Jumat, 11 Desember 2015

Kewajiban Menegakkan Kekuasaan dan Kepemimpinan Islam



Kewajiban Menegakkan Kekuasaan dan Kepemimpinan Islam

Oleh: Badrul Tamam         

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah yang diutus sebagai rahmat bagi semesta alam, Nabi kita Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam, beserta keluarga dan para sahabatnya.

Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memerintahkan kepada kita, kaum muslimin untuk bersatu dan melarang kita berpecah belah. Allah Ta'ala berfirman:

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا

"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai." (QS. Ali Imran: 103)

وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُوا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ

"Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." (QS. Al-Anfal: 46)

Bahkan kewajiban bersatu yang diperintahkan Islam kaum kepada muslimin sangat berkaitan erat dengan perintah-perintah dalam Islam itu sendiri yang wajib mereka tegakkan dan jalankan. Sementara persatuan tidak bisa tegak kecuali dengan adanya kepeminpinan. Kaum muslimin wajib mengangkat salah seorang dari mereka untuk memimpin mereka dan mengatur kehidupan mereka untuk menjalankan syariat agama mereka. Karena itulah kewajiban menegakkan kekuasaan dan kepemimpinan Islam termasuk kewajiban agama. Di mana kemashalatan manusia berkaitan dengan agama dan dunianya tidak akan terealisir kecuali dengannya.

Dari Umar bin Khathab Radhiyallahu 'Anhu berkata, "Sesungguhnya tidak ada Islam kecuali dengan jama'ah, tidak ada jama'ah kecuali dengan imarah, dan tidak ada imarah kecuali dengan ketaatan. Maka siapa yang diangkat menjadi pemimpin oleh kaumnya karena keilmuan dan agamanya, maka itu menjadi kehidupan baginya dan kaumnya. Dan barangsiapa yang diangkat oleh kaumnya menjadi pemimpin atas pertimbangan selain itu, maka itu menjadi kehancuran baginya dan kaumnya." (Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Abdil Barr dari Tamim al-Daari dalam Jami-u bayanil Ilmi wa Fadhlihi 1/63, juga Ad Darimi dengan sanad lemah).

Kaum muslimin wajib mengangkat salah seorang dari mereka untuk memimpin mereka dan mengatur kehidupan mereka untuk menjalankan syariat agama mereka.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: Harus diketahui bahwa mengatur urusan manusia termasuk kewajiban dien yang paling agung, bahkan dien dan dunia tidak akan tegak tanpa adanya kepemimpinan. Dan sesungguhnya kemaslahatan Bani Adam (manusia) tidak akan sempurna kecuali dengan berkumpul di antara mereka, karena satu sama lain saling membutuhkan. Dan saat mereka berkumpul haruslah memiliki pemimpin sehingga NabiShallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: "Apabila tiga orang melakukan perjalanan hendaknya mereka mengangkat salah seorangnya menjadi pemimpin." (HR. Abu Dawud dari hadits Abu Sa'id dan Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhuma)

Imam Ahmad meriwayatkan dalam al-Musnad, dari Abdullah bin Amr, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: "Tidak halal bagi tiga orang yang berada di tanah gurun, kecuali mereka mengangkat salah satunya menjadi amir (pemimpin) atas mereka."

Maka beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam mewajibkan mengangkat seorang pemimpin dalam sebuah perkumpulan paling kecil (3 orang) dan paling sebentar dalam perjalanan, untuk mengingatkan wajibnya mengangkat pemimpin untuk seluruh perkumpulan lainnya." (Dari perkataan Ibnu Taimiyah dalam al-Siyasah al-Syar'iyyah)

Beliau rahimahullah melanjutkan: Dan karena Allah Ta'ala telah mewajibkan amar ma'ruf dan nahi munkar, dan semua itu tidak bisa sempurna kecuali dengan kekuatan dan kepemimpinan (kekuasaan), seperti itu juga semua yang telah Dia wajibkan berupa jihad, keadilan, menegakkan haji, perkumpulan, shalat Ied, dan menolong orang yang terdzalimi, serta menegakkan hudud; yang semua itu tidak bisa sempurna kecuali dengan kekuatan dan keamiran. Karena inilah diriwayatkan, "Bahwa sultan (pemimpin) adalah naungan Allah di bumi." Dan dikatakan: "Enam puluh tahun bersama pemimpin jahat lebih baik daripada satu malam tanpa pemimpin"." (Perkataan Ibnu Taimiyah dalam al-Siyasah al-Syar'iyyah)

Karena itulah kewajiban menegakkan kekuasaan dan kepemimpinan Islam termasuk kewajiban agama. Di mana kemashalatan manusia berkaitan dengan agama dan dunianya tidak akan terealisir kecuali dengannya.

Maka yang wajib adalah menjadikan kepemimpinan sebagai sebuah dien (ajaran dien), qurbah (sarana mendekatkan diri kepada Allah), karena mendekatkan diri kepada Allah dalam kepemimpinan dengan mentaati Allah dan Rasul-Nya merupakan bentuk mendekatkan diri yang paling utama. Karena itulah DR. Abdullah al-Mushlih dan DR. Shalah Shawi dalam Maa Yasa' al-Muslima Jahluhu menulis:

"Kita meyakini bahwa kepemimpinan agung (khilafah) termasuk bagian terbesar dari tujuan dan kewajiban yang ingin diwujudkan oleh agama. Khilafah berfungsi sebagai pengganti peran kenabian dalam menjaga dien ini dan mengatur dunia. Dan orang Islam belum lepas dari tanggungjawab ini sehingga kalimat mereka bersatu untuk mengangkat seorang imam yang mengatur mereka dengan Kitabullah (Syariat Islam)." Hal ini didasarkan kepada firman Allah Ta'ala:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا

"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya." (QS. Al-Nisa': 58) Konteks ayat ini, bahwa khitab dalam ayat tersebut bersifat umum yang mengharuskan untuk melaksanakan beragam amanat, di antaranya amanat hukum. Umat Islam berkewajiban melaksanakan amanat ini kepada ahlinya dan menyerahkanya kepada siapa yang akan menegakkannya dengan benar.

Isyarat ini juga terdapat pada sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, "Tidak halal bagi tiga orang yang berada di tanah gurun, kecuali mereka mengangkat salah satunya menjadi amir (pemimpin) atas mereka." (HR. Ahmad)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mewajibkan untuk mengangkat seorang amir dalam sebuah perkumpulan kecil yang bersifat temporer pada waktu bepergian untuk mengingatkan kita akan semua jenis perkumpulan. Apabila terhadap tiga orang yang berada di suatu gurun saja disyariatkan, tentunya terhadap jumlah yang lebih besar yang mereka tinggal di kampung-kampung dan kota-kota yang sangat membutuhkan seseorang untuk melindungi mereka dari berbagai kedzaliman adalah lebih disyariatkan lagi.

Dalil yang paling kuat dalam pembicaraan ini adalah dalil ijma'. Para sahabat sesudah wafatnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berijma' atas wajibnya imamah (kekhilafahan) dan merekapun bersegera untuk mengakkan kewajiban ini. Mereka lebih mengutamakan masalah ini atas pemakaman Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang dianggap masalah paling urgen saat itu. Sehingga Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata, "Tidak ada khilaf di tengah-tengah umat dan ulama dalam hal itu (kewajiban imamah), kecuali yang diriwayatkan dari Al-Asham, yang memang Asham (tuli) dari syariat."

Dalil lain tentang kewajban imamah adalah banyaknya kewajiban-kewajiban syariat yang tidak bisa direalisasikan tanpa adanya pemerintahan Islam, seperti menegakkan hudud dan mengimplementasikan hukum-hukum Islam, menjaga perbatasan, menyiapkan dan mengirim pasukan, menjaga keamanan, mengangkat hakim dan lainnya. Mana saja kewajiban tidak bisa sempurna kecuali dengan keberadaannya, maka iapun menjadi wajib. Terlebih, dari sisi urgensinya untuk mencegah bahaya besar yang terjadi di tengah-tengah kesemprawutan dan vakumnya pemerintah Islam, maka perintah mewujudkan kepemimpinan Islam menjadi sangat wajib. Mewujudkannya menjadi tuntutan syariat yang sangat urgen. Karenanya, tidak ada alasan untuk meninggalkannya dan meremehkan kewajiban ini.

Imam Ali radliyallahu 'anhu berkata, "Manusia harus memiliki pemimpin, yang baik maupun jahat." Mereka berkata, "Wahai Amirul Mukminin, yang baik kami telah tahu, tapi bagaimana dengan yang jahat?" Beliau menjawab, "(Dengannya) hudud bisa ditegakkan, jalan-jalan menjadi aman, musuh bisa diperangi, dan fa'i bisa dibagi." (Selesai dari Maa Laa Yasa' al-Muslima Jahluhu)

Banyak kewajiban-kewajiban syariat yang tidak bisa direalisasikan tanpa adanya pemerintahan Islam, seperti menegakkan hudud dan mengimplementasikan hukum-hukum Islam, menjaga perbatasan, menyiapkan dan mengirim pasukan, menjaga keamanan, mengangkat hakim dan lainnya.

Mana saja kewajiban tidak bisa sempurna kecuali dengan keberadaannya, maka iapun menjadi wajib.

Siapa Pemimpin Tersebut?

Para pemimpin Islam yang wajib ditegakkan kaum muslimin adalah pemimpin yang menegakkan Al-Qur'an dan Sunnah, dan menerapkan syariat Islam dalam mengatur rakyatnya. Yang karena itulah mereka mendapatkan hak besar untuk didengar dan ditaati rakyatnya, di mana rakyat tidak boleh menentang dengan senjata dan memberontak terhadapnya, walaupun dia itu banyak berbuat maksiat, dzalim, dan fasik selain kekufuran. (Lihat: Al-Wajiz: Intisari aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Abdullah bin Abdul Hamid al-Atsari: 192-193)

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: "Engkau dengarkan dan taati pemimpinmu, walaupun punggungmu dipukul dan hartamu dirampas, maka dengarkan dan taatilah." (HR. Muslim no. 1847)

Dalam sabdanya yang lain, "Siapa yang benci kepada suatu (tindakan) pemimpinnya, maka hendaknya ia bersabar. Karena sesungguhnya tiada seorangpun dari manusia yang keluar sejengkal saja dari pemimpinnya kemudian ia mati dalam keadaan demikian melainkan ia mati dalam keadaan jahiliyah." (HR. Muslim no.1894)

Dalam riwayat Muslim lainnya (no. 1855), "Dan jika kalian melihat dari pemimpin kalian sesuatu yang tidak kalian sukai, maka bencilah perbuatannya (saja), dan janganlah keluar dari ketaatan kepadanya."

Syaikhul Islam berkata: Orang yang memberontak kepada pemimpin pasti menimbulkan kerusakan yang lebih besar daripada kebaikan akibat perbuatannya." (Minhajus Sunnah, dinukil dari catatan kaki al-Wajiz: 194)

Kemudian beliau mengatakan, "Adapun pemimpin yang tidak mengindahkan syariat Allah Ta'ala dan tidak berhukum dengannya, bahkan berhukum dengan selainnya, maka dia telah keluar dari cakupan ketaatan kaum muslimin. Yakni tidak ada lagi kewajiban untuk taat kepadanya." (Minhajus Sunnah: I/146, dinukil dari Al-Wajiz: 194)

Adapun pemimpin yang tidak mengindahkan syariat Allah Ta'ala dan tidak berhukum dengannya, bahkan berhukum dengan selainnya, maka dia telah keluar dari cakupan ketaatan kaum muslimin. Yakni tidak ada lagi kewajiban untuk taat kepadanya.(Ibnu Taimiyah)

Kenapa Pemimpin Seperti Itu Tidak Wajib Lagi Mendapatkan Ketaatan Dari Kaum Muslimin?

Hal tersebut karena dia telah menyia-nyiakan maksud tujuan kepemimpinannya yang untuk itulah dia diangkat dan mempunyai hak untuk didengar ucapannya dan ditaati perintahnya serta tidak boleh keluar dari pemerintahan yang sah. Karena seorang penguasa tidak berhak mendapatkan itu semua melainkan karena dia mengerjakan urusan-urusan kaum muslimin, menjaga agama dan menyebarkannya, menegakkan hukum dan memperkokoh tempat yang dikhawatirkan mendapat serangan musuh, menumpas orang yang menentang Islam setelah didakwahi, memberikan loyalitasnya kepada kaum muslimin dan memusuhi musuh-musuh agama. Jika dia tidak menjaga agama atau tidak melaksanakan urusan kaum muslimin, maka berarti hilanglah hak kepemimpinannya, dan wajib bagi rakyat –melalui Ahlul Halli Wal 'Aqdi berhak melakukan penilaian dalam masalah tersebut- untuk menurunkan jabatannya dan mengangkat orang lain yang mampu merealisasikan tujuan pemerintahan.

Maka Ahlus Sunnah Wal Jama'ah tidak memperbolehkan keluar dari para pemimpin hanya karena disebabkan kezaliman dan kefasikannya saja –karena kefajiran dan kezaliman tidak berarti mereka menyia-nyiakan agama-, tapi masih berhukum dengan syariat Allah. Karena Salafush Shalih tidak mengenal suatu keamiran (kepemimpinan) yang tidak menjaga agama, maka ini menurut pandangan mereka tidak disebut keamiran. Akan tetapi yang dinamakan keamiran itu adalah yang menegakkan agama. Kemudian setelah itu terjadi keamiran yang baik atau keamiran yang fajir. Imam Ali radliyallahu 'anhu berkata, "Manusia harus memiliki pemimpin, yang baik maupun jahat." Mereka berkata, "Wahai Amirul Mukminin, yang baik kami telah tahu, tapi bagaimana dengan yang jahat?" Beliau menjawab, "(Dengannya) hudud bisa ditegakkan, jalan-jalan menjadi aman, musuh bisa diperangi, dan fa'i bisa dibagi." (Dari Kitab Minhajus Sunnah, Ibnu Taimiyah: I/146, dinukil dari Al-Wajiz, Abdullah bin Abdul Hamid al-Atsari: 194-195)

[PurWD/voa-islam.com]

Kamis, 19 November 2015

Dosa Syirik Tidak Diampuni



Yang dianggap masalah besar saat ini adalah jika ada yang melakukan korupsi sampai milyaran rupiah. Jika ada seseorang percaya pada ramalan bintang; meyakini ampuhnya pelet dan jimat; meyakini bahwa jika ingin do’a mudah dikabulkan, maka bertawasullah kepada wali atau pak kyai yang telah, nanti mereka yang menyampaikan do’a pada Allah; hal-hal ini dianggap sebagai perkara biasa dibanding yang penulis ungkapkan di awal. Tidak ada yang takuti, tidak ada yang merasa khawatir. Bahkan banyak yang tidak tahu kalau hal-hal tersebut termasuk syirik. Padahal di sisi Allah, jika dosa syirik tidak ditaubati sebelum mati, maka dosa tersebut tidak akan diampuni. Hal ini beda halnya dengan seseorang melakukan dosa di bawah kesyirikan seperti korupsi, zina dan minum minuman keras.
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. An Nisa’: 48).
Dosa Syirik yang Dibawa Mati
Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya berkata, “Allah Ta’ala tidak akan mengampuni dosa syirik yaitu ketika seorang hamba bertemu Allah dalam keadaan berbuat syirik.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, terbitan Dar Ibnul Jauzi, 3: 129).
Maksud ayat ini kata Ibnul Jauzi yaitu Allah tidak akan mengampuni pelaku syirik (musyrik) yang ia mati dalam kesyirikan (Lihat Zaadul Masiir, 2: 103). Ini berarti jika sebelum meninggal dunia, ia sudah bertaubat dan menyesali kesyirikan yang ia perbuat, maka ia selamat.
Yang dimaksud dengan “mengampuni” dalam ayat di atas bermakna, Allah akan menutupi dan memaafkan. Jika dikatakan bahwa Allah tidak akan mengampuni dosa syirik berarti Allah tidak akan memaafkan dan menutupi orang yang berbuat syirik pada-Nya. Syirik yang dimaksudkan di sini adalah syirik dalam rububiyah, uluhiyah, dan asma’ wa shifat. Karena mentauhidkan Allah adalah seutama-utamanya kewajiban. Sehingga jika ada yang berbuat syirik (sebagai lawan dari tauhid), maka Allah tidak akan mengampuninya berbeda dengan perbuatan maksiat lainnya yang berada di bawah syirik atau selain syirik.
Yang termasuk bentuk syirik:
1- Jika ada yang meyakini bahwa penguasa langit adalah Allah dan penguasa bumi adalah selain Allah, atau meyakini bahwa penguasa langit adalah berserikat antara Allah dan makhluk, atau meyakini bahwa Allah itu memiliki penolong dalam penciptaan langit dan bumi, maka ia musyrik. Ini syirik dalam rububiyah.
2- Sujud kepada selain Allah, nadzar kepada selain Allah, menyembelih tumbal pada selain Allah, beribadah hanya untuk cari muka atau pujian (riya’), maka itu termasuk syirik. Riya’ termasuk syirik sebagaimana tekstual hadits. Ini syirik dalam uluhiyah.
3- Meyakini bahwa ada yang semisal Allah dalam nama dan sifat, atau mengatakan bahwa menetapnya Allah di atas ‘Arsy seperti menetapnya makhluk di atas ranjang, atau mengatakan bahwa turunnya Allah ke langit dunia seperti turunnya makhluk, maka ini pun syirik. Demikian keterangan dari Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah dalam Tafsir Surat An Nisa’, 1: 387 yang penulis sarikan.
Dosa Di Bawah Syirik
Pada firman Allah,
وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
Dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya”. Ayat ini dapat bermakna bahwa Allah mengampuni dosa selain syirik atau di bawah syirik.
Kalau seandainya ayat tersebut ditafsirkan dengan “selain syirik”, maka kufur juhud (karena penentangan), misalnya karena menentang wajibnya shalat tidak termasuk syirik, maka diampuni. Padahal dosa kufur juhud tersebut sejajar syirik. Atau kufur juhud lainnya seperti meyakini bahwa Allah tidak mengutus Rasul Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika ditafsirikan ‘selain syirik’ berarti juga diampuni. Padahal pemahaman ayat tidaklah demikian. Sehingga lebih tepat, kita artikan dengan “di bawah syirik”, makna lengkapnya: “Dan Allah mengampuni segala dosa di bawah syirik, bagi siapa yang dikehendaki-Nya”. Ini berarti dosa-dosa yang sejajar syirik seperti kufur juhud sama-sama tidak diampuni jika dibawa mati. Sedangkan dosa di bawah syirik seperti zina, minum khomr, maka masih di bawah masyi’ah yaitu kehendak Allah. Jika Allah menghendaki, maka akan dimaafkan. Jika Allah menghendaki, maka akan disiksa. Lihat keterangan Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin dalam Tafsir Surat An Nisa’, 1: 388-389.
Takutlah pada Syirik
Syaikh ‘Abdurrahman bin Qosim rahimahullah berkata, “Jika seseorang mati dalam keadaan berbuat syirik tidak akan diampuni, maka tentu saja ini menunjukkan bahwa kita mesti sangat khawatir terhadap syirik karena begitu besarnya dosa tersebut di sisi Allah.  (Hasyiyah Kitab Tauhid, hal. 48).
Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh rahimahullah berkata, “Syirik adalah dosa yang amat besar karena Allah sampai mengatakan bahwa Dia tidak akan mengampuninya bagi siapa yang tidak bertaubat dari dosa syirik tersebut. Sedangkan dosa di bawah syirik, maka itu masih di bawah kehendak Allah. Jika Allah kehendaki ketika ia berjumpa dengan Allah,  maka bisa diampuni. Jika tidak, maka ia akan disiksa. Jika demikian seharusnya seseorang begitu takut terhadap syirik karena besarnya dosa tersebut di sisi Allah.” (Fathul Majid, hal. 85).
Ayat yang kita kaji berisi ajaran penting, yaitu agar kita waspada terhadap kesyirikan. Namun anehnya saat ini, banyak yang tidak tahu suatu perbuatan itu syirik. Sampai disangka jimat itu sebagai penolong, Pak Kyai-lah yang memberi berkah, do’a lebih baik dengan tawassul melalui wali yang telah mati, sedekah laut itu hanyalah tradisi untuk menghilangkan musibah, semua ini malah disangka sebagai hal biasa dan bukanlah dosa. Ini anehnya, syirik bukan sesuatu yang ditakuti dan dikhawatirkan lagi. Bahkan dosa korupsi dianggap sebagai perkara yang lebih besar bahayanya dibanding dengan berbagai macam klenik, jimat, dan bentuk syirik lainnya. Na’udzu billah min dzalik.
Padahal syirik begitu berbahaya sebagaimana disebutkan dalam ayat-ayat lainnya,
وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al An’am: 88).
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. “Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Az Zumar: 65).
Dalam hadits dari Jabir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ مَاتَ لاَ يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ مَاتَ يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا دَخَلَ النَّارَ
Barangsiapa yang mati dalama keadaan tidak berbuat syirik pada Allah dengan sesuatu apa pun, maka ia akan masuk surga. Barangsiapa yang mati dalam keadaan berbuat syirik pada Allah, maka ia akan masuk neraka” (HR. Muslim no. 93).
Hanya Allah yang memberikan taufik dan hidayah.

@ Sakan 27, Jami’ah Malik Su’ud, Riyadh-KSA, 7 Muharram 1434 H
www.rumaysho.com

Parahnya Praktek Syirik Di Masa Kini

 

Dahulu orang-orang musyrik jahiliyyah di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan perbuatan syirik ketika dalam kondisi lapang saja. Tatkala merkeka dalam kesempitan dan kesusahan, mereka meninggalkan perbuatan syirik dan hanya mentauhidkan Allah


syirik-zhalim
Kesibukan dunia, menjadikan sebagian besar manusia tidak peduli lagi dengan urusan agamanya. Banyak perintah Allah tidak dilaksanakan dan berbagai macam perbuatan kemaksiatan dilakukan. Perbuatan kemaksiatan dengan segala macam bentuknya menjadi hal yang biasa dan lumrah untuk dilakukan. Termasuk juga perbuatan maksiat yang paling bahaya, dosa besar yang paling besar, dan kezaliman yang paling zalim, yaitu perbuatan syirik.
Sudah menjadi sunnatullah, bahwa kesyirikan akan terus ada pada setiap zaman. Termasuk di zaman kita hidup sekarang ini, berbagai bentuk ritual kesyirikan terjadi dimana-mana. Bahkan kesyirikan hasil tipu daya iblis yang terjadi di masa kini lebih parah daripada kesyirikan yang terjadi di masa jahiliyah saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup. Kenapa bisa demikian ? Simak uraian singkat dalam artikel berikut.

Kini, Syirik Terjadi Dalam Uluhiyyah dan Rububiyyah

Orang musyrikin zaman jahiliyyah hanya melakukan kesyirikan dalam masalah uluhiyyah (peribadatan). Mereka tetap mengakui tentang rububiyyah Allah, bahwa hanya Allah saja yang mencipta, memberi rezeki, dan mengatur segala urusan mereka. Allah Ta’ala berfirman :
قُلْ مَن يَرْزُقُكُم مِّنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ أَمَّن يَمْلِكُ السَّمْعَ والأَبْصَارَ وَمَن يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيَّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَن يُدَبِّرُ الأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللّهُ فَقُلْ أَفَلاَ تَتَّقُونَ
“Katakanlah: ‘Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?’ Maka mereka akan menjawab: ‘Allah.’ Maka katakanlah ‘Mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?’.” (Yunus: 31).
Meskipun kaum musyrikin jahiliyyah menyekutukan Allah dalam ibadah, mereka tetap meyakini bahwa Allah-lah yang menciptakan mereka dan memberi rezeki serta mengatur urusan mereka.
Lalu bagaimana keadaan musyrikin di zaman sekarang ini? Di antara mereka ada yang berkeyakinan bahwa yang memberikan jatah ikan bagi nelayan, yang mengatur ombak laut selatan adalah Nyi Roro Kidul. Ada pula yang meyakini bahwa ada Jin sebagai penguasa Gunung Merapi. Ada pula yang meyakini bahwa yang mengatur urusan hasil panen mereka adalah Dewi Sri. Padahal tidak ada seorang pun yang dapat mengatur alam semesta kecuali Allah Ta’ala. Ini adalah hak khusus Allah dalam rububiyyah-Nya.
Dahulu kaum musyrikin masih mending, mereka hanya melakukan kesyirkan dalam uluhiyyah, namun tetap mengakui rububiyyah. Adapun kesyirikan zaman ini, terjadi dalam masalah rububiyyah dan uluhiyyah. Sungguh, betapa keterlaluan dan lancangnya terhadap Allah, Sang Pencipta alam semesta !

Kini, Syirik Terjadi Di Waktu Senang dan Susah

Dahulu orang-orang musyrik jahiliyyah di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan perbuatan syirik ketika dalam kondisi lapang saja. Tatkala merkeka dalam kesempitan dan kesusahan, mereka meninggalkan perbuatan syirik dan hanya mentauhidkan Allah. Mereka tinggalkan sesembahan mereka dan hanya berdoa meminta kepada Allah saja. Allah kisahkan tentang kodisi mereka :
فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ
Maka apabila mereka naik kapal mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Namun tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah)” (Al Ankabut : 65).
وَإِذَا مَسَّكُمُ الْضُّرُّ فِي الْبَحْرِ ضَلَّ مَن تَدْعُونَ إِلاَّ إِيَّاهُ فَلَمَّا نَجَّاكُمْ إِلَى الْبَرِّ أَعْرَضْتُمْ وَكَانَ الإِنْسَانُ كَفُوراً
Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Dia, Maka tatkala Dia menyelamatkan kamu ke daratan, kamu berpaling. Dan manusia itu adalah selalu tidak berterima kasih.” (Al Isra’:67)
Itulah keadaan musyrikin zaman dahulu. Mereka melakukan kesyrikan tatkala kondisi lapang. Namun tatkala dalam kondisi kesulitan dan kesempitan, mereka hanya berdoa kepada Allah saja.
Bandingkan dengan kodisi musyrikin di masa kini. Perbuatan syirik terjadi setiap saat, baik kondisi senang maupun susah. Ketika kondisi senang, misalnya ada acara pernikahan, hendak membangun rumah, sehabis panen hasil pertanian, mereka melakkan perbuatan syirik dengan memberi sesaji kepada selain Allah. Demikian pula dalam kondisi kesulitan. Tatkala ada musibah bencana, memberikan sesaji kepada selain Allah sebagai tolak bala. Tatkala ada barang yang hilang, meminta bantuan ke paranormal. Tatkala menderita sakit, datang berobat kepada dukun. Demikianlah kondisi musyrikin zaman ini, kesyirikan terjadi saat kondisi senang maupun susah.

Kini, Ahli Maksiat Dijadikan Sesembahan

Objek sesembahan kaum muyirkin zaman dahulu lebih mending daripada kaum musyrikin zaman ini. Kaum musyrikin zaman dulu menyembah Nabi, malaikat dan orang-orang shalih. Sebagian dari mereka ada juga yang menjadikan benda-benda mati sebagai sesembahan seperti matahari, bulan. batu, pohon, dan berhala. Benda-benda tersebut adalah benda mati, yang notabene tidak pernah bermaksiat kepada Allah.
Bagaimana dengan sesembahan musyrikin zaman ini? Adapun musyrikin zaman ini, banyak di antara mereka menjadikan kuburan orang-orang ahli maksiat sebagai sesembahan. Banyak orang yang berbondong-bondong ngalap berkah ke makam Pangeran Samudro dan Nyai Ontrowulan di Gunung Kemukus, Sragen. Dikisahkan bahwa mereka berdua adalah seorang anak dan ibu tiri (permaisuri raja) dari kerajaan Majapahit yang berzina, kemudian mereka diusir dari kerajaan dan menetap di Gunung Kemukus hingga meninggal. Konon sebelum meninggal Pangeran Samudro berpesan bahwa keinginan peziarah dapat terkabul jika melakukan perbuatan zina seperti apa yang ia lakukan bersama ibu tirinya. Sehingga sebagai syarat “mujarab” untuk mendapat berkah di sana, harus dengan berzina terkebih dulu.
Lihatlah, betapa orang-orang musyrik zaman dahulu lebih berakal daripada orang-orang musyrik sekarang ini. Sesembahan mereka adalah makhluk yang mulia, atau minimal benda-benda mati yang tidak pernah berbuat maksiat kepada Allah. Adapun musyrikin zaman ini, orang-orang yang sudah jelas ahli maksiat di masa hidupnya, kuburannya dijadikan sesembahan selain Allah. Allahul musta’an.

Bentengi Diri Dengan Tauhid

Pembaca yang dirahmati Allah, sungguh fenomena kesyirikan telah merebak di sekitar kita. Dari kesyirikan yang tersembunyi sampai bentuk yang paling dhohir, baik itu syirik besar maupun syirik kecil. Di kota hingga pelosok desa marak dengan kegiatan syirik. Kesyirikan di zaman ini tidak mengenal waktu, baik siang maupun malam, baik dalam kondisi susah maupun senang. Media yang beredar juga tak ketinggalan menawarkan berbagai bentuk kesyirikan. Bahkan para cendekiawan muslim yang dianggap tokoh agama pun ikut andil dalam mendakwahkan kesyirikan.
Wahai saudaraku, hati ini sangat lemah. Sungguh, dengan fenomena tersebut, hati kita memiliki kecenderungan untuk mudah terjerumus dalam syirik. Tidak ada yang bisa kita lakukan kecuali membentengi diri kita dengan ilmu tauhid yang benar dan berusaha untuk mempelajari kesyirikan agar kita dapat menjauhinya. Usaha doa pun harus senatiasa kita lakukan. Semoga Allah Ta’ala meneguhkan kita di atas jalan tauhid sampai ajal menjemput kita.
Wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad.
***
Sumber bacaan : Syarh Al Qawaidul Arba’ karya Syaikh Shalih Alu Syaikh hafidzahullah
Penyusun : Adika Mianoki (Alumni Ma’had Al ‘Ilmi)
Artikel Muslim.Or.Id

Nabi Ibrahim Saja Khawatir Terhadap Syirik



Kita sudah mengetahui bahwa di antara kekasih Allah (kholilullah) adalah Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Kita tahu bahwa beliau adalah imam, suri tauladan yang baik, taat pada Allah dan bersih dari kesyirikan. Namun coba lihat bagaimanakah Nabi Ibrahim yang mulia masih khawatir terjerumus dalam syirik. Lantas apakah kita yang sebagai manusia biasa pantas merasa aman dari kesyirikan?
Nabi Ibrahim Al Kholil pernah berdo’a pada Allah sebagaimana disebutkan dalam ayat,
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ آَمِنًا وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الْأَصْنَامَ
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: “Ya Rabbku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala (shonam).” (QS. Ibrahim: 35).
Mengenal Shonam dan Watsan
Shonam adalah patung yang dipahat dalam bentuk manusia. Sedangkan ada istilah lain yaitu watsan yang berarti sesuatu yang dipahat dalam bentuk selain manusia. Demikian disebutkan oleh Ibnu Jarir Ath Thobari dari Mujahid.
Namun yang jelas, shonam adalah sesuatu yang berbentuk gambar atau patung. Sedangkan watsan tidak berbentuk seperti itu, contohnya adalah batu dan bangunan. Watsan bisa dimutlakkan untuk shonam. Sebagian salaf ada yang memaknakan seperti itu.
Do’a Ibrahim pada Keturunannya
Do’a Ibrahim adalah supaya Allah menjauhkan dirinya dan keturunannya dari peribadahan pada berhala. Do’a ini pun terkabul karena Allah anugerahkan pada Ibrahim dengan keturunan yang menjadi nabi dan mereka dijauhkan dari peribadahan semacam itu.
Kenapa sampai Nabi Ibrahim ‘alaihis salam bisa meminta seperti itu pada Allah Ta’ala? Karena kebanyakan manusia telah terfitnah pada penyembahan pada berhala. Sebagaimana kita dapat melihat dalam ayat,
رَبِّ إِنَّهُنَّ أَضْلَلْنَ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ
Ya Rabbku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan daripada manusia” (QS. Ibrahim: 36). Dari sini, beliau khawatir umatnya menyembah berhala dan ia pun berdo’a pada Allah supaya dirinya dan keturunannya diselamatkan dari peribadahan tersebut.
Jika Ibrahim Demikian Adanya
Syaikh Sulaiman bin ‘Abdullah bin Muhammad At Tamimi rahimahullah berkata, “Jika Nabi Ibrahim saja demikian adanya, sampai meminta pada Allah agar dirinya dan keturunannya dijauhkan dari penyembahan terhadap berhala, maka bagaimana pendapatmu dengan yang lainnya?” Tentu mereka lebih pantas banyak memohon do’a seperti itu.
Sebagaimana Ibrahim At Taimi berkata,
مَنْ يَأْمَنُ مِنَ البَلاَءِ بَعْدَ إِبْرَاهِيْمَ؟
Siapa lagi yang merasa aman dari musibah kesyirikan setelah Ibrahim?!” Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim.
Hal ini membuat kita mesti khawatir pada kesyirikan. Tidak seperti yang dikatakan oleh orang-orang jahil bahwasanya kesyirikan tidak mungkin terjadi pada umat ini. Jika mereka merasa aman dari syirik, tidak khawatir sama sekali, maka merekalah yang biasa terjerumus dalam kesyirikan.
Do’a agar terselamatkan dari kesyirikan …
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ
Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”. Disebutkan dalam Musnad Abu Ya’la namun dengan sanad dho’if sebagaimana kata Syaikh Husain Salim Asad. Tapi makna do’a ini shahih.
Semoga Allah menganugerahkan kepada kita iman dan selamat dari kesyirikan, serta khawatir terjerumus di dalamnya.

@ Pesantren Darush Sholihin, Panggang-Gunungkidul, menjelang shalat Maghrib, 26 Jumadal Ula 1434 H
www.rumaysho.com

[Pembahasan di atas disarikan dari pembahasan Syaikh Sulaiman bin ‘Abdullah bin Muhammad At Tamimi dalam Kitab Taisir Al ‘Azizil Hamid fii Syarh Kitabit Tauhid]

Syirik, Penghapus Amalan-Amalan Shalih

Kesyirikan adalah penghapus amalan shalih. Hal ini berlaku sejak dahulu, yaitu para Nabi dan Rasul terdahulu. Jika Nabi saja diancam dari kesyirikan, bagaimana lagi dengan kita?


syirik-zhalim
Bismillah. Segala puji hanya bagi Allah Rabb semesta alam, shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad beserta keluarganya dan para sahabatnya, serta orang-orang yang mengikuti jalannya dengan ihsan.
Allah Ta’ala berfirman dalam Al Qur’an yang mulia:
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu: “Jika kamu berbuat syirik, niscaya akan terhapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi” (Qs. Az Zumar: 65).
Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan sebab turunnya ayat ini: “para salaf menyebutkan sebab turunnya ayat ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dan lainnya, dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhu: bahwasanya kaum Musyrikin dengan kejahilan mereka, mengajak Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam untuk beribadah kepada sesembahan mereka bersama mereka” (Tafsir Ibnu Katsir, 7/113).
Kesyirikan adalah penghapus amalan shalih. Hal ini berlaku sejak dahulu, yaitu para Nabi dan Rasul terdahulu. As Sa’di rahimahullah menjelaskan : “‘Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang yang sebelummu‘ maksudnya seluruh para Nabi terdahulu. ‘Jika kamu berbuat syirik, niscaya akan terhapuslah amalmuamaluka di sini merupakan mufrad mudhaf, sehingga maksudnya mencakup semua amalan dan seluruh para Nabi. Yaitu bahwa perbuatan syirik itu menghapus semua amalan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
ذَلِكَ هُدَى اللَّهِ يَهْدِي بِهِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Itulah petunjuk Allah, yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan (QS. An An’am: 88)
dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi maksudnya rugi dunia dan akhirat. Maka, dengan kesyirikan, terhapuslah semua amalan. Dan pelakunya berhak mendapatkan hukuman dan adzab” (Taisir Karimirrahman, 729).
Imam Ath Thabari rahimahullah menafsirkan: “maksudnya, jika engkau berbuat syirik terhadap Allah wahai Muhammad, maka akan terhapus amalanmu. Dan engkau tidak akan mendapatkan pahala, juga tidak mendapatkan balasan, kecuali balasan yang pantas bagi orang yang berbuat syirik kepada Allah” (Tafsir Ath Thabari, 21/322).
Ayat ini menjadi menarik karena yang teks ayat ini ditujukan kepada Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam. Sehingga banyak sekali pelajaran penting yang bisa kita petik. Muhammad Ali Ash Shabuni rahimahullah menjelaskan: “ini merupakan bentuk pengasumsian dan perumpamaan. Karena Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam itu telah dijamin maksum oleh Allah. Tidak mungkin beliau berbuat kesyirikan terhadap Allah. Dan ayat ini juga datang untuk menegakkan penguatan iman dan tauhid. Abu Mas’ud berkata: ‘ayat ini dipaparkan dalam gaya bahasa asumsi untuk mengancam dan membuat takut para Rasul terhadap perbuatan kekufuran. Serta membawa pembaca untuk menyadari betapa fatalnya dan buruknya kesyirikan itu'” (Shafwatut Tafasir, 3/80).
Inilah faidah yang berharga untuk kita. Jika Rasulullah dan para Nabi saja diancam dari perbuatan syirik, maka kita lebih lagi terancam dan hendaknya lebih takut darinya. Jika amalan Rasulullah dan para Nabi terdahulu yang tidak terbayangkan besarnya, dalam mendakwahkan Islam, dalam bersabar mengadapi perlawanan dari orang-orang Musyrik, dalam menghadapi cobaan-cobaan dari Allah, tetap akan terhapus semua amalan itu jika mereka berbuat syirik. Apalagi kita? Yang sedikit amalannya, bahkan banyak berbuat dosa!?!
Oleh karena itu saudaraku, jauhi… jauhi… jauhi… perbuatan syirik terhadap Allah.
Terhapusnya amalan-amalan shalih yang mungkin dikerjakan dengan lelah, banyak pengorbanan dan waktu yang lama adalah sebuah kerugian yang sangat besar. Dan solusi agar terhindar dari ini adalah ayat selanjutnya:
بَلِ اللَّهَ فَاعْبُدْ وَكُنْ مِنَ الشَّاكِرِينَ
Maka beribadahlah hanya kepada Allah semata, dan jadilah orang yang bersyukur” (QS. Az Zumar: 66)
Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah menyatakan: “maksudnya, ikhlaskanlah ibadah hanya kepada Allah semata, jangan berbuat syirik kepada-Nya. Ini berlaku untukmu (Muhammad) dan orang-orang yang bersamamu. Untukmu (Muhammad) dan orang-orang yang mengikuti jalanmu dan membenarkanmu” (Tafsir Ibnu Katsir, 7/113).
Wabillahi At Taufiq Was Sadaad
***
Penulis: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id

Mengenal Syirik Ashghar (Syirik Kecil)

Syirik ashghar adalah segala sesuatu yang disebut dengan istilah syirik oleh dalil-dalil syariat, namun terdapat juga dalil yang menunjukkan bahwa sesuatu tersebut tidak termasuk ke dalam syirik akbar


tauhid
Karena kebodohan kita, seringkali kita meremehkan perbuatan dosa tertentu padahal perbuatan tersebut sangat besar nilainya (dosanya) di sisi Allah Ta’ala. Di antara bentuk dosa yang seringkali luput dari perhatian kita adalah syirik ashghar. Beberapa bentuk syirik ashghar sangat berkaitan dengan amalan hati, sehingga mungkin tidak tampak secara nyata dalam bentuk amal lahiriyah yang bisa dilihat. Bisa jadi seseorang tanpa sadar terjatuh ke dalam syirik ashghar karena tidak memperhatikan ke manakah hatinya condong, kepada Allah atau kepada selain Allah? Kesyirikan adalah perbuatan dosa yang sangat samar dan tersembunyi. Bisa jadi kita telah terjerumus ke dalam perbuatan syirik tanpa kita sadari karena kebodohan kita sendiri. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan,
الأَنْدَادُ هُوَ الشِّرْكُ أَخْفَى مِنْ دَبِيبِ النَّمْلِ عَلَى صَفَاةٍ سَوْدَاءَ، فِي ظُلْمَةِ اللَّيْلِ
“(Menjadikan) ‘andaad’ [sekutu-sekutu] adalah berbuat syirik, (dosa) yang lebih samar daripada jejak semut yang merayap di atas batu hitam dalam kegelapan malam.[1]
Oleh karena itu, pada pembahasan kali ini, kami ingin menjelaskan sedikit tentang syirik ashghar , sehingga kita tidak serta merta meremehkan bentuk dosa yang satu ini. [2]

Syirik Akbar vs Syirik Ashghar

Syirik kepada Allah Ta’ala dibagi menjadi dua macam, yaitu syirik akbar dan syirik ashghar. Syirik akbar adalah perbuatan syirik yang mengeluarkan seseorang dari agama Islam, menghapuskan seluruh amal, dan pelakunya kekal di neraka. Sedangkan syirik ashghar, maka tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam, meskipun mengurangi derajat tauhid seseorang. Syirik ashghar hanya menghapus amal yang tercampur dengan syirik ashghar tersebut (bukan semua amal) dan tidak terancam kekal di neraka.
Adapun pengertian syirik ashghar, maka terdapat dua pendapat di kalangan para ulama. Pendapat pertama, syirik ashghar adalah segala sesuatu yang disebut dengan istilah syirik oleh dalil-dalil syariat, namun terdapat juga dalil yang menunjukkan bahwa sesuatu tersebut tidak termasuk ke dalam syirik akbar. Contohnya, rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ أَشْرَكَ
“Barangsiapa yang bersumpah dengan selain Allah, maka dia telah berbuat syirik.” [3]
Yang dimaksud dengan syirik dalam hadits tersebut adalah syirik ashghar, karena terdapat dalil lain yang menunjukkan bahwa semata-mata bersumpah dengan selain Allah Ta’ala tidaklah mengeluarkan seseorang dari agama Islam.
Pendapat kedua, syirik ashghar adalah setiap sarana atau jalan menuju syirik akbar, meskipun syariat tidak menyebutnya dengan istilah syirik [4]. Contohnya, seseorang bersandar kepada sesuatu sebagaimana dia bersandar kepada Allah Ta’ala, akan tetapi dia tidak menjadikan sesuatu tersebut sebagai sesembahannya. Maka ini adalah syirik ashghar, karena penyandaran hati ini –yang persis dengan bersandarnya hati kepada Allah Ta’ala- pada akhirnya akan menyebabkan seseorang terjatuh ke dalam syirik akbar.
Definisi yang kedua ini lebih luas daripada definisi yang pertama karena pendapat pertama tidak memasukkan suatu perbuatan sebagai kesyirikan kecuali jika terdapat dalil yang menyebutkan bahwa perbuatan tersebut adalah syirik, sedangkan pendapat ke dua menjadikan seluruh perbuatan yang merupakan sarana kesyirikan (menuju syirik akbar) sebagai syirik ashghar.

Apakah Syirik Ashghar mungkin Diampuni Tanpa Taubat?

Lalu, di antara kedua bentuk syirik tersebut, manakah yang tidak diampuni apabila seseorang tidak bertaubat sampai meninggal dunia?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan bahwa dosa syirik tidak diampuni oleh Allah Ta’ala apabila seseorang tidak bertaubat sampai meninggal dunia, meskipun syirik ashghar. Hal ini karena termasuk dalam kandungan firman Allah Ta’ala,
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا
”Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa yang tingkatannya lebih rendah dari (syirik) itu bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh dia telah berbuat dosa yang besar” (QS. An-Nisa’ [4]: 48).
Menurut beliau rahimahullah, “dosa syirik” dalam firman Allah Ta’ala tersebut bersifat umum, mencakup baik syirik akbar maupun syirik ashghar. Akan tetapi, sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “dosa syirik” dalam ayat tersebut adalah syirik akbar. Adapun syirik ashghar, maka ada kemungkinan diampuni karena tidak sampai mengeluarkan seseorang dari agama Islam. Hal ini karena seluruh dosa yang tidak sampai mengeluarkan seseorang dari agama Islam statusnya terserah pada kehendak Allah Ta’ala. Jika Allah Ta’ala menghendaki, akan diampuni. Dan jika Allah Ta’ala menghendaki, tidak akan diampuni. [5]
Meskipun demikian, pelaku syirik ashghar berada dalam bahaya yang amat nyata karena tingkatan dosa syirik ashghar tersebut “lebih besar” daripada dosa besar yang paling besar (akbarul kabaa-ir), seperti mencuri, berzina, membunuh, dan lain-lain. Apalagi jika dosa syirik ashghar itu dilakukan secara terus-menerus dan berkesinambungan. Oleh karena itu, Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
لأَنْ أَحْلِفَ بِاللهِ كَاذِباً أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَحْلِفَ بِغَيْرِهِ صَادِقاً
“Bersumpah bohong dengan menyebutkan nama Allah lebih aku sukai daripada bersumpah jujur tetapi dengan menyebutkan nama selain-Nya.” [6]
Hal ini karena dosa bersumpah dengan selain Allah Ta’ala (yang termasuk syirik ashghar) lebih berat dosanya daripada dosa berbohong (sumpah palsu). Oleh karena itu, kita tidak boleh meremehkan bentuk dosa yang satu ini (syirik ashghar), bahkan rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الشِّرْكُ الأَصْغَرُ قَالَ الرِّيَاءُ
Sesungguhnya yang paling aku takutkan dari apa yang aku takutkan menimpa kalian adalah syirkul ashghar (syirik kecil).Maka para shahabat bertanya, ”Apa yang dimaksud dengan syirkul ashghar?” Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab,“Ar-riya’.” [7]
Di antara bentuk usaha yang harus kita lakukan adalah dengan mempelajari rincian dosa syirik ashghar sehingga kita senantiasa waspada dan tidak terjerumus ke dalamnya. [8]

Catatan kaki:
[1] Tafsir Ibnu Katsir, 1/196.
[2] Pembahasan ini disarikan dari Al-Qoulul Mufiid, 1/206-208.
[3] HR. Abu Dawud no. 3251. Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahaih wa Dha’if Sunan Abu Dawud.
[4] Pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah dalam kitab Al-Qoulus Sadiid, hal. 24.
[5] Di antara kesalahpahaman yang tersebar di masyarakat awam adalah bahwa ketika seseorang melakukan syirik akbar, maka tidak akan pernah diampuni oleh Allah Ta’ala meskipun bertaubat sebelum meninggal dunia dengan berdalil surat An-Nisa’ ayat ke-48 di atas. Ini adalah pemahaman yang keliru. Karena ayat di atas hanya berlaku pada dosa syirik yang dibawa mati. Adapun jika seseorang berbuat syirik akbar, kemudian menyadari dan bertaubat kepada Allah Ta’ala, maka baginya berlaku ayat berikut ini,
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar: 53).
Ayat ini dengan tegas menunjukkan bahwa Allah Ta’ala mengampuni semua jenis dosa, termasuk dosa syirik akbar, jika bertaubat sebelum meninggal dunia.
[6] HR. Abdur Razaq (VIII/15929). Disebutkan pula oleh Al-Haitsami di dalam Al-Majma’ (IV/177). Al-Haitsami berkata,”Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani di dalam Al-Kabir, dan rijalnya shahih”.
[7] HR. Ahmad no. 27742.
[8] Artikel ini disarikan dari buku penulis yang berjudul: “Kesaktian Batu Ajaib, Bukti Runtuhnya Aqidah Umat” yang diterbitkan oleh Maktabah Al-Hanif, Yogyakarta tahun 2010]

Penulis: dr. M. Saifudin Hakim, MSc.
Artikel Muslimah.Or.Id

Perbedaan Syirik Besar dan Syirik Kecil




Para ulama biasa membagi syirik menjadi dua macam yaitu syirik besar (syirik akbar) dan syirik kecil (syirik ashgor).
Syirik akbar adalah mengambil tandingan selain Allah dan menyamakannya dengan Rabbul ‘alamin.
Sedangkan syirik ashgor adalah yang disebut syirik dalam dalil namun tidak sampai derajat syirik akbar atau disebut oleh para ulama sebagai perantara menuju syirik akbar.
Contoh syirik besar:
bernadzar pada selain Allah, thawaf keliling kubur dan berdo’a meminta pada penghuni kubur, berdo’a pada orang yang sudah mati, mencintai selain Allah sebagaimana kecintaannya pada Allah, meminta perlindungan (isti’adzah) pada selain Allah, menjadikan perantara selain Allah antara dirinya dengan Allah dan bertawakkal padanya.
Contoh syirik kecil:
bersumpah dengan selain Allah, mengangungkan makhluk yang tidak sampai derajat ibadah, memakai jimat yang meyakini dapat mencegah ‘ain (pandangan hasad), shalat menghadap kiblat untuk Allah namun menganggap lebih afdhol jika dilakukan di sisi kubur.

Perbedaan syirik besar dan syirik kecil:

  • Perbedaan pada definisi sebagaimana yang telah lewat.
  • Syirik besar membuat pelakunya keluar dari Islam dan kekal dalam neraka, sedangkan syirik kecil tidak.
  • Syirik besar menghapuskan seluruh amalan, sedangkan syirik kecil hanya menghapus amalan yang terdapat syirik saja.
  • Syirik besar tidaklah dimaafkan kecuali dengan taubat, sedangkan syirik kecil berada dalam masyi-ah Allah atau kehendak Allah yaitu jika dikehendaki, Allah bisa mengampuni dan jika tidak, Allah akan menyiksanya.

Cara membedakan syirik kecil dari syirik besar:

    • Dapat dilihat dari dalil tegas yang menyebut syirik kecil, misal disebutkan dalam hadits, “Sesuatu yang aku khawatirkan menimpa kalian adalah syirik kecil.” Dalam hadits disebutkan tentang riya’ atau beramal ingin cari pujian.
    • Dalam hadits disebutkan kata syirik dalam bentuk nakirah (tidak ada alif lam di awalnya). Seperti dalam hadits disebutkan, “Sesungguhnya mantera-mantera, jimat dan pellet adalah syirkun”. Yang dimaksud di sini adalah syirik kecil.
    • Yang dipahami oleh para sahabat dari dalil bahwa perbuatan itu termasuk syirik kecil. Dalam masalah pemahaman dalil, para sahabatlah yang lebih paham, mereka lebih memahami Al Quran dan hadits.
(Lihat Rasa-il fil ‘Aqidah, hal. 437-439)
Semoga bermanfaat bagi pembaca Rumaysho.Com, semoga semakin memahami akan kesyirikan.

Referensi:

Rasa-il fil ‘Aqidah, Dr. Muhammad bin Ibrahim Al Hamad, terbitan Daru Ibnu Khuzaimah, cetakan pertama, tahun 1423 H.

Selesai disusun ba’da ‘Ashar 13 Rabi’ul Akhir 1436 H di Darush Sholihin Panggang
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Jumat, 17 April 2015

Ulama-Umara dalam Sejarah Daulah Utsmani [2]


Oleh: Alwi Alatas
Sambungan artikel PERTAMA
DEMIKIAN pula generasi awal pasukan khusus Utsmani, yaitu Yanisari, diseleksi, didoakan, dan diberi seragam antara lain oleh Timurtash Dede. Timurtash Dede merupakan keturunan Haji Bektas-i Veli, seorang yang dipercayai sebagai waliyullah dan hidup kurang lebih sejaman dengan Utsman Ghazi.
Belakangan muncul tarikat Bektasiyah yang memiliki keyakinan menyimpang dan meninggalkan solat serta puasa, tetapi menurut Akgunduz (2011: 63-64) tarekat ini serta penyimpangan yang dilakukannya tidak memiliki kaitan dengan Haji Bektas-i Vali. Hal-hal di atas merupakan beberapa contoh penghormatan para pemimpin Utsmani terhadap agamanya serta hubungan mereka yang baik dengan para ulama.
Syeikh Edebali sendiri, mertua Sultan Utsman, merupakan seorang ulama sekaligus sufi dari tarekat vefa’iyye (wafa’iyah) yang merupakan cabang dari tarekat Syadziliyah. Ia mendalami fiqh Hanafi dan sempat menuntut ilmu di Damaskus, sebelum kembali ke kawasan Asia Minor dan membuka zawiyah di Bilecik. Utsman sering berkonsultasi dengannya dan menjadikannya sebagai qadi dan mufti pertama di pemerintahannya.
Puteri Edebali yang dinikahi oleh Utsman disebut dalam sumber-sumber Sejarah sebagai Mal Hatun, atau Rabi’a Bala Hatun. Namun ia bukan satu-satunya perempuan yang dinikahi oleh Utsman. Malah para sultan selepas Utsman, menurut catatan Sejarah yang lebih kuat, bukanlah dari jalur keturunan puteri Edebali ini. Istri Utsman yang melahirkan Orhan dan para sultan Utsmani berikutnya adalah puteri dari seorang emir Bani Saljuk bernama Omar Bey (Akgunduz, 2011: 45). Dengan kata lain, pohon besar (kesultanan) yang dilihat Utsman di dalam mimpinya itu sebenarnya bukanlah buah pernikahan antara dirinya dengan puteri sang Syeikh Sufi.
Walaupun begitu, mimpi Utsman itu tampaknya memberikan gambaran lain yang lebih bersifat simbolik. Pohon besar itu sebenarnya merupakan hasil ‘pernikahan’ (baca: hubungan baik dan kerja sama) antara umara (pemimpin) dan ulama, dalam hal ini antara Utsman Ghazi dan Syeikh Edebali, dan diikuti oleh generasi setelahnya. Daulah Utsmaniyah dan kiprah peradabannya yang besar dan berumur panjang itu adalah representasi dari pernikahan ulama dan umara, juga pernikahan antara tasawuf dan kemiliteran.
Jejak-jejak kerjasama yang kuat di antara kedua belah pihak dapat dilihat pada banyak bagian sejarah Utsmani, sebagaimana telah dicontohkan sebelum ini. Pernikahan itu langgeng dan memberikan berkah karena para umara-nya sungguh-sungguh dalam Islam dan perjuangannya dan para ulamanya zahid terhadap dunia serta jujur kepada Rabbnya dalam menunaikan amanah ilmunya.
Kejujuran dan kesungguhan kerja sama itu mungkin masih dapat kita lihat perwujudannya yang sederhana pada sebuah marmer putih di sebuah tempat di Sogut, pusat pemerintahan Utsman yang awal sekali. Pada marmer putih itu terpahat nasihat Syeikh Edebali kepada Utsman Ghazi, sebuah nasihat tentang kelapangan dada serta tanggung jawab yang perlu dimiliki oleh seorang pemimpin:
Wahai anakku! Sekarang engkau adalah raja
Mulai sekarang, kemarahan adalah bagi kami; bagimu (tugasmu, pen.) rida!
Bagi kami tersinggung; bagimu menghibur!
Bagi kami menuduh; bagimu bersabar!
Bagi kami ketidakberdayaan dan kesalahan; bagimu kelapangan dada!
Bagi kami pertengkaran; bagimu keadilan!
Bagi kami iri hati, desas-desus, mengumpat; bagimu pengampunan!
Wahai anakku!
Mulai sekarang, bagi kami adalah memecah, bagimu menyatukan!
Bagi kami kemalasan; bagimu peringatan dan dorongan!
Wahai anakku!
Bersabarlah, tak akan mekar bunga sebelum waktunya. Jangan pernah lupa ini: Biarkan manusia berkembang, dan negara juga akan berkembang!
Wahai anakku!
Bebanmu berat, tugasmu sukar, kekuatanmu tergantung di atas sehelai rambut! Semoga Allah menjadi penolongmu! (http://en.wikipedia.org/wiki/Sheikh_Edebali).*/Kuala Lumpur, 29 Jumadil Awwal 1436/ 20 Maret 2015
Alwi Alatas adalah penulis buku-buku sejarah Islam
Daftar Pustaka
Akgunduz, Ahmed dan Said Ozturk. Ottoman History: Misperceptions and Truths. Rotterdam: IUR Press. 2011.
Kia, Mehrdad. The Ottoman Empire. Westport: Greenwood Press. 2008.
Lane-Poole, Stanley. Turkey, 3rd edition. London: T. Fisher Unwin. 1941.
Maksudoglu, Mehmet. Ottoman History: Based Mainly on Ottoman Sources. Tidak dipublikasikan. 1993.
Rosenwein, Barbara H. Reading the Middle Ages: Sources from Europe, Byzantium, and the Islamic World, second edition. North York: University of Toronto Press. 2014.
Al-Sallabi, ‘Ali Muhammad. Al-Sulthan Muhammad al-Fatih wa ‘Awamil al-Nuhudh fi ‘Ashrihi. Iskandariyah: Dar al-Iman. 2001.
http://en.wikipedia.org/wiki/Sheikh_Edebali
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar

Ulama-Umara dalam Sejarah Daulah Utsmani [1]


Oleh: Alwi Alatas
SEORANG pemuda tertidur saat berkunjung ke sebuah zawiyah, pusat kegiatan sufi, yang terletak di kawasan Bilecik, Asia Minor (kini Turki). Zawiyah ini dipimpin oleh Syeikh Edebali (w. 1326/7), seorang ulama penting di wilayah itu. Ini bukan pertama kalinya ia mengunjungi tempat itu, tetapi kini ada hal berbeda yang dialaminya.
Dalam tidurnya pemuda itu bermimpi, yang kelak menjadi kisah dan tutur kata masyarakat selama beberapa generasi. Di dalam mimpinya, ia melihat bulan keluar dari dada Syeikh Edebali dan masuk ke perutnya. Kemudian dari perut pemuda itu keluar sebuah pohon yang tumbuh besar. Dahan dan cabangnya menjulang ke langit, menaungi belahan dunia. Di bawah naungan pohon itu, pegunungan berdiri tegak dan sungai-sungai mengalir jauh.
Pemuda itu terbangun, dan beberapa waktu kemudian menceritakan mimpinya itu pada Syeikh Edebali. Sang Syeikh menjelaskan makna mimpi tersebut. “Allah Yang Maha Kuasa akan menganugerahkan kesultanan kepadamu dan kepada anak keturunanmu. Semoga ia diberkati! Dan puteri saya akan menjadi istrimu” (Akgunduz, 2011: 45; Rosenwein, 2014: 451)
Syeikh Edebali kemudian menikahkan puterinya dengan pemuda itu. Ia memang bukan pemuda biasa. Ia adalah seorang emir (pangeran atau pejabat) di kawasan itu. Sang pemuda nantinya benar-benar menjadi seorang pendiri kesultanan baru, kesultanan yang bukan hanya memiliki wilayah kekuasaan yang sangat luas, tetapi juga melewati rentang waktu yang sangat panjang, hingga lebih dari enam abad. Kesultanan itu nantinya dikenal sebagai Turki Utsmani, dan pemuda itu bernama Utsman (Osman), atau kadang disebut juga sebagai Utsman Ghazi.
Mimpi Utsman (w. 1326) mungkin lebih bersifat legenda ketimbang sejarah, karena kisahnya baru ditulis jauh setelah kejadiannya (sebelumnya hanya bersifat oral atau cerita lisan). Terlepas dari itu, Kesultanan Utsmani kemudian memang tumbuh besar dan kuat, bahkan menjadi sebuah Kekhalifahan Islam. Pada masa puncaknya, ia menaungi dunia Islam dari Barat hingga ke Timur, dari Afrika Utara dan sebagian Eropa, hingga ke Syam, Hijaz, dan Iraq. Bahkan Kesultanan Aceh yang jauh di Timur dikatakan pernah juga menerima bantuan dari Turki Utsmani.
Pemerintahan Turki Utsmani baru berakhir beberapa tahun setelah Perang Dunia I. Stanley Lane-Poole (w. 1931), dalam bukunya Turkey (1941: 9)  yang diterbitkan pertama kali tahun 1888, menulis, “Mulai dari Ertoghrul [ayah Utsman, pen.] hingga Sultan Turki yang sekarang, tiga puluh lima pangeran dari jalur lelaki telah memerintah Kekaisaran Utsmani tanpa adanya selaan dalam pergantian kekuasaan. Tidak ada contoh kesinambungan kekuasaan semacam itu dari satu keluarga tunggal di dalam sejarah Eropa.”
Kesultanan Turki Utsmani, sejak pemimpinnya yang awal, menjadikan Islam sebagai landasan utama pemerintahannya. Para pemimpinnya dikenal sebagai ghazi (pejuang, mujahid) dan kesultanannya kadang disebut di dalam buku-buku Sejarah sebagai ghazi-state karena menjadikan jihad sebagai tonggak penting pemerintahan.
Menjelang wafatnya, Utsman memberikan nasihat kepada puteranya, Orhan (w. 1360), “Jangan pernah menyibukkan diri dengan sesuatu yang tidak diperintahkan oleh Allah (SWT). Berkonsultasilah pada para ulama dalam hal-hal yang tidak engkau ketahui” (Maksudoglu, 1993: 42). Nasihat ini jauh dari sekadar basa-basi, karena telah dicontohkan oleh Utsman sendiri yang sering berhimpun dengan para ulama dan melibatkan mereka dalam urusan pemerintahan (Sallabi, 2001: 27). Maka hal ini juga dipegang kuat oleh para penerus Utsman dan menjadi dasar yang mewarnai kebijakan pemerintahan mereka seterusnya.
Para pemimpin Utsmani memiliki hubungan yang sangat baik dengan para ulama dan guru-guru tasawuf. Pengangkatan Orhan sebagai sultan kedua Turki Utsmani dilakukan di sebuah zawiyah yang dikelola oleh kaum sufi (Kia, 2008: 3). Dalam proses penaklukkan Konstantinopel, kita juga membaca besarnya peranan Syeikh Aq Syamsuddin (Aksemseddin) sebagai guru spiritual Muhammad al-Fatih (w. 1481). Syeikh Aq Syamsuddin juga yang diminta oleh al-Fatih untuk mencari makam Abu Ayyub al-Ansari, Sahabat Nabi yang syahid dan dimakamkan di dekat tembok Konstantinopel. Lantas makam itu dirapikan dan disebelahnya dibangun masjid. Sejak saat itu, para Sultan Turki Utsmani menyebut Sahabat Nabi ini sebagai Sultan Ayyub (Eyup Sultan) dan mereka berziarah ke makamnya setiap kali hendak pergi berjihad (Maksudoglu, 1993: 10-11).* (Bersambung)
Alwi Alatas adalah penulis buku-buku sejarah perjuangan Islam
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar

Hadapi Serangan Pejuang Islam, Kaum Yahudi Ramai-Ramai Tanam Pohon Ghorqod

PALESTINA (Panjimas.com) – Sekarang ini lihatlah betapa banyak pohon Ghorqod yang sedang melindungi kaum Yahudi. Tentara Yahudi tidak hanya menggunakan teknologi canggih seperti sistem anti peluru bernama Iron Dome untuk menghadapi gempuran dan serangan roket dari para pejuang Islam di Jalur Gaza Palestina.
Mereka juga menggunakan cara yang lebih tradisional seperti menanam sebuah pohon bernama Ghorqod. Pohon-pohon ini ditanam di sekitar sempadan Zionis Israel dengan genting Gaza untuk menghadapi serangan roket dari Semenanjung Gaza.
Ia berfungsi untuk menghalang pandangan dari para pejuang Islam yang ada di Semenanjung Gaza. “Dengan cara ini warga Zionis Israel yang tinggal disekitar Gaza dapat lebih dilindungi dan disisi lain boleh juga menikmati pemandangan hijau,” ujar salah seorang pegawai tentara Zionis Yahudi, Brigjen Elkabetz.
Pohon Ghorqod
Tentara Yahudi sendiri menyatakan, saat ini penduduk di sekitar sempadan dapat hidup lebih aman sejak diadakannya gencatan senjata dengan Hamas. Gencatan senjata tersebut dicapai setelah Yahudi menggempur
wilayah Jalur Gaza dalam operasi kemiliteran yang diberi nama “Pillar of Defence” (Tonggak Pertahanan) pada November lalu.
Kaedah pertahanan dengan menanam pohon sebenarnya mempunyai sejarah panjang di Israel. Pada saat awal-awal pembangunan negara penjajah Zionis Israel tersebut, kaum Yahudi menanam banyak pohon di wilayahnya untuk menghalangi tentara pasukan Arab yang berperang dengannya.
Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam pada 14 abad yang lalu pernah bersabda dalam hadits Bukhari dan Muslim tentang kisah berlindungnya kaum Yahudi pada pohon Ghorqod pada peperangan melawan kaum muslimin. Teks hadits itu berbunyi,
PM Israel Tanam Pohon Ghorqod“Tidak akan tiba hari kiamat sehingga kaum muslimin berperang melawan Yahudi. Sampai-sampai apabila orang Yahudi bersembunyi di balik pepohonan atau bebatuan, maka pohon dan batu itu akan berseru, ‘wahai Muslim, wahai hamba Allah, ini orang Yahudi ada bersembunyi di balikku, kemarilah dan bunuhlah ia’. Kecuali pohon Ghorqod, karena ia adalah pohon Yahudi”. (Muttafaqun ‘alaihi dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Diriwayatkan oleh Syaikhaini (Bukhari dan Muslim) dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kalian benar-benar akan membunuhi kaum Yahudi, sampai-sampai mereka bersembunyi di balik batu, maka batu itupun berkata, ‘wahai hamba Allah, ini ada Yahudi di belakangku, bunuhlah dia!’.”
Apakah ini merupakan tanda-tanda kebenaran dari sabda manusia mulia dan pilihan Allah SWT, yakni Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itu? Wallahu a’lam bish-showab… [GA/Abu Usamah]

Inilah Fatwa Haram Nikah Beda Agama yang Ditandatangani Ketua MUI Buya HAMKA


Permasalahan nikah beda agama sebenarnya sudah lama difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat.
Musyawarah Nasional II tanggal 11-17 Rajab 1400 H, bertepatan dengan tanggal 26 Mei-1 Juni 1980 M telah mengeluarkan fatwa haram perkawinan campuran atau nikah beda agama.
Saat itu ketua MUI Pusat, Buya HAMKA -rahimahullah- yang menandatangani fatwa tersebut, berikut ini selengkapnya:
PERKAWINAN CAMPURAN

بسم الله الرحمن الرحيم

Majelis Ulama Indonesia dalam Musyawarah Nasional II tanggal 11-17 Rajab 1400 H, bertepatan dengan tanggal 26 Mei-1 Juni 1980 M, setelah:
Mengingat :
1.  Firman Allah :
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ (البقرة : 221
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu’min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu’min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu’min lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. al-Baqarah [2]: 221).
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ وَمَنْ يَكْفُرْ بِالْإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ (المائدة : 5
“…(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita yangberiman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita yang diberi Al-Kitab (Ahlu Kitab) sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amal-amalnya dan ia di akhirat termasuk orang-orang merugi.” (QS. Al-Maidah[5]:5)
فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ (الممتحنة : 10
“…Maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka (wanita mukmin) tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal bagi mereka…” (QS. al-Mumtahanah [60]:10).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا (التحريم : 6
“Hai orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…” (QS. at- Tahrim[66]:6).
2.  Sabda Nabi Muhammad SAW
مَنْ تَزَوَّجَ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ نِصْفَ الْإِيمَانِ ، فَلْيَتَّقِ اللَّهَ فِي النِّصْفِ الْبَاقِي (رواه الطبراني
“Barangsiapa telah kawin, ia telah memelihara setengah bagian dari imannya, karena itu, hendaklah ia taqwa kepada Allah dalam bahagian yang lain” (HR. Tabrani)
Sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Aswad bin Sura’i :
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ، أَوْ يُنَصِّرَانِهِ، أَوْ يُمَجِّسَانِهِ (رواه الأسود السراعى
“Tiap-tiap anak dilahirkan dalam keadaan suci sehingga ia menyatakan oleh lidahnya sendiri. Maka, ibu bapaknyalah yang menjadikannya (beragama) Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”
MEMUTUSKAN
Menfatwakan :
1.  Perkawinan wanita muslimah dengan laki-laki non muslim adalah haram hukumnya
2.  Seorang laki-laki muslim diharamkan mengawini wanita bukan muslim. Tentang perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita Ahlu Kitab terdapat perbedaan pendapat. Setelah mempertimbangkan bahwa mafsadahnya lebih besar daripada maslahatnya, Majelis Ulama Indonesia memfatwakan perkawinan tersebut hukumnya haram
Jakarta, 17 Rajab 1400 H
1 Juni 1980 M
DEWAN PIMPINAN/MUSYAWARAH NASIONAL II
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Ketua Umum
ttd
Prof. Dr. HAMKA
Sekretaris
ttd
Drs. H. Kafrawi

Keutamaan Ahlus Saabiqah (orang-orang Terdahulu lagi Pertama)


(Panjimas.com)- Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam memberikan tarbiyah kepada para sahabatnya, sementara Al Qur’an masih turun kepadanya. Beliau mengajarkan kepada para sahabat agar menghormati keawalan ahlus sabiqah. Al Qur’an telah menyatakan atas hal ini, sebagaimana yang tertuang dalam ayat berikut:
“Tidaklah sama diantara kalian, orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum pemaklukkan (Makkah). Mereka lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik”. (Qs. Al Hadid: 10).
Tak mungkin bagi Khalid bin Walid Rodhiyallohu ‘anhu naik sampai kedudukan Abu Bakar ash Shiddiq, meskipun Khalid dengan pedangnya mempunyai andil yang besar terhadap keruntuhan singgasana Kisra dan Kaisar (Persia dan Romawi).
Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam tidak menyamakan antara orang-orang yang dibebaskan pada Futuh Makkah dengan para Muhajirin yang awal. Bahkan Rabbul ‘Izzati tidak mempersamakan antara mereka. Allah Ta’ala berfirman tentang thabaqah (tingkatan) golongan Muhajirin dan golongan Anshar:
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) diantara orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar”. (Qs. At Taubah: 100).
Pada waktu Abu Bakar berselisih dengan Umar maka Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam berkata dengan marah, “Mengapa engkau tidak biarkan sahabatku! Mengapa engkau tidak biarkan sahabatku! Mengapa engkau tidak biarkan sahabatku!” Yang dimaksud sahabatku adalah Abu Bakar.
Pada waktu Abu Bakar agak terlambat memulai shalat ketika Rosululloh sedang sakit keras. Salah seorang hadirin berkata kepada Umar, “Mengapa engkau tidak maju dan mengimami orang-orang?” Tatkala Rosululloh Shollalohu ‘alaihi wa sallam mendengar suara tapi bukan suara Abu Bakar, maka beliau berkata, “Siapa yang mengimami orang-orang?” Mereka menjawab, “Umar!” Lalu beliau bersabda, “Alloh dan Rosul-Nya menolak hal tersebut! Alloh dan Rosul-Nya menolak hal tersebut! Hendaknya Abu Bakar yang mengimami shalat orang-orang”.
Tatkala Abdurrahman bin ‘Auf berselisih dengan Khalid bin Walid, lalu Khalid mencela Abdurrahman bin ‘Auf, maka Rosululloh murka dan menegur Khalid:
“Janganlah kalian mencaci para sahabatku –padahal Khalid juga sahabatnya-. Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, seandainya salah seorang di antara kalian berinfak emas semisal gunung Uhud, niscaya tidak akan mencapai (pahalanya) satu Mud (dari infak) seorang diantara mereka ataupun setengahnya”.
Dengan demikian, seseorang memperoleh kehormatan karena keawalannya dalam Islam. Seseorang memperoleh kehormatan karena hijrahnya, bahkan sampai dalam penguburan mayatnya. Adalah Rosululloh pada peperangan Uhud mendahulukan mengubur sahabat yang lebih banyak hafalan Qur’annya:
Beliau bersabda:
“Supaya mengimami shalat orang-orang yang paling fasih membaca Kitabulloh, jika tidak, maka diantara mereka yang paling mengerti dengan sunnah Rosululloh, jika tidak, maka siapa di antara mereka yang paling dahulu berhijrah”
Yang paling dahulu berhijrah diantara mereka apabila dalam hal pengetahuan mereka atas Kitabulloh dan Sunnah Rosul-Nya sama.
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam wafat, sementara beliau telah menjadikan as sabiqunal awwalun sebagai sahabat-sahabat kepercayaannya. Kesepuluh sahabat yang berada di sekelilingnya pada permulaan dakwah adalah mereka yang dijanjikan masuk Jannah. Tidak berpengaruh kesalahan terhadap perjalanan seseorang diantara mereka, Sehingga ketika Umar hampir mangkat, maka ia mencalonkan mereka sebagai khalifah penggantinya.
Umar berwasiat: “Sesungguhnya saya –sebagaimana kata Umar- mencalonkan kepada kalian enam orang yang mana ketika Rasulullah saw wafat, maka beliau dalam keadaan ridha atas mereka”. Lalu umar menyebut keenam sahabat yang dijanjikan masuk Jannah oleh Rosululloh. Mereka adalah enam orang yang paling dahulu keislamannya dan yang paling dahulu hijrahnya.
Adalah Rosululloh saat beliau memimpin perjalanan dakwah, maka beliau mengajarkan kepada kita bahwa kebaikan yang banyak dapat menutupi kesalahan-kesalahan yang kecil.
Beliau bersabda:
“Maafkanlah orang-orang yang memiliki jasa besar dari kesalahan mereka. Demi dzat yang jiwaku berada di tanganNya, sesungguhnya salah seorang diantara mereka tergelincir (dalam kesalahan) namun tangannya di tangan Ar Rahman”.
Ibnul Qayyim menetapkan suatu kaidah, sehubungan dengan hadits di atas:
“Seseorang apabila banyak kebajikannya dan kebaikannya dalam masyarakat, maka ia diberi pengampunan, dimana hal itu tidak diberikan pada yang lain, dan tidak dihiraukan sebagian kesalahan-kesalahan yang ia lakukan, hal mana tidak berlaku bagi yang lain”.
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Apabila volume air mencapai kadar dua qullah*, maka air tersebut tidak mengandung kotoran”.
* Dua qullah adalah volume air sebanyak kurang lebih 60 cm3.
Air yang banyak, apabila kemasukan najis kecil di dalamnya, maka najis tersebut tidak mempengaruhi kesuciannya. Demikian pula halnya seseorang apabila banyak kebajikannya, maka sebagian kesalahan-kesalahan kecilnya tidak dipandang atau tidak dihiraukan. Kesalahan-kesalahan kecil tersebut akan tenggelam dalam lautan kebajikannya.
Oleh karenanya, tatkala Umar meradang terhadap Hathib bin Abi Balta’ah, yang telah melakukan tindak pengkhianatan besar, membocorkan rahasia Rosululloh yang akan berencana menyerang Makkah dengan mengirim surat kepada kaum kafir Quraisy. Umar berkata memohon idzin kepada Rosululloh, “Wahai Rosululloh, perkenankanlah saya memenggal lehernya, karena sesungguhnya dia telah menjadi munafik”. Ternyata beliau melarangnya, dan mengajarkan kepada mereka kaedah ini:
“Tidakkah engkau tahu hai Umar, sesungguhnya dia ikut dalam Perang Badr Boleh jadi Alloh telah melihat hati para ahli Badr, lalu dia berfirman: “Berbuatlah sekehendak kalian, karena sesungguhnya Aku telah mengampuni kalian”.
Dikutip dari Tarbiyyah Jihadiyyah karya Assyahid Abdulloh ‘Azzam -Rohimahulloh-.
[Nzal]

Berikut Ini Fatwa MUI Soal Haramnya Umat Islam Mengikuti Natal Bersama


(Panjimas.com) – Berikut ini adalah fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang haramnya umat Islam mengikuti Perayaan Natal Bersama. Halaman ini di buat sebagaimana mestinya dalam bentuk yang bisa di sajikan di halaman situs dengan isi yang sama dengan dokumen asli.
PERAYAAN NATAL BERSAMA
بسم الله الرحمن الرحيم
Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI), setelah :
Memperhatikan :
  1. Perayaan Natal Bersama pada akhir-akhir ini disalah artikan oleh sebagian ummat Islam dan disangka dengan ummat Islam sebagaimana merayakan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW.
  2. Karena salah pengertian tersebut ada sebagian orang Islam yang ikut dalam perayaan Natal dan duduk dalam kepanitiaan Natal.
  3. Perayaan Natal bagi orang-orang Kristen adalah merupakan ibadah.
Menimbang :
  1. Ummat Islam perlu mendapat petunjuk yang jelas tentang Perayaan Natal Bersama.
  2. Ummat Islam agar tidak mencampur adukkan aqiqah dan ibadahnya dengan aqiqah dan ibadah agama lain.
  3. Ummat Islam harus berusaha untuk menambah Iman dan Taqwanya kepada Allah SWT.
  4. Tanpa mengurangi usaha ummat Islam dalam Kerukunan Antar Ummat Beragama di Indonesia.
Meneliti Kembali :
Ajaran-ajaran agama Islam, antara lain:
  1. Bahwa ummat Islam diperbolehkan untuk bekerja sama dan bergaul dengan ummat agama-agama lain dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan masalah keduniaan, berdasarkan atas:
    1. Al Qur`an surat Al-Hujurat ayat 13: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan Kamu sekattan dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan Kami menjadikan kamu sekalian berbangsa-bangsa dan bersuku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah adalah orang yang bertaqwa (kepada Allah), sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
    2. Al Qur`an surat Luqman ayat 15: “Dan jika kedua orang tuamu memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang kamu tidak ada pengetahuan tentang itu, maka janganlah kamu mengikutinya, dan pergaulilah keduanya di dunia ini dengan baik. Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian kepada-Ku lah kembalimu, maka akan Ku-berikan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”
    3. Al Qur`an surat Mumtahanah ayat 8: “Allah tidak melarang kamu (ummat Islam) untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang (beragama lain) yang tidak memerangi kamu karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”
  2. Bahwa ummat Islam tidak boleh mencampuradukkan aqidah dan peribadatan agamanya dengan aqidah dan peribadatan agama lain berdasarkan :
    1. Al Qur`an surat Al-Kafirun ayat 1-6: “Katakanlah hai orang-orang Kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah pula menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku.”
    2. Al Qur`an surat Al Baqarah ayat 42: “Dan jika kedua orang tuamu memaksamu untuk mempersatukan dengan aku sesuatu yang kamu tidak ada pengetahuan tentang itu, maka janganlah kamu mengikutinya dan pergaulilah keduanya di dunia ini dengan baik Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Kita, kemudian kepada-Kulah kembalimu, maka akan Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”
  3. Bahwa ummat Islam harus mengakui kenabian dan kerasulan Isa Al Masih bin Maryam sebagaimana pengakuan mereka kepada para Nabi dan Rasul yang lain, berdasarkan atas:
    1. Al Qur`an surat Maryam ayat 30-32: “Berkata Isa: Sesungguhnya aku ini hamba Allah. Dia memberiku Al Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi. Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkahi di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku mendirikan shalat dan menunaikan zakat selama aku hidup. (Dan Dia memerintahkan aku) berbakti kepada ibumu (Maryam) dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka.”
    2. Al Qur`an surat Al Maidah ayat 75: “Al Masih putera Maryam itu hanyalah seorang Rosul yang sesungguhnya telah lahir sebelumnya beberapa Rosul dan ibunya seorang yang sangat benar. Kedua-duanya biasa memakan makanan(sebagai manusia). Perhatikanlah bagaimana Kami menjelaskan kepada mereka (ahli Kitab) tanda-tanda kekuasaan (Kami), kemudian perhatikanlah bagaimana mereka berpaling (dari memperhatikan ayat-ayat Kami itu).”
    3. Al Qur`an surat Al Baqarah ayat 285: “Rasul (Muhammad telah beriman kepada Al Qur`an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman) semuanya beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya dan Rasul-Nya. (Mereka mengatakan) : Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari Rasul-rasulnya dan mereka mengatakan : Kami dengar dan kami taat. (Mereka berdoa) Ampunilah Ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.”
  4. Bahwa barangsiapa berkeyakinan bahwa Tuhan itu lebih daripada satu, Tuhan itu mempunyai anak Isa Al Masih itu anaknya, maka orang itu telah Kafir dan musyrik, berdasarkan atas :
    1. Al Qur`an surat Al Maidah ayat 72: “Sesungguhnya telah Kafir orang-orang yang berkata : Sesungguhnya Allah itu ialah Al Masih putera Maryam. Padahal Al Masih sendiri berkata : Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga dan tempatnya ialah neraka, tidak adalah bagi orang zhalim itu seorang penolong pun.”
    2. Al Qur`an surat Al Maidah ayat 73: “Sesungguhnya Kafir orang-orang yang mengatakan : Bahwa Allah itu adalah salah satu dari yang tiga (Tuhan itu ada tiga), padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain Tuhan yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu pasti orang-orang Kafir itu akan disentuh siksaan yang pedih.”
    3. Al Qur`an surat At Taubah ayat 30 : “Orang-orang Yahudi berkata Uzair itu anak Allah, dan orang-orang Nasrani berkata Al Masih itu anak Allah. Demikianlah itulah ucapan dengan mulut mereka, mereka meniru ucapan/perkataan orang-orang Kafir yang terdahulu, dilaknati Allah-lah mereka bagaimana mereka sampai berpaling.”
  5. Bahwa Allah pada hari kiamat nanti akan menanyakan Isa, apakah dia pada waktu di dunia menyuruh kaumnya agar mereka mengakui Isa dan Ibunya (Maryam) sebagai Tuhan. Isa menjawab “Tidak” : Hal itu berdasarkan atas :
    Al Qur`an surat Al Maidah ayat 116-118: “Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman: Hai Isa putera Maryam adakah kamu mengatakan kepada manusia (kaummu): Jadikanlah aku dan ibuku dua orang Tuhan selain Allah, Isa menjawab : Maha Suci Engkau (Allah), tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakannya tentu Engkau telah mengetahuinya, Engkau mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang ghaib. Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang engkau perintahkan kepadaku (mengatakannya), yaitu : sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu dan aku menjadi saksi terhadapa mereka selama aku berada di antara mereka. Tetapi setelah Engkau wafatkan aku, Engkau sendirilah yang menjadi pengawas mereka. Engkaulah pengawas dan saksi atas segala sesuatu. Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu dan Jika Engkau mengampunkan mereka, maka sesungguhnya Engkau Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.”
  6. Islam mengajarkan Bahwa Allah SWT itu hanya satu, berdasarkan atas Al Qur`an surat Al Ikhlas :
    “Katakanlah : Dia Allah yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang segala sesuatu bergantung kepada-Nya. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada seorang pun / sesuatu pun yang setara dengan Dia.”
  7. Islam mengajarkan kepada ummatnya untuk menjauhkan diri dari hal-hal yang syubhat (samar-samar) dan dari larangan Allah SWT serta untuk mendahulukan menolak kerusakan daripada menarik kemaslahatan, berdasarkan atas :
    1. Hadits Nabi dari Nu`man bin Basyir : “Sesungguhnya apa apa yang halal itu telah jelas dan apa apa yang haram itu pun telah jelas, akan tetapi diantara keduanya itu banyak yang syubhat (seperti halal, seperti haram) kebanyakan orang tidak mengetahui yang syubhat itu. Barang siapa memelihara diri dari yang syubhat itu, maka bersihlah agamanya dan kehormatannya, tetapi barang siapa jatuh pada yang syubhat maka berarti ia telah jatuh kepada yang haram, semacam orang yang mengembalakan binatang makan di daerah larangan itu. Ketahuilah bahwa setiap raja mempunyai larangan dan ketahuilah bahwa larangan Allah ialah apa-apa yang diharamkan-Nya (oleh karena itu hanya haram jangan didekati).”
    2. Kaidah Ushul Fiqih
      “Menolak kerusakan-kerusakan itu didahulukan daripada menarik kemaslahatan-kemaslahatan (jika tidak demikian sangat mungkin mafasidnya yang diperoleh, sedangkan masholihnya tidak dihasilkan).”
Memutuskan dan Memfatwakan :
  1. Perayaan Natal di Indonesia meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa AS, akan tetapi Natal itu tidak dapat dipisahkan dari soal-soal yang diterangkan diatas.
  2. Mengikuti upacara Natal bersama bagi ummat Islam hukumnya haram.
  3. Agar ummat Islam tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah SWT, dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan Natal.
Ditetapkan : Jakarta, 1 Jumadil Awal 1401 H/7 Maret 1981 M
Komisi Fatwa
Majelis Ulama Indonesia
Ketua                                  Sekretaris
K.H.M SYUKRI. G             Drs. H. MAS`UDI
Mengetahui
Ketua Umum
Prof Dr Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka)
NB: Pada naskah asli fatwa MUI di atas terdapat teks Arab untuk teks Al Qur’an dan Hadits namun karena sesuatu dan lain hal (masalah teknis), maka kami tidak mencantumkannya.