Rabu, 02 Maret 2016

Larangan Nongrong di Pinggir Jalan


Larangan Nongrong di Pinggir Jalan
Jalanan, taman, cafe, tempat-tempat gelap menjadi sasaran nongkrong ABG yang ujungnya hanya akan melahirkan keburukan [ilustrasi]
BAGI Anda yang biasa nongkrong di pinggir jalan,  perhatikan pesan Rasulullah Shallalloh ‘alaihi wasallam berikut:
وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ اَلْخُدْرِيِّ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( إِيَّاكُمْ وَالْجُلُوسَ بِالطُّرُقَاتِ قَالُوا: يَا رَسُولَ اَللَّهِ! مَا لَنَا بُدٌّ مِنْ مَجَالِسِنَا; نَتَحَدَّثُ فِيهَا قَالَ: فَأَمَّا إِذَا أَبَيْتُمْ فَأَعْطُوا اَلطَّرِيقَ حَقَّهُ قَالُوا: وَمَا حَقُّهُ؟ قَالَ: غَضُّ اَلْبَصَرِ وَكَفُّ اَلْأَذَى وَرَدُّ اَلسَّلَامِ وَالْأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنْ اَلْمُنْكَرِ )  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Abu Said al-Khudry Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Jauhkanlah dirimu untuk suka duduk di jalan-jalan.” Mereka berkata: Wahai Rasulullah itu hanyalah bagian dari tempat duduk kami di mana kami biasa berbincang-bincang di sana. Beliau menjawab: “Jika kalian menolak (nasehat ini) maka berilah jalan kepada haknya.” Mereka bertanya: Apakah haknya? Beliau bersabda: “Menundukkan pandangan tidak mengganggu menjawab salam menyuruh kepada kebaikan dan melarang kemungkaran.”[Muttafaq Alaihi].*

Carilah Keberkahan dalam Hidup


Carilah Keberkahan dalam Hidup
FISCAL.CO.ID
Meski tak bisa melihat, ia masih berusaha bekerja dengan halal [ilustrasi]
 Oleh: Ahmad Munir
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُواْ وَاتَّقَواْ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ وَلَـكِن كَذَّبُواْ فَأَخَذْنَاهُم بِمَا كَانُواْ يَكْسِبُونَ
“Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka barokah dari langit dan bumi, tapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.”(QS:  Al-A’raaf : 96)
Mengapa uang yang banyak, rumah yang besar, istri yang jelita atau suami yang tampan, ilmu yang luas tidak mengangkat derajat pemiliknya? Malah menghinakannya? bukan kebahagiaan atau ketentraman yang diperoleh melainkan masalah dan malapetaka. Apa sebabnya? Sebenarnya penyebabnya sederhana sekali, yakni bahwa semua itu tidak barakah.
Kita tidak boleh cukup senang memiliki sesuatu. Tetapi yang harus lebih kita senangi adalah keberkahan atas segala sesuatu itu. Jadi bukan takut tidak memiliki sesuatu tetapi harus lebih takut sesuatu yang sudah dimiliki tidak membawa berkah.
Kita lihat, misalnya suatu rumah tangga yang penuh dengan percekcokan, sebenarnya harus dicurigai jangan-jangan prosedur, keilmuan, dan etika dalam mengarungi dunia rumah tangga tidak cocok dengan yang disyariatkan Allah Subhanahu Wata’ala .
Muslim harus takut dengan hidup yang tidak berkah, yaitu hidup yang tidak bermanfat bagi dunia juga tidak bermanfaat bagi akhirat. Mulailah berhati-hati dengan uang.
Bagaimana supaya uang menjadi berkah?
Jujur
Seperti halnya gelas. Gelas hanya bisa enak digunakan untuk minum kalau terlebih dahulu gelas itu kita bersihkan. Jangan sekali-kali kita mencoba untuk tidak jujur.
Sebab, jujur atau tidak jujur tetap Allah Subhanahu Wata’ala  yang memberi. Rizki penjahat datang dari Allah Subhanahu Wata’ala, rizki takmir masjid juga datang dari Allah Subhanahu Wata’ala .
Bedanya, rizki yang diberikan kepada penjahat tadi haram, tidak berkah, sedangkah yang diberikan kepada orang jujur adalah rizki yang berkah. Sebab sebenarnya meskipun penjahat, kalau Allah Subhanahu Wata’ala  tidak memberi, tidak pernah dia dapatkan hasilnya. Banyak pencuri yang gagal, koruptor yang gagal. Semua itu karena kehendak Allah Subhanahu Wata’ala .
Hak orang lain
Sesudah kita jujur, hati-hati pula jangan sampai ada hal-hak orang lain yang terampas atau belum tertunaikan, apalagi hak ummat. Na’udzubillahi min dzalik. 
Alkisah, Umar bin Abdul Aziz r.a., ketika beliau sedang mengerjakan tugas negara malam hari di rumahnya, tiba-tiba anaknya mengetuk pintu kamar. Kemudian beliau membuka pintu dan lampu di kamar tersebut dimatikannya. Si anak lalu bertanya, “Kenapa lampu engkau matikan, ya Abi?” lalu beliau menjawab, “Karena minyak pada lampu ini milik negara. Tidak layak kita membicarakan urusan keluarga dengan menggunakan fasilitas negara”, begitulah Umar, sangat hati-hatinya karena mengharapkan hidupnya mendapat ridha dan berkah dari Allah Subhanahu Wata’ala .
Dari cerita yang dikisahkan di atas mengandung berbagai hikmah yang dapat kita teladani. Menggunakan jabatan dan wewenang yang sangat membawa berkah tiada lain kecuali mengenyampingkan kepentingan dan kesenangan pribadi di atas hak dan kesenangan Allah Subhanahu Wata’ala .
Harta kekayaan yang melimpah yang kita kuasai, yang membawa berkah, tiada lain kecuali harta yang bersih yang tertunaikan kewajiban-kewajibannya baik hak orang lain apalagi hak umat. Wallahu a’lam.*


Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar

Sedekah Tak Mengurangi Harta


Sedekah Tak Mengurangi Harta
عن أبي هُريرة رضيَ اللَّهُ عنه أَنَّ رسولَ اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم قال : « مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ ، وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْداً بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزّاً ، وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ للَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ عَزَّ وجلَّ » رواه مسلم .
 Dari Abu Hurairah r.a. bahawasanya Rasulullah bersabda: “Tidaklah sesuatu pemberian sedekah itu mengurangi banyaknya harta. Tidaklah Allah itu menambahkan seseorang akan sifat pengampunannya, melainkan ia akan bertambah pula kemuliaannya. Juga tidaklah seseorang itu merendahkan diri kerana mengharapkan keredhaan Allah, melainkan ia akan diangkat pula darjatnya oleh Allah ‘Azzawajalla.* (Hadits Riwayat Muslim)
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar

Berlindung dari Neraka


Berlindung dari Neraka
عَنْ عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ قَالَ
ذَكَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ النَّارَ فَتَعَوَّذَ مِنْهَا وَأَشَاحَ بِوَجْهِهِ ثُمَّ ذَكَرَ النَّارَ فَتَعَوَّذَ مِنْهَا وَأَشَاحَ بِوَجْهِهِ قَالَ شُعْبَةُ أَمَّا مَرَّتَيْنِ فَلَا أَشُكُّ ثُمَّ قَالَ اتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فَبِكَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ
“Dari ‘Adi bin Hatim dia berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan tentang neraka, lalu beliau meminta berlindung darinya sambil mengusap wajahnya, kemudian beliau menyebutkan tentang neraka lagi lalu meminta berlindung darinya sambil mengusap wajahnya. Syu’bah berkata; saya tidak ragu beliau melakukannya hingga dua kali kemudian beliau bersabda: “Takutlah kalian kepada neraka walau dengan sebutir kurma, jika tidak mendapatkan, hendaknya dengan perkataan yang baik.” {Shahih Bukhari: 5564, Kitab: Adab, Bab: Ucapan yang baik}
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar

Berkumpul dan “Berlebaran” di Surga


Berkumpul dan “Berlebaran” di Surga
Di surga mereka juga akan saling mencari. Mereka ingin bersua dan dipertemukan kembali dengan keluarga dan para sahabat dahulu [ilustrasi]
LEBARAN hari raya di negeri ini biasanya identik dengan musim mudik alias pulang kampung. Ada bahagia yang tak terkira jika bisa berkumpul bersama keluarga di kampung halaman. Tak heran sebagian orang bahkan rela berkorban dan bersusah payah di perjalanan sekedar untuk bertemu kembali dengan orang-orang yang dicintai tersebut.
Kebiasaan tersebut rupanya sekaligus fitrah bagi manusia. Kelak di surga mereka juga akan saling mencari. Mereka ingin bersua dan dipertemukan kembali dengan keluarga dan para sahabat dahulu. Digambarkan, jika saling berjumpa maka penduduk surga itu lalu saling bertegur sapa sambil tersenyum bahagia.
Allah berfirman:
وأقبل بعضهم على بعض يتساءلون ، قالوا إنا كنا قبل في أهلنا مشفقين ، فمن الله علينا ووقانا عذاب السموم
“Dan sebahagian mereka menghadap kepada sebahagian yang lain saling tanya-menanya. Mereka berkata: Sesungguhnya kami dahulu, sewaktu berada di tengah-tengah keluarga kami merasa takut (akan diazab). Maka Allah memberikan karunia kepada kami dan memelihara kami dari azab neraka.”(Surah ath-Thur [52]: 25-27).
Layaknya nostalgia keluarga, orang-orang beriman yang dimasukkan ke surga memilih kumpul bersama keluarga dan saling mengingat kenangan lalu mereka. Mulai dari kisah kepayahan mereka dalam menjalankan ketaatan hingga sulitnya mereka bertahan dari serbuan godaan dan bisikan untuk melaksanakan kemaksiatan di dunia. Semua itu diselingi dengan pujian kepada Allah yang menjaga mereka dengan limpahan rahmat-Nya.
Menurut mufassir Ibn Katsir, di sela cengkerama penduduk surga, mereka lalu saling menjamu dengan suguhan semua jenis minuman dan makanan yang bebas diambil dari mana saja. Dalam riwayat lain, ada yang bertanya, bagaimana cara kalian meraih surga? Jawab mereka, kami senantiasa saling memelihara serta mengingatkan di antara keluarga. Kami selalu khawatir dan takut sekiranya ada di antara anggota keluarga yang tergelincir ke dalam neraka.
Visi Keluarga dalam Islam
Bagi orang beriman, pernikahan bukanlah sekedar memenuhi kebutuhan biologis manusia. Ibarat suatu perjalanan, keluarga hanyalah terminal singgah menuju pemberhentian akhir di hari Kiamat. Perannya vital, sebab keluarga adalah kumpulan orang terdekat yang paling banyak berinteraksi dalam kehidupan seseorang. Mereka bisa mempengaruhi pertumbuhan iman dan amal seorang Muslim. Orang itu tergantung atas agama sahabat dan orang-orang yang digaulinya. Demikian Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam (Saw) bersabda.
Untuk itu, tujuan utama keluarga Muslim adalah saling menjaga dan mengingatkan agar terhindar dari siksa neraka. Visi besar itu tentu membutuhkan persiapan dan pengorbanan yang tak sedikit. Ada godaan dan cobaan yang pasti menyertai perjalanan berkeluarga, terlebih di tengah arus materialisme dan hedonisme saat ini.
Salah satu problema berkeluarga adalah menyangka bahwa setelah pernikahan itu semua urusan lalu beres dan selesai. Berikutnya ia merasa tidak mau berhadapan dengan masalah. Sebab yang tersisa di benaknya hanyalah bersenang-senang dan menikmati hidup tanpa susah.
Akibatnya, keluarga dijalani tanpa memiliki visi dan misi yang jelas. Berfoya-foya dan bergaya hedonis menjadi style keluarga setiap saat. Alih-alih membangun kebaikan bersama keluarga yang lainnya, ia sendiri tenggelam dalam ilusi kesenangan duniawi tanpa tahu kemana keluarganya hendak dikemudi.
Keluarga demikian biasanya seringkali lalai dengan komitmen tujuan berkeluarga. Yaitu saling mengingatkan dan menegur jika di antara mereka lalai akan pedihnya neraka Jahannam kelak.
Sebagian orang tua ada juga yang keliru menganggap tugas mendidik keluarga sudah selesai dengan mengirim anaknya ke sekolah-sekolah mahal. Merasa bahwa pendidikan anak adalah tugas guru di sekolah atau ustadz serta kiai di pesantren. Akibatnya orang tua tak mau tahu dengan perkembangan anak-anaknya. Ia menduga tugasnya selesai dengan membiayai anak-anaknya sekedar sekolah dan kuliah tinggi-tinggi.
Allah berfirman:
ياأيها الذين آمنوا قوا أنفسكم وأهليكم نارا وقودها الناس والحجارة عليها ملائكة غلاظ شداد لا يعصون الله ما أمرهم ويفعلون ما يؤمرون
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (Surah at-Tahrim [66]: 6).
Mari kita menjaga diri dan keluarga kita semua agar terhindar dari api neraka. Kita berharap agar Allah Subanahu Wata’ala bisa mempertemukan masing-masing kita dengan keluarga besar, sahabat dan karib kita bereuni di Surganya Allah. Amin.*/Masykur Abu Jaulah
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar

Pertarungan Abadi Pembela Haq dan Bathil, Di Mana Kita?


Pertarungan Abadi Pembela Haq dan Bathil, Di Mana Kita?
ilustrasi
BAGI seorang Muslim, iman yang benar adalah iman yang mampu menggelorakan semangat dalam jiwa. Iman yang benar ialah iman yang tidak sekedar menyatakan kata yakin dengan penuh keyakinan.
Sebab lebih dari itu, ia sanggup mendorong pemiliknya untuk berbuat amal kebaikan dan bersabar atasnya. Sebagaimana iman mampu menahan pemiliknya dari rayuan hawa nafsu yang menggelincirkan.
Iman tersebut dikatakan nafi’ (bermanfaat) ketika ia tidak diam begitu saja, tanpa ada keinginan untuk berbuat amal shaleh. Iman disebut berfungsi jika mengalirkan motivasi yang deras untuk terus bermujahadah (all out) dalam sebuah kebaikan, hingga tiba masanya orang itu mendaki puncak tertinggi amal shaleh seorang Muslim, yaitu jihad (berperang) di jalan-Nya.
Menurut Syeih Abdurrahman Nashir as-Sa’di Rahimahullahu, ayat berikut ini bukan sekedar berita yang menceritakan tentang adanya pertarungan abadi antara orang beriman versus orang kafir. Namun ia juga perintah yang wajib dilaksanakan bagi setiap orang beriman.
Allah berfirman:
الَّذِينَ آمَنُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ الطَّاغُوتِ فَقَاتِلُوا أَوْلِيَاءَ الشَّيْطَانِ إِنَّ كَيْدَ الشَّيْطَانِ كَانَ ضَعِيفًا
“Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan syaitan itu, karena sesungguhnya tipu daya setan itu adalah lemah.” (Surah an-Nisa [4]: 76).
As-Sa’di mengingatkan, hendaknya setiap Muslim selalu menyadari kandungan ayat di atas. Jika selama ini orang-orang kafir begitu bergairah menabuh genderang perang melawan umat Islam. Mereka bersemangat dan bersabar melakukan keburukan dan kemaksiatan.  Ibaratnya, antara haq danbathil sampai hari kiamat tak akan bertemu.
Di antara mereka sampai berani dan rela mengorbankan apa yang dimiliki. Mulai dari waktu, fikiran, tenaga, bahkan hingga harta dan nyawa sekalipun. Lalu bagaimana dengan kita sebagai umat Islam.
Adakah di antara kita yang benar-benar telah mengurus agama ini? Adakah kita berani mengklaim jika hidup yang hanya sebentar ini benar-benar telah kita habiskan dalam memperjuangkan agama dan kebenaran?
Di satu sisi boleh jadi kita lantang berteriak menyatakan keyakinan terhadap syariat Islam. Namun di saat yang sama terkadang kita seolah “ragu” dengan kebenaran tersebut. Hal ini terbukti dengan realitas di tengah umat Islam sekarang.
Alih-alih memperjuangkan agama dan dakwah. Menegakkan shalat berjamaah lima waktu saja terkadang kita masih enggan dan bermalas-malasan di rumah. Seribu satu alasan lalu dimunculkan untuk menutupi kemalasan tersebut.
Rahasia kelemahan setan
Ayat di atas membantah asumsi bahwa setan itu musuh yang kuat dan sulit dikalahkan. Setidaknya itulah yang diajarkan oleh Allah Ta’ala, Zat yang menciptakan bumi dan langit serta seluruh apa yang ada di dalamnya. Mufassir Imam at-Thabari Rahimahullahu lalu menjelaskan permasalahan tersebut.
Menurutnya, umat Islam jangan terjebak dengan anggapan setan itu musuh yang kuat. Sebab itu pukulan awal yang justru langsung menohok pertahanan iman seseorang.
Setan menjadi semakin kuat sebab terlanjur kita bersikap inferior terhadapnya. Lebih dulu merasa lemah atau sejak awal merasa tidak bisa menghadapinya.
Kondisi demikian malah semakin membuat setan leluasa mengerjai orang tersebut.
Menurut Imam at-Thabari, tak lain karena kekuatan orang-orang beriman itu bersandar langsung kepada Zat Yang Mahakuat lagi Mahaperkasa.
Jauh-jauh hari Allah telah memberi busyrah (kabar gembira) kepada para hamba-Nya. Siapa saja diantara mereka yang menolong agama Allah, niscaya Allah tak segan menolong dia pula. Kebalikan dari pengikut musuh-musuh Allah, mereka hanya mampu mengais harapan dari tipuan setan dan kekuatan iblis saja. Padahal setan dan iblis notabene juga makhluk ciptaan Allah yang sangat lemah dan hina di hadapan kemuliaan Sang Khalik (Sang Pencipta).*/Masykur Abu Jaulah
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar

Menggunakan Harta di Jalan Allah


Menggunakan Harta di Jalan Allah
عَنْ خَوْلَةَ الأَنْصَارِيَّةِ رضي الله عنها قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم : “إِنَّ رِجَالاً يَتَخَوَّضُوْنَ فِيْ مَالِ اللَّهِ بِغَيْرِ حَقٍّ فَلَهُمُ النَّارُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.” أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيُّ.
“Dari Khaulah al Anshariyyah Radiyallahu anha , ia berkata: Rasulullah Sallallahu Alayhi Wasallam bersabda: “Sesungguhnya orang-orang yang menggunakan harta Allah dengan cara tidak benar, bagi mereka adalah neraka pada hari kiamat.” (HR. al Bukhari).*
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar

Al-Quran Datang untuk Meringankan, Bukan Memberatkan Manusia


Al-Quran Datang untuk Meringankan, Bukan Memberatkan Manusia
MUH. ABDUS SYAKUR/HIDAYATULLAH.COM
Seakan terinspirasi, penumpang pria ini baca al-Qur'an juga. [Foto: Syakur]
Dikisahkan bahwa orang-orang Yahudi berkata: Apakah kalian tidak heran dengan perbuatan Nabi Muhammad? Ia menyuruh sahabatnya dengan suatu urusan lalu ia juga yang melarang untuk dikerjakan. Setelah itu, dia menyuruh kembali sahabatnya dengan perintah lain yang sebaliknya.
Nabi berkata dengan suatu ucapan pada hari ini dan ia menghapusnya di keesokan harinya. Tidaklah al-Quran itu kecuali ucapan Muhammad yang dikeluarkan seenaknya saja. Ucapan yang saling bertolak belakang. (Lihat tafsir al-Kasysyaf, az-Zamakhsyari)
Ayat ini lalu turun menyanggah sangkaan buruk orang Yahudi tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala (Swt) berfirman:
ما ننسخ من آية أو ننسها نأت بخير منها أو مثلها ألم تعلم أن الله على كل شيء قدير
“Ayat mana saja  yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu?” (Surah al-Baqarah [2]: 106).
Menilik sabab nuzul ayat, ayat ini termasuk yang biasa jadi “batu loncatan” kaum liberal untuk menyerang al-Quran sebagai sesuatu yang tidak suci alias hanya sebagai produk budaya manusia (muntaj tsaqafi).
Secara khusus, Mufassir Muhammad Ali ash-Shabuni membantah anggapan orang-orang yang keliru dalam memahami ayat di atas.
Hal itu dijelaskan lebih jauh dengan sub judul Lathaif at-Tafsir (kehalusan tafsir) dalam karyanya “Ayat al-Ahkam min al-Quran” (Cetakan Dar ash-Shabuni, Kairo: 2007, cetakan kesatu).
Berikut penjelasannya:
Pertama, Allah menyebut nasakh (penghapusan) di dalam al-Quran sekaligus hikmah di balik perkara tersebut. Yaitu menghadirkan sesuatu yang lebih baik bagi urusan hamba-hamba-Nya.
Kabar nasakh itu setidaknya mengandung dua hal. Apa yang lebih ringan untuk manusia dari sisi hukum atau apa yang lebih baik buat manusia dari urusan dunia dan agama.
Imam al-Qurthubi berkata, urusan yang kedua lebih utama. Sebab Allah mengatur seorang mukallaf dengan apa yang bermaslahat padanya. Bukan semata karena pertimbangan berat atau ringan dan disesuaikan dengan tabiat manusia.
Terkadang ada hukum yang diubah justru kepada sesuatu yang lebih memberatkan. Misalnya, menasakh puasa Asyura menjadi kewajiban puasa Ramadhan sebulan penuh, tentunya hal itu untuk maslahat hamba itu sendiri.
Dengan ibadah puasa Ramadhan, manusia lalu mendapatkan ganjaran pahala yang lebih banyak.
Kedua, sebagian ulama menolak kata “nunsiha” (Kami jadikan (manusia) lupa) untuk dimaknai sebagai derivasi (turunan kata) dari “nisyan” atau lupa, lawan daripada mengingat.
Sebab hal itu tidak mungkin terjadi pada Nabi Muhammad Shallallahu alaih wasallam (Saw) di mana Allah telah membacakan ayat-ayat al-Quran dan tidak mungkin dilupa.
Allah berfirman;
سَنُقْرِؤُكَ فَلَا تَنسَى
“Kami akan membacakan (Al Quran) kepadamu (Muhammad) Maka kamu tidak akan lupa.” (Surah al-A’la [87]: 6).
Ali ash-Shabuni lalu mengutip penjelasan Ibn al-Athiyyah al-Andalusi tentang persoalan di atas. Menurut Ibn al-Athiyyah, kelupaan seorang Nabi ketika itu menjadi ketetapan takdir Allah merupakan hal wajar untuk terjadi, baik secara akal ataupun syara’.
Sedang kelupaan Nabi Muhammad sebagai bentuk kelalaian yang menyebabkan agama ini rusak maka Nabi terjaga (makshum) dari hal tersebut.
Ketiga, firman Allah; “Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya.”
Lafadz “khairiyah” di sini bermaksud sebagai sesuatu yang lebih baik(afdhaliyah).  Yaitu kemudahan (suhulah) dan keringanan (khiffah).
Ia tidak diartikan afdhaliyah dari sisi tilawah atau bacaan. Sebab semuanya berasal dari Allah sebagai firman-Nya, tidak ada perbedaan dalam hal tersebut. Di mana seluruh ayat-ayat Allah adalah mukjizat secara mutlak.
Al-Qurthubi menambahkan, lafadz “khair”menunjukkan sifat unggul danafdhal. Artinya, ayat tersebut diganti dengan urusan yang lebih bermanfaat bagi manusia. Baik dalam urusan dunia jika yang menggantinya itu lebih ringan ataupun urusan Akhirat sekiranya yang menasakh itu dianggap lebih berat dari sebelumnya.
Termasuk yang sebanding dengannya jika penggantinya itu setara dengan sebelumnya. Sekali lagi, ia bukan untuk dibandingkan atau ada ayat yang lebih baik antara satu dengan lain.
Senada Abu Bakar al-Jasshash menambahkan, lafadz “bi khairin minha” dimaksudkan untuk memudahkan (taysir).
Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas dan Qatadah. Menurut al-Jasshash, tidak ada seorangpun di antara para ulama yang mengartikan dengan lebih afdhal dalam hal bacaan.
Sebab seorang Muslim tidak boleh mengatakan bahwa ada ayat tertentu yang lebih baik daripada ayat selainnya dalam hal tilawah atau bacaan. Semuanya adalah mukjizat dan kalamullah.
Keempat, sebagai penutup, Ali ash-Shabuni menyimpulkan, jika dalam proses kehidupan manusia perubahan atau penghapusan suatu hukum dan keadaan adalah mutlak terjadi.
Bagaimana mungkin ada manusia yang mengingkari adanya perubahan tersebut yang kaitannya dengan agama dan umat. Sedang hal itu diyakini untuk sebuah hal yang lebih baik.
Sebab Allah Yang Maha Mengetahui sendiri yang langsung menasakh ayat-Nya. Mahasuci Allah dengan segala nama-Nya yang baik dan sifat-Nya yang tinggi.*/Masykur Abu Jaulah
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar

Empat Karakter Lebah yang Dapat Ditiru Manusia


Empat Karakter Lebah yang Dapat Ditiru Manusia
Lebah mengeluarkan madu, dan madu mempunyai khasiat kesehatan untuk manusia. Dia produktif dengan kebaikan, dan hasilnya dapat bermanfaat bagi mahluk lain [ilustrasi]
 عَبْدُ اللهِ بنُ عَمْرِ وَبْنِ الْعَاصِ اَنَّهُ سَمِعَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ  اِنَّ مَثَلَ الْمُؤَمِنِ لَكَمَثَلِ النَّحْلَةِ اَكَلَتْ طَيْبًا وَوَضَعَتْ طَيْبًا وَوَقَعَتْ فَلَمْ تُكْسَرْ وَلَمْ تُفْسَدْ
(رواه احمد فى المسند, مسند المكثرين من الصحابة, مسند عبد الله بن عمر و بن العاص)
“Dari Abdullah bin Amru bin Ash bahwa ia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya perumpamaan seorang mukmin seperti lebah. Dia memakan yang baik dan mengeluarkan yang baik, hinggap namun tidak memecah dan merusak.” (HR. Ahmad)

Adalah Abdullah bin Amr bin As-Sahmi Al-Quraisy. Dia masuk Islam sebelum bapaknya. Termasuk ahli ibadah dan ulama dari kalangan sahabat. Dia sudah pandai menulis pada masa jahiliyah. Dia minta izin kepada Rasulullah untuk menulis apa yang dia dengar darinya, maka beliau mengizinkannya. Dia ikut dalam beberapa peperangan dan menyabet dengan dua pedangnya sekaligus. Dia membawa panji bapaknya pada Perang Yarmuk. Mati syahid di Shiffin ikut pihak Muawiyah. Muawiyah mengangkatnya menjadi gubernur di Kuffah dalam beberapa waktu yang tidak terlalu lama. Dia meninggal pada tahun 65 H. Dan hadits-haditsnya yang dicantumkan dalam kitab-kitab sebanyak 700 hadits.
***
Lebah adalah serangga berbulu dan bersayap empat dan hidup dari madu kembang. Allah memberi kemampuan pada lebah untuk memakan berbagai jenis buah-buahan dan untuk menempuh jalan-jalan yang dimudahkan Allah bagimya sesuai dengan kemauannya, baik di udara, darat, lembah maupun dipegunungan, lalu kembali kesarangnya tanpa tersesat.
Lebah mengeluarkan madu,dan di dalamnya terdapat obat untuk manusia, hal ini sesuai dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’àla dalam Surat Al-Nahl ayat 69:
ثُمَّ كُلِي مِن كُلِّ الثَّمَرَاتِ فَاسْلُكِي سُبُلَ رَبِّكِ ذُلُلًا ۚ يَخْرُجُ مِن بُطُونِهَا شَرَابٌ مُّخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ فِيهِ شِفَاءٌ لِّلنَّاسِ ۗ إِنَّ فِي ذَ‌ٰلِكَ لَآيَةً لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan.”(QS. An-Nahl : 69)
Firman Allah Ta’ala, “Di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia”. Kata ganti (hi yang berartinya) kembali kepada madu. Demikian dikatakan oleh Al Jumhur. Dengan kata lain, di dalam madu terdapat kesembuhan bagi manusia.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pernyataannya dalam hadits diatas mengisyaratkan agar kita meniru sifat-sifat positif yang dimiliki oleh lebah.
Sifat-sifat itu sendiri memang merupakan ilham dari Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaiman firman-Nya dalam Al-Qur’an Surat Al-Nahl ayat 68 :
وَأَوْحَى رَبُّكَ إِلَى النَّحْلِ أَنِ اتَّخِذِي مِنَ الْجِبَالِ بُيُوتًا وَمِنَ الشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُونَ
“Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: “Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia.” (QS. An-Nahl : 68)
Sifat-Sifat Lebah
Pertama, hinggap di tempat yang bersih dan menyerap hanya yang bersih
Lebah hanya hinggap ditempat-tempat pilihan. Dia sangat jauh berbeda dengan lalat. Serangga yang lain amat mudah ditemui di tempat sampah, kotoran, dan tempat-tempat yang berbau busuk. Tapi lebah tidak, ia hanya akan mendatangi bunga-bunga atau buah-buahan atau tempat bersih lainnya yang mengandung bahan madu atau nektar.
Begitu lah pula sifat seorang mukmin, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.” (QS. Al-Baqarah : 172)
Kedua, mengeluarkan yang bersih
Lebah mengeluarkan madu, dan madu mempunyai khasiat kesehatan untuk manusia. Dia produktif dengan kebaikan, dan hasilnya dapat bermanfaat bagi mahluk lain. Begitu juga dengan sifat seorang mukmin mampu mengeluarkan kebaikan yang dirasakan oleh manusia dan mahluk lainnya.
Ketiga, tidak merusak
Seperti yang disebutkan di atas, lebah tidak pernah merusak atau mematahkan ranting yang ia hinggapi. Begitu pula seorang mukmin, setidaknya ia tidak pernah melakukan perusakan dalam hal apapun baik material atau pun non-material.
Keempat, tidak pernah melukai kecuali kalau diganggu
Lebah tidak pernah memulai untuk menyerang. Ia akan menyerang hanya manakala merasa tergangggu atau terancam. Dan untuk mempertahankan kehormatan umat lebah itu, mereka rela mati dengan melepas sengatnya ditubuh pihak yang diserang. Sifat ini pun setidaknya perlu dimiliki oleh seorang mukmin.
Itulah karakter karakter lebah yang patut ditiru oleh orang-orang  mukmin.
Sungguh, tidaklah sia-sia Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebut dan mengabadikan binatang kecil itu dalam Al-Qur’an sebagai salah satu nama surah, yaitu An-Nahl. Wallahu a’lam bis-Shawab.*/Muhammad bin Muchsin bin Aqil
Rep: Admin Hidcom
Editor:

Waktumu Adalah Hartamu yang Tak Ternilai


Waktumu Adalah Hartamu yang Tak Ternilai
WAKTU bagi seorang Muslim berbeda dengan waktu untuk orang kafir. Dalam Islam, waktu adalah kumpulan pahala yang melipat. Sebab dalam setiap pekerjaan yang dilakukan senantiasa diniatkan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala  dan mengharap ridha-Nya.
Hal ini pula yang menjadikan seorang Muslim punya etos kerja yang tidak sama dan tidak dimiliki oleh selainnya yang hanya beraktivitas untuk kepuasan dunia semata.
Dalam al-Quran, waktu bahkan disebut bisa menjadi ukuran keimanan seorang Muslim. Apakah ia menjadi orang-orang yang merugi atau justru menjadi orang yang beruntung dunia akhirat. Allah berfirman:
وَالْعَصْرِ
إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ
إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholih dan saling menasihati supaya menaati kebenaran dan saling menasihati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al ‘Ashr [103]: 1-3).
Sayangnya, meski terbilang pendek dan mudah dihafal, memahami dan mengaplikasikan surah al-Ashr ini tak semudah membalik telapak tangan. Padahal, surat yang tergolong Makkiyah ini memiliki kandungan makna yang sangat dalam. Imam asy-Syafi’i Rahimahullah berkata: Seandainya setiap manusia merenungkan surat ini, niscaya hal itu akan mencukupi untuk mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir 8/499).
Dr. Ahmad Farid menyebutkan, para ulama terdahulu begitu antuasias dalam menjaga dan memanfaatkan waktu mereka sebaik-baiknya. Sebab mereka mengerti betapa penting dan berharganya waktu tersebut.
Dikisahkan, seseorang berkata kepada ulama: Mampirlah (dahulu), kita akan bercakap-cakap. Ulama itu menjawab: Aku tidak bisa menghentikan matahari. Maksudnya, seorang Muslim apalagi sekelas ulama tak ingin membuang waktunya untuk pembicaraan yang tidak bermanfaat. (At- Tarbiyah ala manhaj Ahlu as-Sunnah wa al-Jama’ah, hlm. 12).
Imam Hasan al-Basri berkata: “Aku mengenal suatu kaum, mereka sangat menjaga waktu melebihi penjagaan mereka terhadap kekayaan yang dimiliki berupa dinar dan dirham. Dalam ungkapan lain disebutkan, salah satu indikasi Allah membenci kamu adalah ketika kamu sering melalaikan waktu yang Allah anugerahkan kepadamu.”
Olehnya, tak heran, para ulama kita terdahulu bisa mengarang dan melahirkan karya-karya monumental yang masih dinikmati oleh umat Islam hingga hari Kiamat kelak. Ibn Taimiyah misalnya, ia berhasil memproduksi puluhan bahkan ratusan karya. Termasuk risalah Majmu’ Fatawa yang berjilid-jilid tersebut.
Contoh lain adalah ulama Nusantara asal Pacitan, Jawa Timur yang mendunia dengan karya serta kiprahnya dalam dakwah dan keilmuan, Muhammad Mahfuzh at-Tremasi (1281 H).
Meski hanya berusia 58 tahun dengan masa menuntut ilmu sekitar 30 tahun di Makkah, namun berbagai kitabnya menjadi rujukan utama para ulama dalam menulis buku. Bahkan disebutkan, sekurangnya ada 20 penelitian ilmiah disertasi dan tesis dari berbagai benua yang merujuk kepada kitab-kitab at-Tremasi tersebut.
Kini, semua teladan di atas adalah cermin bagi siapa saja yang ingin mendapatkan kebahagiaan yang hakiki. Bahwa waktu adalah sesuatu yang sangat mahal untuk disia-siakan begitu saja. Ia bisa bernilai jika senantiasa diisi dengan ketaatan di jalan Allah. Saling berlomba dan menasihati dalam kebaikan serta saling mengingatkan dalam kesabaran yang indah.
Membangun peradaban Islam tidak cukup dengan meng-update status di media sosial lalu ditinggal pergi bermimpi. Umat Islam bisa bangkit jika seluruh kaum Muslimin kembali menyadari pentingnya ilmu. Ilmu yang dimaksud di sini adalah ilmu yang bermanfaat, ilmu yang menggerakkan ruh jihad, serta ilmu yang sejalan dengan adab dan perilaku sehari-hari.*/Khairul Kiram, mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), UIKA Bogor
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar

Tanda Akhir Zaman: Orang Buruk Dimuliakan, Orang Shalih Dihinakan


Tanda Akhir Zaman: Orang Buruk Dimuliakan, Orang Shalih Dihinakan
WONKETTE.COM
Ilustrasi: Tahanan Muslim di Guantanamo

مِنْ اقْتِرَابِ السَّاعَةِ أَنْ تُرْفَعَ الأَشْرَارُ وَ تُوْضَعَ الأَخْيَارُ وَ يُفْتَحَ الْقَوْلُ وَ يُخْزَنَ الْعَمَلُ وَ يُقْرَأُ بِالْقَوْمِ الْمَثْنَاةُ لَيْسَ فِيْهِمْ أَحَدٌ يُنْكِرُهَا قِيْلَ : وَ مَا الْمَثْنَاةُ ؟ قَالَ : مَا اكْتُتِبَتْ سِوَى كِتَابِ اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ

“Di antara (tanda) dekatnya hari kiamat adalah dimuliakannya orang-orang yang buruk, dihinakannya orang-orang yang terpilih (shalih), dibuka perkataan dan dikunci amal, dan dibacakan Al-Matsnah di suatu kaum. Tidak ada pada mereka yang berani mengingkari (kesalahannya)”. Dikatakan: “Apakah Al-Matsnah itu ? beliau menjawab: “Semua yang dijadikan panduan selain kitabullah ‘Azza wa Jalla.” [HR. Al-Hakim]
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar

Punya Utang? Bersegeralah Melunasi


Punya Utang? Bersegeralah Melunasi (1)
JABIR RA mengisahkan, “Seorang lelaki dari kami meninggal dunia, lantas kami memandikan, mensucikannya, lalu mengafaninya. Kemudian kami membawanya kepada Rasulullah Shalallaahu ‘Alahi Wasallam. Kami bertanya: Apakah engkau akan menshalatkannya? Beliau memeriksa sejenak, lalu bertanya: Apakah ia mempunyai utang? Kami menyahut: Dua dinar. Beliau pun meninggalkan kami, tak menshalatkannya.
Lantas kami segera membawa mayat itu dan mengajak beliau kepada Abu Qatadah, serta menceritakannya. Kata Abu Qatadah: Dua dinar itu menjadi tanggungan saya. Rasulullah pun berkata: jika demikian (dua dinar) itu menjadi hak yang punya utang.
Kami bertanya: Apakah mayat ini sudah terbebas (dari utang)? Ujar beliau: Ya. Beliau pun shalat jenazah bagi mayat itu.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Nasai, dibenarkan oleh Ibn Hibban dan alHakim, dikeluarkan oleh Tirmidzi dari hadist Salamah bin al-Akwa’).
Utang wajib dibayar. Karena ia termasuk hak-hak para hamba AllahSubhanahu wa Ta’ala. Maka, barangsiapa berutang, manakala sudah berkemampuan, ia harus segera membayarnya, tanpa menunda-nunda, memperlambat.
Dia tidak boleh menganggapnya ringan. Sebelum ajal datang, harus segera melunasi semua utangnya. Sehingga, manakala ajal tiba, dia sudah terbebas dari beban utang.
Satu hadist yang begitu mementingkan masalah utang ini, diriwayatkan oleh Daruquthni dari hadist Ali, “Rasulullah itu jika mendatangi jenazah, tak menanyakan sesuatu apa pun tentang pekerjaan almarhum, namun beliau bertanya mengenai utangnya. Jika dikatakan bahwa ia mempunyai utang, beliau pun berhenti (tidak menshalatinya). Jika dijawab, almarhum tak punya utang, beliau shalat.
Satu ketika beliau mendatangi jenazah, dan hendak shalat, beliau bertanya, “Apakah ia mempunyai utang?” Mereka menjawab, “Dua dinar.” Beliau seketika berpaling. Ali pun mengatakan, “Dua dinar itu tanggungan saya, wahai Rasulullah. Biar dia bebas dari utangnya yang dua dinar itu.” Rasulullah pun shalat jenazah. Lantas beliau mengatakan, “Semoga Allah memberi pahala kepadamu, dan membukakan apa yang engkau gadaikan.”
Inilah hadist yang menunjukkan bahwa seseorang yang mampu dibenarkan memberikan bantuan guna melunasi utang-utang orang lain. Ibn Bathal menyatakan: Kebanyakan orang berpendapat, (seseorang yang mampu memberikan) penanggungan utang atas mayat itu dibenarkan. Dan ia tidak berhak meminta ganti dari harta si mayat.
Hadist di atas juga menunjukkan bahwa dalam masalah utang, untuk pembebasannya, tidak cukup sekadar mengatakan pernyataan dan ikrar. Jika beliau mengetahui yang demikian itu, karena masalah utang ini sangat penting, maka beliau tidak shalat jenazah. Di sisi lain, sikap beliau itu juga untuk menjelaskan bagi kaum muslim betapa penting masalah utang piutang itu; karena pada hari kiamat tetap menjadi perhitungan.
Hadist itu juga untuk membangkitkan semangat keagamaan dan persaudaraan antarumat Islam (ukhuwah islamiah), sehingga bersama-sama mempunyai rasa tanggungjawab. Demikian itulah sikap Rasulullah sebelum Allah memberikan kemenangan bagi beliau dan kaum Muslim. Oleh karena itu, beberapa ahli hadist menyatakan, dalam keterangan mereka tentang hadist tersebut, bahwa Rasul pernah memberikan pertanggungan utang atas sejumlah mayat, tatkala Allah memberikan kemenangan dalam peperangan beliau.
Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah suatu ketika datang kepada seorang lelaki yang meninggal dunia, dan mempunyai utang. Beliau bertanya,”Apakah ia masih mempunyai tanggungan utang yang belum dilunasi?” Jika ternyata yang meninggal punya utang, beliau mengatakan,
“Aku lebih pantas (bertanggung jawab) bagi orang-orang yang beriman daripada dirinya sendiri. Bagi yang meninggal dunia dan masih punya utang, maka pembayarannya menjadi tanggunganku.”
Diriwayatkan oleh Thabrani dari Salman: Rasulullah memerintahkan kepada kami untuk menjamin anak-anak orang Islam, serta memberikan (sesuatu) bagi para peminta dari mereka. Kemudian beliau bersabda,
“Barangsiapa yang meninggalkan harta, maka bagi pewarisnya, dan barangsiapa yang meninggalkan utang maka bagi saya dan para wali setelahku dalam baitulmal kaum Muslim.” (HR. Mutafaqun ‘alaih)

BAGAIMANA pun Rasulullah Shalallaahu ‘Alahi Wasallam itu sangat pengasih dan penyayang kepada orang-orang Islam. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dengan sanad dari Abu Hurairah ra, dari Nabi, bahwa beliau bersabda, “Tak ada seorang mukmin pun kecuali aku adalah manusia yang paling pantas (bertanggung-jawab) di dunia dan akhirat. Hendaklah kalian membaca, ‘Nabi itu wakil bagi orang-orang beriman daripada diri mereka sendiri’. Maka, orang beriman mana pun (jika wafat), dan meninggalkan harta, maka yang berhak hendaklah mewarisinya, dan jika meninggalkan utang, atau suatu pekerjaan, maka datanglah kepadaku, aku yang paling pantas menjadi wakilnya.”
Juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan sanad dari Jabir bin Abdullah ra, Nabi telah bersabda,
“Bagi setiap orang yang beriman, saya lebih pantas mewakili daripada dirinya sendiri. Maka lelaki mana pun yang meninggal dunia, dan meninggalkan utang, maka kepadakulah (untuk menagihnya), dan jika meninggalkan harta, maka bagi pewarisnya.”
Dari uraian itu kita bisa mengetahui bahwa Rasulullah, setelah Allah Ta’alamemberinya kemenangan kepada beliau dan kaum Muslimin, beliau menanggung banyak utang dari orang yang meninggal dunia, dan ia masih punya tanggung jawab yang belum dilunasi. Benar firman Allah,
Nabi itu wakil bagi orang-orang beriman daripada diri mereka sendiri.
Allah pun memberikan penjelasan dalam firman yang lain,
Telah datang kepada kalian seorang Rasul dari diri kalian, orangyang mulia, yang begitu bersemangat meringankan beban kalian, dan kepada orang-orang yang beriman, ia sangat baik serta pemurah.
Bagaimana pun utang adalah masalah pelik, dan tidak boleh dianggap hal ringan, apalagi meremehkannya. Seorang Muslim harus memberikan perhatian serius terhadap masalah utang ini, karena dalam hadist sampai dinyatakan,
“Bagi seorang syahid, setiap dosanya diampuni, kecuali utang.”
Semua itu tak lain untuk menjaga harta benda dan hak kepemilikannya, sehingga aman. Dan manakala seorang Muslim keluar dari dunia (meninggal dunia) ia sudah bebas dari utang, bersih, suci. Tak ada seorang pun yang masih menuntut haknya.
Islam telah memberikan batasan yang tegas, jelas dan kuat, dalam masalah utang ini. Namun di sisi lain, Islam juga membuka pintu kasih sayang, di mana Rasulullah telah memberikan contoh dalam pelunasan utang bagi seseorang yang meninggal dunia, dan punya utang.
Di sisi lain, Islam telah membuka kelonggaran dan kemurahan bagi orang yang berutang. Yaitu, jika ia dalam kesempitan, hendaklah yang punya hak mau memberi kelonggaran, atau mengikhlaskannya jika yang berutang sudah tak punya apa-apa. Jika ia tak menagihnya lagi, karena menganggap utang menjadi hibah, maka baginya pahala yang sangat tinggi dan kemuliaan yang tiada tara di sisi Allah. Seperti tersirat dalam ucapan beliau kepada Ali ketika dia menyatakan sebagai penanggung-jawab atas utang orang lain. Kata beliau,
“Semoga Allah memberi pahala kepadamu, dan membukakan apa yang engkau gadaikan.”
Inilah yang menunjukkan, siapa yang mengasihi saudaranya sesama Muslim, ia akan mendapatkan pahala besar dari Allah. Satu hadist diriwayatkan Aisyah ra mengatakan, “Nabi mendengarkan suara seseorang yang (berselisih) di depan pintu. Suara mereka meninggi. Salah seorang mengatakan tuduhan kepada lainnya. Namun yang lain menjawab, ‘Demi Allah, aku tidak melakukan.’ Rasulullah keluar untuk menemui keduanya. Ucap beliau, “Siapa tadi yang bersumpah dengan nama Allah bahwa ia tidak melakukan sesuatu?” Kata seseorang, “Saya, wahai Rasulullah.” Sabda beliau, “Dia itulah yang kucintai.” 

Tiga Cara Meninggalkan Kemunafikan


Tiga Cara Meninggalkan Kemunafikan
[Ilustrasi munafik]
PADA zaman seperti sekarang, kemunafikan seolah menjadi kelaziman. Siapa tidak munafik sepertinya tidak akan mendapatkan jabatan, keuntungan dan penghargaan. Beragam manipulasi telah nyata dipertontonkan, namun penegakan hukum ditiadakan. Pada akhirnya fakta demikian ini menjadi virus dan menyebar dengan sangat ganas.
Tetapi, itu yang kita lihat pada diri orang lain. Lantas bagaimana dengan diri sendiri, apakah sudah benar-benar terbebas dari kemunafikan? Atau malah di tengah kesholehan dalam wujud amal yang terus dilakukan, sesungguhnya mindset (cara berpikir) kita justru terus mengarah pada cara berpikir munafik? Tentu hanya hati-hati yang jujur yang bisa menjawab dengan benar.
Tanda Kemunafikan
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاث إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَ إِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَ إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
“Tanda orang munafik itu tiga; apabila ia berucap berdusta, jika membuat janji berdusta, dan jika dipercayai mengkhianati.” (HR. Bukhari).
Hadits ini umumnya tidak digali dengan penalaran yang memadai, cukup diarahkan kepada siapa saja yang memang secara tersurat dinilai memenuhi tiga kriteria tersebut dan itu pasti berurusan dengan orang lain.
Lantas, apakah itu tidak mungkin terjadi di dalam hati kita sendiri? Di sinilah setiap Muslim perlu berani memerksa kondisi hatinya. Apakah dalam setiap gerakan niat, besitan kata dan lintasan kalimat yang muncul adalah murni demi maslahah umat dan karena Allah atau jangan-jangan terselip hawa nafsu diri untuk memperoleh kepentingan pribadi?
Sekiranya Nabi Yusuf Alayhissalam mau, beliau tidak perlu masuk penjara. Tetapi tunduk terhadap orang yang mindset-nya sudah keliru, bukanlah langkah tepat untuk dilakukan.
قَالَ رَبِّ ٱلسِّجۡنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدۡعُونَنِيٓ إِلَيۡهِۖ وَإِلَّا تَصۡرِفۡ عَنِّي كَيۡدَهُنَّ أَصۡبُ إِلَيۡهِنَّ وَأَكُن مِّنَ ٱلۡجَٰهِلِينَ ٣٣

“Yusuf berkata: ‘Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.” (QS. Yusuf [12]: 33).
Dalam tafsirnya Ibn Katsir menjelaskan bahwa Nabi Yusuf menolak dengan sangat tegas dan memilih untuk dipenjara. Hal ini tiada lain karena Nabi Yusuf mementingkan terpeliharanya iman daripada tercapainya kesenangan, mendahulukan maslahah daripada mafsadah, yang tentu semua itu dipilih karena takut kepada Allah dan mengharap ridho-Nya.
Hari ini, apakah hati kita memilih terselamatkannya iman atau malah terpeliharanya kedudukan, jabatan dan penghargaan? Jika dalam setiap gerak-gerik hidup ini yang dicari hanyalah kesenangan dengan menomorduakan iman, maka sungguh kemunafikan itu mulai tumbuh. Dan, jika dibiarkan ini bisa menimbulkan banyak kerusakan. Di sisi lain, hati dan pikiran akan terkonsentrasi bagaimana menyenangkan atasan meski dengan cara-cara tidak terhormat dan menginjak-injak bawahan secara semena-mena. Bahkan menyingkirkan kanan dan kiri demi ambisi pribadi.
Dengan kata lain, cara pertama untuk menjaga hati dari kemunafikan adalah dengan komitmen kepada iman, dan siap mempertahankannya apapun resiko yang mesti dihadapi.
Kedua, jangan memberi dengan harapan mendapat balasan lebih  وَلَا تَمۡنُن تَسۡتَكۡثِرُ  yang artinya, “Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak.” (QS. Al-Mudatstsir [74]: 6).
Sebagai Muslim, kita mesti waspada, jangan sampai dalam setiap kebaikan yang dilakukan terbesit keinginan mendapa imbalan lebih banyak, lebih besar, lebih terhormat dan lain sebagainya.
Jika ini terjadi dalam sebuah tim kerja maka orang yang gagal mewaspadai hal tersebut akan banyak merapat pada atasan dan menganggap dirinya orang penting. Pada saat yang sama terhadap sesamanya ia merendahkan. Pekerjaannya hanya mengoreksi kinerja orang, menyalahkannya dan kemudian memberikan banyak komentar dan semua itu dilakukan dengan bahasa yang boleh jadi sangat lembut dan ‘mempesona.’
Terhadap sifat-sifat yang demikian, seorang guru pernah berkata kepada muridnya, “Jangan pernah sekali-kali kamu mempergunakan kedudukanmu, kebaikanmu apalagi kecerdasanmu untuk mendapat keuntungan pribadi, lebih-lebih dengan cara-cara yang curang, meski yang di atasmu adalah orang yang sangat dekat denganmu.”
Ketiga, memohon kepada Allah agar hati ini tidak cenderung pada ketidakbaikan dan ketidakbenaran.
Nabi Yusuf bisa selamat dari kemunafikan karena beliau berdoa kepada Allah.  Ibn Katsir menguraikan hal ini dalam tafsirnya.
“Dan jika Engkau tidak hindarkan (menjauhkan) tipu daya mereka dariku, tentu aku cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka),” maksudnya, jika Raab menyerahkan hal itu kepada diriku, pasti aku tidak mampu dan aku tidak dapat mengendalikan apa yang dapat merugikan dan berguna bagi diriku kecuali dengan daya—Mu dan kekuatan-Mu. Engkaulah Al-Musta’an (tempat kami meminta pertolongan) dan kepada-Mu lah kami bertawakkal, maka janganlah Engkau serahkan (urusan) diriku kepadaku sendiri.
Pada akhirnya semua kembali pada diri kita masing-masing sebagai Muslim. Tetapi, yang pasti kemunafikan tidak akan mendatangkan kebahagiaan. Sebab kemunafikan sandarannya pada keuntungan yang direkayasa rasio sementara ketulusan, keikhlasan adalah keuntungan yang sandarannya adalah Allah. Dan, Allah mustahil tidak memberikan kebahagiaan kepada Muslim-Muslimat yang dengan susah payah menjaga hatinya dari noda kemunafikan. Wallahu a’lam.*
Rep: Imam Nawawi
Editor: Cholis Akbar

Hisablah Diri Kalian


Hisablah Diri Kalian
GAGAL dalam merencanakan sama halnya dengan merencanakan sebuah kegagalan. Ungkapan tersebut mungkin cocok untuk menggambarkan pentingnya sebuah persiapan dalam suatu perbuatan.
Setiap amalan hendaknya didahului dengan ilmu. Sebab amalan yang tak berdasar ilmu yang benar, kerap menjadikan pelakunya terseret kepada menuruti syahwat (hawa nafsu) atau terjebak dalam syubhat (tidak yakin dan dilandasi keraguan).
Logikanya, jika segala urusan dunia butuh persiapan dan perencanaan, bagaimana dengan perkara dakwah dan kebaikan yang berujung hingga hari Akhirat.
Tentunya ia lebih butuh persiapan agar bisa melaksanakan kebaikan tersebut dengan sempurna (ahsanu amalan) dan mampu istiqamah menjalaninya secara kontinyu (adwamuhu). Tak heran, Imam al-Bukhari menyediakan pembahasan khusus yang diberi nama Bab al-Ilmu Qabla al-Qauli wa al-Amali.
Termasuk dalam hal perencanaan adalah melakukan muhasabah (evaluasi). Muhasabah yang dimaksud di sini bukan hanya melulu di akhir perbuatan atau amal seseorang. Layaknya Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) atau Surat Pertanggungjawaban (SPJ) dalam organisasi. Ia bukan pula evaluasi yang hanya dilakukan di akhir tahun sebagaimana terjadi di perusahaan, misalnya.
Namun muhasabah yang dihadirkan di setiap waktu. Mulai dari perencanaan di awal perbuatan, ketika sedang dikerjakan, hingga usai melaksanakan amalan tersebut. Hal ini dianggap penting untuk menjaga konsistensi daripada perbuatan yang dilakukan.
Untuk muhasabah,  pertama, bisa dilakukan sebelum seseorang beramal. Evaluasi ini bertujuan untuk memastikan keikhlasan hati dalam berbuat, sekaligus mengukur kemampuan diri terhadap pekerjaan tersebut. Kedua, evaluasi ketika sedang beramal. Hal ini agar niatan di awal tetap terjaga sambil mengukur progress amal kebaik yang dilakukan. Ketiga, usai beramal, seorang Muslim dianjurkan untuk muhasabah kembali. Sebagai evaluasi diri terhadap hasil yang telah dicapai dengan amalan itu. Apakah masih sejalan dengan niat pertama atau mengalami pergeseran.
Ahli tafsir, Abdurrahman Nashir as-Sa’di Rahimahullahu Ta’ala (Ra) menyebutkan, muhasabah saat ini termasuk kebutuhan primer seorang Muslim. Dengannya, orang itu bisa mengukur diri dan mengetahui perbuatan yang selama ini dilakukan. Amalan apa saja yang sudah dikerjakan sebagai persiapan menuju hari Akhirat. Sekiranya hal itu baik maka dengan muhasabah, niscaya ia semakin yakin untuk terus istiqamah dan meningkatkan kualitas kebaikan tersebut.
Sebaliknya, ketika seorang Muslim mendapati perbuatannya melanggar syariat agama, lewat muhasabah, ia bisa berfikir sejenak. Semoga orang itu lalu menyadari betapa nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala (Swt) begitu banyak tercurah padanya. Suatu hal yang tidak sebanding dengan dosa dan kemaksiatan yang ia lakukan. Alhasil, ia menjadi malu kepada Allah untuk mengulang perbuatannya tersebut (Kitab Tafsir Taisir Karim ar-Rahman)
Akhirat, sebuah perjalanan panjang
Perjalanan menuju kampung Akhirat adalah langkah yang panjang dan tidak sedikit. Perjalanan keimanan itu bermula sejak manusia dilahirkan dan berujung ketika kematian datang menjemput ajalnya kelak. Untuk itu tak dipungkiri jika seorang Muslim butuh bekal yang mencukupi. Sebab realitasnya, fasilitas dunia yang dinikmati saat ini tak sekedar menwarkan kebaikan dan keuntungan. Tapi juga menyelipkan godaan serta rayuan maut, menjadikan seseorang berpaling dari hidayah iman.
Di sinilah peran muhasabah atau evaluasi diri di atas. Ada masa dimana seorang Muslim hendaknya menepi sejenak dari hiruk pikuk dunia dengan segala kesibukannya. Di titik sunyi itu, ia lalu bertanya kepada dirinya sebagaimana ia juga yang harus menjawab semua soal yang ditanyakan. Setidaknya tentang arah dan tujuan yang ditempuh, benarkah rute yang sedang dijalani itu? Khawatir jika ternyata tanpa sadar, perjalanan itu mulai bias dan kian menyimpang melebar dari patokan yang sudah digariskan sebelumnya. Lalu apa yang telah disiapkan sebagai bekal perjalanan tersebut?
Allah Subhanahu wa Ta’ala (Swt) berfirman:
ياأيها الذين آمنوا اتقوا الله ولتنظر نفس ما قدمت لغد واتقوا الله إن الله خبير بما تعملون
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (Akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Surah al-Hasyr [59]: 18).
Senada, sahabat Umar ibn al-Khaththab Radhiyallahu anhu (Ra) berkata: Hisablah diri-diri kalian sebelum kalian dihisab (di hari Akhirat) kelak.*/Masykur
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar

Hikmah Sakit dan Penggugur Dosa


Hikmah Sakit dan Penggugur Dosa
مَا يُصِيبُ الْمُؤْمِنَ مِنْ شَوْكَةٍ فَمَا فَوْقَهَا إِلَّا رَفَعَهُ اللَّهُ بِهَا دَرَجَةً أَوْ حَطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةً
“Tidak ada satupun musibah (cobaan) yg menimpa seorang muslim berupa duri atau yg semisalnya, melainkan dengannya Allah akan mengangkat derajatnya atau menghapus kesalahannya.” [HR.Muslim]
 مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُصِيبُهُ أَذًى مِنْ مَرَضٍ فَمَا سِوَاهُ إِلَّا حَطَّ اللَّهُ بِهِ سَيِّئَاتِهِ كَمَا تَحُطُّ الشَّجَرَةُ وَرَقَهَا
“Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu penyakit dan sejenisnya, melainkan Allah akan mengugurkan bersamanya dosa-dosanya seperti pohon yang mengugurkan daun-daunnya.” [HR. Bukhari dan Muslim]
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar

Rumah-Rumah yang Seperti Kuburan


Rumah-Rumah yang Seperti Kuburan
Ilustrasi: Rumah yang dibacakan al Qur'an jadi luas bagi pemiliknya, malaikat datang dan syetan pergi. Di sisi lain, Malaikat tidak akan memasuki rumah yang di dalamnya terdapat anjing
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mengabarkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
لاَ تَجْعَلُوْا بُيُوْتَكُمْ مَقَابِرَ، إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيْهِ سُوْرَةُ الْبَقَرَةِ
“Janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan. Sesungguhnya setan akan lari dari rumah yang di dalamnya dibacakan surah Al-Baqarah.”  [HR. Muslim no. 1821]
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah berkata :
إن البيت ليتسع على أهله ، وتحضره الملائكة ، وتهجره الشياطين ، ويكثر خيره :
أن يقرأ فيه القرآن .
وإن البيت ليضيق على أهله ، وتهجره الملائكة ، وتحضره الشياطين ، ويقل خيره :
ألا يقرأ فيه القرآن
“Sesungguhnya rumah yang dibacakan al Qur’an didalamnya akan menjadi luas bagi pemiliknya, malaikat mendatanginya, syetan menjauhinya dan banyak kebaikannya, dan rumah akan menjadi sempit bagi pemiliknya, malaiakat menjadi tehalang, syetan hadir dan sedikit kebaikannya jika tidak dibacakan al Qur’an dalam rumah tersebut.” [HR. Ad Darimi]
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar

Tiga Solusi Tegakkan Kembali Peradaban Umat Islam


Tiga Solusi Tegakkan Kembali Peradaban Umat Islam
ILUSTRASI
ilustrasi
KRISIS terbesar yang dialami umat Islam saat ini adalah hilangnya kepercayaan diri terhadap keunggulan syariat Islam. Peradaban yang pernah dipuncaki oleh generasi orang-orang shaleh terdahulu dianggap oleh sebagian manusia sebagai sejarah masa lalu. Sedang sejarah bagi mereka hanyalah sebagai sepenggal kehidupan masa silam yang pernah terjadi.
Kejayaan peradaban Islam itu tak lebih sebagai nostalgia indah yang menjadi dongeng turun temurun. Seolah ia tak punya hubungan dengan kehidupan sekarang. Orang itu mengaku beriman dan berqur’an tapi sekaligus masih ragu dengan al-Kitab yang menjadi panduan hidupnya tersebut. Apalagi jika syariat Islam dikaitkan dengan zaman yang disebut canggih dan modern ini.
Tak heran akibatnya mudah ditebak, syariat Islam menjadi asing di tengah masyarakat Muslim. Sebagian mereka menjadi silau dengan segala budaya dan ilmu pengetahuan yang datang dari Barat dan di luar Islam. Parahnya lagi ada yang sampai membenci agama hanya untuk mempertahankan apa yang menjadi kebanggaan dirinya. Menganggap Islam sebagai ajaran kolot dan selanjutnya Barat menjadi kiblat utama mereka sekarang.
Bagi seorang Muslim keadaan tersebut tak boleh dibiarkan bersemayam dalam pikiran apalagi hatinya. Untuk itu ia harus move on dan beranjak dari krisis tersebut setidaknya dengan tiga solusi berikut ini:
Pertama: Membangun ilmu yang mapan
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (Swt) :
اقرأ باسم ربك الذي خلق ، خلق الإنسان من علق ، اقرأ وربك الأكرم ، الذي علم بالقلم ، علم الإنسان ما لم يعلم
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-Alaq [96]: 1).
Ayat yang turun pertama kali ini menjadi pondasi dasar bagi orang beriman. Membaca merupakan syarat utama memperoleh ilmu. Untuk memahami dan melaksanakan syariat Islam dibutuhkan ilmu yang benar dan memadai. Sebab tak sedikit manusia yang niatnya berbuat baik tapi terjerumus ke dalam kesalahan bahkan kesesatan.
Dengan ilmu, adab seorang Muslim juga bisa terjaga. Ia makin mengenal siapa dirinya dan mengetahui hak dan kewajibannya. Mulai dari peran sebagai seorang hamba di hadapan Tuhan Pencipta dan menjadi khalifah yang bertugas mengurus kemasalahatan di muka bumi. Disebutkan, fungsi ilmu selain membenarkan amalan dan menguatkan keimanan, ilmu juga bisa menaikkan derajat orang tersebut di hadapan Allah.
Senada, Majid Irsan al-Kilani dalam Falsafah at-Tarbiyah al-Islamiyah, menjelaskan kedudukan manusia yang berilmu dalam kehidupannya. Menurut al-Kilani setidaknya orang berilmu memandang dengan lima pola interaksi. Hubungan manusia dengan al-Khaliq adalah ikatan penghambaan, hubungan dengan alam sekitar sebagai ikatan pemberdayaan (at-taskhir), dengan manusia lainnya adalah hubungan berbuat baik (adil dan ihsan), dengan kehidupan adalah ikatan ujian, dan dengan kehidupan akhirat adalah ikatan tanggung jawab (al-mas`uliyah) dan balasan (al-jaza`).
Kedua: Membangun iman yang mendalam
Bagi orang beriman, apapun itu pastinya tak cukup jika tak dibarengi dengan keimanan kepada Allah. Mengilmui syariat Islam secara rinci bahkan menghafal dalil-dalil yang ada hanya menjadi sia-sia jika tak didasari dengan pondasi iman atau hidayah.
Godaan syahwat dan kepuasaan sesaat di dunia hanya bisa terlewati dengan bekal iman di dada. Sebagaimana jalan terjal menuju surga juga hanya bisa didaki dengan stok iman yang cukup. Memahami syariat Islam dengan baik dan rinci menjadi tidak bermakna tanpa adanya iman. Iman adalah bekal untuk menggapai keridhaan dan pengakuan Allah serta jaminan keselamatan. Dengan iman, kehadiran manusia di dunia menjadi sesuatu yang bermakna. Yaitu menyembah kepada Allah dan menjadi wakil-Nya dalam mengurus kehidupan dunia.
Tanpa iman, kebahagiaan yang diakui manusia berubah menjadi semu dan palsu. Materi yang dipunyai dan seluruh kenikmatan dunia nyaris menjadi hampa sekiranya orang tersebut abai mengurus imannya. Sebab memburu kesenangan dunia tanpa berbekal keimanan hanya mengantar seseorang kepada frustasi dan kecewa berkepanjangan. Lihatlah, orang-orang kaya yang miskin iman. Meski hidup glamour, namun mereka adalah kumpulan orang gelisah yang tak mampu menikmati harta kekayaannya sedikitpun.
Ketiga: Membangun ukhuwah yang kokoh
Longgarnya ukhuwah (persaudaraan) di tengah umat Islam menyuburkan krisis yang menimpa saat ini. Hal ini menjadi peluang besar bagi musuh-musuh Islam untuk memberaikan rajutan ukhuwah yang terjalin, mendinginkan dekapan ukhuwah, dan menjadikan cinta sesama saudara Muslim berubah tawar dan hampa. Inilah fenomena umat Islam saat ini. Sebagian mereka masih sibuk bertikai sesama Muslim sedang di luar sana musuh-musuh Islam bertepuk riuh dengan pemandangan tersebut.
Berjama’ah adalah pola hidup yang menjadi kebutuhan setiap makhluk hidup. Ia bersifat fitrah dan berjalan secara sunnatullah. Dengan pemahaman demikian maka tak pantas seorang manusia berlaku sombong kepada lainnya. Semuanya adalah lemah dan tak berdaya di hadapan Allah. Semuanya hanya bisa kuat ketika mengikatkan diri dalam satu simpul ukhwat berbalut keimanan kepada Allah.
Allah berfirman:
واعتصموا بحبل الله جميعا ولا تفرقوا واذكروا نعمت الله عليكم إذ كنتم أعداء فألف بين قلوبكم فأصبحتم بنعمته إخوانا وكنتم على شفا حفرة من النار فأنقذكم منها كذلك يبين الله لكم آياته لعلكم تهتدون
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (QS. Ali Imran [3]: 103)
Ada banyak cara dalam menautkan hati sesama orang beriman. Salah satunya adalah dengan menjauhi buruk sangka, iri hati, dendam, dan benci kepada saudara Muslim. “Jangan kalian saling mendengki dan membelakangi karena permusuhan dalam hati. Tetapi jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara.” Demikian pesan Nabi dalam riwayat Imam al-Bukhari.
Terakhir, apapun kondisi kaum muslimin belakangan ini, bukanlah alasan yang tepat untuk berpangku tangan apalagi sekedar mengeluh dan berputus asa. Setidaknya inilah tiga solusi mendasar yang bisa menjadi penawar daripada dahaga umat Islam menyongosng kebangkitan kembali peradaban Islam tersebut. Saatnya bekerja dan bermujahadah serta saling mengingatkan dalam bingkai ukhuwah Islamiyah.*/Mustabsyirah Syammar,pegiat komunitas penulis Malika  

Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar