’an,
dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjaganya
(QS al-Hijr/15:9)[2]
Penjagaan terhadap al-Qur`ân dalam ayat ini mencakup penjagaan terhadap hadits-hadits Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam, karena Allâh Ta'âla menjaga kemurnian al-Qur`ân pada lafazh (teks) dan kandungan maknanya[3], sedangkan kandungan makna al-Qur`ân yang benar dijelaskan dalam hadits-hadits yang shahîh dari Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam, sebagaimana firman Allâh Ta'âla :
Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur`ân,
agar kamu menjelaskan kepada umat manusia
(kandungan makna al-Qur’an) yang telah diturunkan kepada mereka,
supaya mereka memikirkan
(QS. an-Nahl/16: 44)
Imam Ahmad bin Hambal rahimahullâh berkata,
“Sunnah (hadits-hadits Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam ) adalah penjabar dan penjelas makna al-Qur`ân”[4].
Imam Muhammad bin Ibrâhîm al-Wazîr rahimahullâh, ketika menjelaskan makna ayat di atas, beliau berkata:
“Firman Allâh Ta'âla ini mengandung pengertian bahwa syariat (yang dibawa oleh) Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam akan selalu terjaga dan sunnah (hadits-hadits) beliau n akan senantiasa terpelihara”[5].
Dari situ, Imam Besar penghafal hadits Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam dari kalangan Atbâ’ut Tâbi’în yang terkenal, ‘Abdullâh bin Mubârak rahimahullâh, ketika beliau ditanya tentang banyaknya hadits-hadits palsu yang tersebar, beliau menjawab:
“Para Ulama yang menekuni hadits Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam (telah mencurahkan) hidup mereka untuk (meneliti dan menjelaskan) hadits-hadits tersebut”. Kemudian beliau membaca ayat di atas[6].
Para Ulama tersebut melakukan semua itu dalam rangka melaksanakan kewajiban menasehati kaum Muslimin agar menjauhi segala keburukan yang akan merusak agama mereka, juga untuk tidak ikut serta dalam menyebarkan hadits-hadits yang tidak benar penisbatannya kepada Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam. Perbuatan ini termasuk perbuatan dosa yang paling besar di sisi Allâh Ta'âla, karena mengandung unsur berdusta atas nama Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam.
Berdusta atas nama beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam, tidak sama dengan berdusta atas nama orang selain beliau, sebagaimana sabda beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam:
“Sesungguhnya berdusta atas (nama)ku tidak sama dengan berdusta atas (nama) orang lain. Barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja maka hendaknya dia menempati tempat duduknya di neraka”[7].
Berdusta atas nama Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam berarti berdusta atas nama Allâh Ta'âla dan menetapkan ketentuan syariat yang tidak diizinkan oleh Allâh Ta'âla.
Allâh Ta'âla berfirman:
Apakah mereka mempunyai sekutu-sekutu (selain Allâh)
yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allâh?
(QS. asy-Syûrâ/42: 21)
Imam as-Sakhâwi rahimahullâh berkata:
“Sesungguhnya berdusta atas (nama) Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam tidak sama dengan berdusta atas (nama) orang selain beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam. Sehingga para ulama (ahli hadits) yang memiliki ilmu yang mendalam telah bersepakat (mengatakan) bahwa berdusta atas (nama) Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam termasuk perbuatan dosa yang paling besar. Beberapa imam dan ulama besar Islam menyatakan dengan tegas bahwa orang yang melakukan perbuatan ini tidak diterima taubatnya. Bahkan Syaikh Abu Muhammad al-Juwaini rahimahullâh (berpendapat) sangat keras (dalam masalah ini) sehingga beliau mengkafirkan orang yang melakukan perbuatan ini serta memperingatkan (dengan keras) akan fitnah dan bahayanya”[8].
Ancaman dalam hadits di atas juga berlaku bagi orang yang selalu menukil dan menyebarkan semua hadits yang dinisbatkan kepada Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam tanpa berusaha mencari kejelasan makna hadits yang benar dan mana yang tidak benar, karena tentu saja tidak semua hadits yang didengar atau dibacanya shahîh (benar penisbatannya kepada Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam). Bahkan tidak tertutup kemungkinan banyak di antaranya yang lemah atau palsu.
Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam mengisyaratkan hal ini dalam sabda beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam :
“Cukuplah seseorang (dinilai) berdusta
jika dia menceritakan semua yang didengarnya “ [9] [10]
Oleh karena itu, Imam Ibnu Hibbân al-Busti rahimahullâh dalam kitab Shahih Ibnu Hibbân[11] mencantumkan pasal khusus untuk menjelaskan makna ancaman dalam hadits di atas, yaitu “Pasal: penjelasan (tentang) ancaman masuk neraka bagi orang yang menisbatkan suatu (perkataan) kepada Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam padahal dia tidak mengetahui keshahîhan (benarnya penisbatan) hadits tersebut”.
Kemudian Imam Ibnu Hibbân rahimahullâh membawakan hadits Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam dengan sanadnya, dari Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu bahwa Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa yang berkata atas (nama) ku
(dengan) sesuatu yang tidak pernah aku ucapkan,
maka hendaknya dia menempati tempat duduknya di neraka”.
Menurut Syaikh al-Albâni hadits ini berderajat hasan [12]. Setelah itu, beliau juga membawakan hadits Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam dengan sanad beliau, dari Samurah bin Jundub radhiyallâhu'anhu bahwa Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa yang menyampaikan sebuah hadits dariku
yang telah diketahui bahwa hadits tersebut adalah dusta,
maka dia adalah salah seorang dari dua pendusta”.
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam muqaddimah Shahîh Muslim (1/7).
Faktor-faktor yang kami sebutkan di atas menjadi pendorong kami untuk berperan serta dalam rubrik baru tentang hadits-hadits palsu yang tersebar di masyarakat. Kami sertakan juga penjelasan ringkas tentang perawi yang tertuduh memalsukan hadits tersebut, nukilan dari para ulama ahli hadits yang menghukuminya sebagai hadits palsu, dan keburukan yang dikandung dalam makna hadits tersebut. Kami berharap semoga menjadi nasehat bagi kaum Muslimin agar mereka hanya mengambil pemahaman agama Islam yang lurus dari sumber yang dijamin kemurniannya, yaitu al-Qur`ân dan hadits-hadits yang shahîh dari Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam dengan pemahaman yang benar dari penjelasan para Ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah. Wallâhu a’lam.
Hadits Palsu (1)
نِـيَّةُ الْـمُؤْمِـنِ خَيْرٌ مِنْ عَمَلِهِ وَنِـيَّةُ الْفَاجِرِ شَرٌّ مِنْ عَمَلِهِ
Niat orang Mukmin lebih baik dari amal perbuatannya
dan niat orang yang rusak (imannya) lebih buruk dari amal perbuatannya
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam al-Qudha’i rahimahullâh dalam Musnad asy-Syihâb no. 141 dengan sanadnya dari Nawwâs bin Sam’ân radhiyallâhu'anhu dari Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam. Ini adalah hadits palsu. Pada sanadnya, ada perawi yang bernama ‘Utsmân bin ‘Abdillâh asy- Syâmi.
Imam Ibnu ‘Adi rahimahullâh berkata tentangnya,
“Dia meriwayatkan hadits-hadits palsu dari perawi-perawi terpercaya”.
Imam ad-Dâruquthni rahimahullâh berkata:
“Haditsnya (riwayat orang ini) ditinggalkan, dia membuat hadits-hadits batil (palsu) dari syaikh-syaikh yang terpercaya”[13].
Hadist ini dihukumi sebagai hadits palsu oleh Syaikh al-Albâni rahimahullâh[14]. Hadits yang semakna dengan hadits di atas juga diriwayatkan dari beberapa Sahabat lainnya, akan tetapi semua riwayat tersebut lemah, bahkan sebagiannya sangat lemah, sehingga tidak mungkin dinisbatkan kepada
Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam [15].
Hadits Palsu (2)
حَمْلُ الْعَصَا عَلَامَةُ الْـمُؤْمِنِ وَسُنَّةُ الْأَنْبِيَاءِ
Membawa tongkat adalah ciri orang yang beriman dan sunnah para Nabi
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Abu Syujâ ad-Dailami dalam Musnadul Firdaus (2/97 –Zahrul Firdaus) dengan sanadnya dari Anas bin Mâlik dari Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam. Hadits ini palsu. Sebab pada sanadnya terdapat perawi yang bernama Yahya bin Hâsyim al-Ghassâni. Orang ini divonis sebagai pendusta oleh Imam Yahya bin Ma’în[16]. Imam Ibnu ‘Adi rahimahullâh berkata,
“Dia suka memalsukan dan mencuri hadits”[17].
Hadits ini dihukumi sebagai hadits palsu oleh Imam al-Munâwi[18] dan Syaikh al-Albâni.[19]
[1] Lihat Silsilatul Ahâdîtsi adh-Dha’îfati wal Maudhû’ah 1/47
[2] Lihat keterangan Imam Ibnul Jauzi dalam al-Maudhû’ât 1/31
[3] Taisîrul Karîmir Rahmân hlm. 429
[4] Ushûlus Sunnah hlm. 2
[5] Ar-Raudhul Bâsim hlm. 33
[6] Dinukil Imam Ibnul Jauzi rahimahullâh dalam al-Maudhû’ât 1/46 dan as-Suyûthi dalam Tadrîbur Râwi 1/282
[7] HR. al-Bukhâri (no. 1229) dan Muslim no. 4
[8] Al-Maqâshidul Hasanah hlm. 36
[9] HR. Muslim no. 5
[10] Lihat keterangan Syaikh al-Albâni rahimahullâh dalam Silsilatul
Ahâdîtsi adh-Dha’îfati wal Maudhû’ah 1/49
[11] Al-Ihsân 1/210
[12] Silsilatul Ahâdîtsi adh-Dha’îfati wal Maudhû’ah 1/50
[13] Lisânul Mîzân 4/143-145
[14] Silsilatul Ahâdîtsi adh-Dha’îfati wal Maudhû’ah no. 2789
[15] Silsilatul Ahâdîtsi adh-Dha’îfati wal Maudhû’ah 6/303-305 dan
5/244-245
[16] Dinukil oleh Imam adz-Dzahabi dalam Mîzânul I’tidâl 7/224
[17] Al-Kâmil fi Dhu’âfâi ar-Rij âl 7/251
[18] Faidhul Qadîr 3/397
[19] Lihat Silsilatul Ahâdîtsi adh-Dha’îfati wal Maudhû’ah no. 535
(Majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XV)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar