Dosa besar biasanya tidak terjadi secara tiba-tiba, tanpa pendahuluan dan pembuka jalan yang terdiri dari sejumlah dosa-dosa kecil.
DOSA-dosa kecil dapat menjadi besar karena beberapa faktor, yang antara lain jika dilakukan dengan tekun dan berkelanjutan. Oleh karena itu dikatakan `tidak ada dosa kecil bersama pengulangan dan tidak ada dosa besar bersama dengan istighfar.’
Satu dosa besar yang berhenti dikerjakan dan tidak diiringi lagi dengan dosa semisalnya, –andaikan itu terjadi–, lebih besar peluangnya mendapatkan maaf daripada satu dosa kecil yang terus menerus dikerjakan seseorang. Perumpamaannya ialah tetesan air yang jatuh di alas sebuah batu secara terus-menerus dalam waktu yang lama akan berbekas padanya. Tetapi seandainya jumlah seluruh tetesan itu disiramkan sekaligus ke atasnya, tentu tidaklah membekas.
Oleh karena itu, Rasulullah Shalallaahu ‘Alahi Wasallam bersabda: “Sebaik-baik amal perbuatan ialah yang dikerjakan secara rutin sekalipun sedikit.” (Muttafaq ‘alahi dari ‘Aisyah). Segala sesuatu dapat dijelaskan melalui lawan-lawannya. Jika yang bermanfaat dari amal perbuatan adalah yang rutin dikerjakan kendati sedikit, maka yang banyak tetapi terhenti akan sedikit manfaatnya untuk menerangi dan membersihkan hati. Maka, demikian pula halnya, jumlah yang sedikit dari kejahatan, bila terus berlanjut, akan besar pengaruhnya dalam membuat hati menjadi gelap.
Lagi pula, dosa besar itu biasanya tidak terjadi secara tiba-tiba, tanpa pendahuluan dan pembuka jalan yang terdiri dari sejumlah dosa-dosa kecil. Jarang sekali pelaku zina melakukan aksinya secara tiba-tiba begitu saja tanpa ada rangsangan dan pendahuluan. Jarang terjadi peristiwa pembunuhan tanpa didahului pertikaian dan permusuhan. Jadi, setiap dosa besar selalu diliputi oleh dosa-dosa kecil sebagai pendahulu dan pembuka.
Seandainya Anda bisa membayangkan ada dosa besar yang dikerjakan secara mendadak, barangkali untuk memperoleh maaf darinya lebih bisa diharapkan daripada suatu dosa kecil yang terus menerus dikerjakan seseorang sepanjang umurnya.
Menganggap Sepele Dosa-dosa
Di antara faktor yang menjadikan dosa kecil menjadi besar adalah menganggap enteng dosa. Setiap kali suatu dosa dianggap besar oleh hamba, niscaya menjadi kecil di sisi AllahSubhanahu Wa Ta’ala. Dan sebaliknya, setiap kali dosa dianggap kecil oleh hamba, niscaya akan menjadi besar di sisi Allah. Karena, anggapan besar itu timbul dari keengganan hati dan kebencian kepadanya, sehingga ia mencegah intensitas dampak yang ditimbulkan. Sementara anggapan kecil lahir dari sikap merasa terbiasa dengannya, dan itu menyebabkan pengaruhnya menjadi besar di hati. Padahal hati itu diharapkan tercerahkan oleh berbagai ketaatan, dan tidak menghitam oleh berbagai keburukan.
Oleh karena itulah hati tidak dianggap berdosa atas sesuatu yang dilakukan secara tidak sadar, lantaran hati itu tidak terpengaruh oleh apa yang terjadi karena kelalaian. Terdapat keterangan di dalam riwayat: “Orang beriman melihat dosanya seperti gunung yang berada di atasnya, ia khawatir kalau gunung itu akan runtuh menimpanya; sedangkan orang munafik melihat dosanya seperti lalat yang lewat di depan hidungnya, lalu diusirnya.” (Hadist diriwayatkan Bukhari dari Al-Harist bin Suwaid).
Di antara orang arif ada yang mengatakan, termasuk dosa yang tidak diampuni ialah ucapan seorang hamba, “Sekiranya setiap dosa yang aku kerjakan seperti ini.” Dosa menjadi besar di hati orang beriman disebabkan oleh pengetahuannya akan kebesaran Allah. Maka ketika ia melihat kepada Keagungan siapa yang didurhakainya, niscaya dia pun melihat setiap kesalahan yang kecil menjadi besar. Dan Allah SWT pun telah menyampaikan wahyu kepada salah seorang Nabi-Nya, firmanNya: “Janganlah engkau memandang sedikitnya hadiah; tetapi pandanglah keagungan yang memberinya. Janganlah engkau memandang kecilnya kesalahan; tetapi pandanglah kebesaran siapa yang engkau hadapi dengan kesalahan itu.”
Berdasarkan pandangan seperti ini pula seorang arif berkata, tiada dosa kecil, tetapi setiap perbuatan menentang adalah dosa besar. Demikianlah di antara sahabat ada yang mengatakan kepada generasi tabi’in: “Sesungguhnya kalian mengerjakan beberapa perbuatan yang di dalam pandangan kalian lebih halus daripada rambut, padahal dulu di masa Rasulullah kami menganggapnya termasuk penyebab berbagai kebinasaan.”
Ini disebabkan karena pengetahuan para sahabat akan kebesaran Allah memang lebih sempurna, karena itu dosa-dosa kecil dalam pandangan mereka –bila dihubungkan kepada kebesaran Allah– termasuk dosa-dosa besar. Dan dengan sebab ini pula, apa yang dianggap besar oleh orang berilmu akan dianggap kecil oleh orang bodoh, dan orang awam akan mentolerir hal-hal yang, bagi orang arif, tidak bisa ditolerir. Karena dosa dan penentangan akan menjadi besar sebanding dengan pengetahuan yang dimiliki oleh si pendosa
.
.
Rasa Senang terhadap Dosa Kecil
TERMASUK faktor yang menyebabkan dosa kecil menjadi besar adalah rasa senang terhadap dosa kecil, gembira dan bangga terhadapnya seraya menganggap kemantapan dalam melakukannya sebagai nikmat; padahal ia lupa bahwa dosa itu adalah penyebab penderitaan. Maka, setiap kali manisnya dosa kecil menguasai diri seorang hamba, niscaya jadi besarlah dosa tersebut dan besar pula pengaruhnya dalam menyebabkan hati menjadi hitam.
Bahkan di antara orang yang melakukan dosa tersebut memuji-muji dosanya dan merasa bangga terhadapnya karena berhasil melakukannya. Yaitu seperti orang yang mengatakan, “Tidakkah kaulihat, bagaimana saat kurobek-robek kehormatannya? Bagaimana aku telah melecehkannya? Bagaimana aku telah berhasil membuatnya ragu-ragu?”
Seseorang yang profesinya di bidang perdagangan berkata: “Tidakkah engkau perhatikan bagaimana aku telah berhasil menipunya? Bagaimana aku telah berhasil mengkhianati kekayaannya? Dan bagaimana pula aku telah membuatnya seperti orang bodoh?” Maka ucapan-ucapan seperti inilah yang membuat dosa-dosa kecil menjadi besar. Karena dosa-dosa itu merusak, maka apabila hamba terdorong untuk melakukannya dan setan berhasil menyeretnya untuk melakukannya, maka seharusnya ia merasa bahwa dirinya sedang berada dalam musibah dan merasa menyesal karena musuh telah mengalahkannya dan menyebabkannya menjadi jauh dari Allah.
Orang sakit yang merasa gembira terhadap pecahnya wadah yang di dalamnya terdapat obat baginya, hanya lantaran ia merasa terbebas dari pahitnya rasa obat itu, tidak akan ada harapan baginya untuk sembuh.
Meremehkan Kesabaran Allah dalam Menutupi Dosanya
Termasuk faktor yang menyebabkan dosa kecil menjadi besar adalah sikap meremehkan Allah yang menutupi keburukannya dengan sabar dan menangguhkan siksa-Nya; padahal ia tidak menyadari bahwa timbulnya penangguhan tersebut akibat murka Allah, agar dirinya bertambah dosanya disebabkan penangguhan tersebut. Ironisnya, ia malah menduga bahwa kemantapannya dalam melakukan berbagai kemaksiatan merupakan perhatian Allah kepada dirinya sehingga hal itu mengakibatkan timbulnya rasa aman pada dirinya dari siksa Allah. Padahal ia tidak tahu akan tipu daya yang tersembunyi terhadap Allah.
Firman Allah, “Dan mereka mengatakan pada diri mereka sendiri: “Mengapa Allah tiada menyiksa kita disebabkan apa yang kita katakan itu?” Cukuplah bagi mereka neraka jahannam yang akan mereka masuki. Dan neraka itu adalah seburuk buruk tempat kembali.” (Al-Mujadalah: 8)
Perilaku Memamerkan Dosa
TERMASUK faktor yang menyebabkan dosa kecil menjadi besar adalah memamerkan dosa dengan cara menyebut-nyebutnya setelah melakukannya, atau dia melakukannya di hadapan orang lain. Karena hal itu berarti merobek tirai Allah yang telah ditutupkan padanya, juga dapat menggugah keinginan buruk pada diri orang lain terhadap perbuatan yang diperdengarkannya atau dipertontonkannya itu. Jadi, dua-duanya merupakan tindak kejahatan yang digabungkan dengan tindak kejahatannya sehingga menjadi beratlah ia.
Jika tindakan menyeret orang lain kepada dosa dan membukakan peluang kepadanya digabungkan lagi, maka jadilah kejahatan keempat sehingga semakin menumpuklah kekejian yang terjadi. Di dalam riwayat disebutkan: “Setiap orang dapat dimaafkan kesalahannya kecuali orang-orang yang suka pamer, yaitu orang yang melalui malamnya dengan melakukan perbuatan dosa yang telah ditutupi oleh Allah, lalu ketika memasuki pagi tiba-tiba ia membuka tutupan Allah tersebut dengan membeberkan dosanya.” (Hadist Muttafaq ‘alahi daru Abu Hurairah). Hal demikian karena di antara sifat-sifat Allah dan kenikmatan-Nya adalah bahwa Dia menampakkan keindahan dan menutupi keburukan, karena itu tutupan-Nya tidak boleh dirusakkan. Tindakan menampakkan kejahatan itu berarti kufur terhadap nikmat ini.
Di antara ulama ada yang berkata: “Janganlah engkau melakukan dosa! Namun jika engkau terlanjur melakukannya, maka janganlah menggugah orang lain untuk melakukannya sehingga engkau berdosa dua kali. Dan karena itulah Allah berfirman: Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh berbuat yang mungkar dan melarang berbuat yang baik. (At Taubah: 67). Di antara generasi salaf ada yang berkata: “Tidaklah seorang mencemarkan nama baik saudaranya lebih besar daripada membantunya berbuat kemaksiatan kemudian menganggap enteng hal itu.”
Ada kalanya pelaku dosa tersebut adalah seorang berilmu yang dijadikan panutan. Maka jika ia melakukannya di tempat yang dapat terlihat oleh orang lain, akan menjadi besarlah dosanya. Misalnya memakai sutera, mengendarai kendaraan dari emas, dan mengambil harta yang syubhat dari kalangan pejabat, berkunjung kepada para penguasa, mengumbar omongan yang mencemarkan kehormatan orang lain, melecehkan dan menganggap sepele orang lain dalam perdebatan, serta sibuk mempelajari ilmu yang tujuannya untuk memperoleh kedudukan. Dosa-dosa ini akan diikuti orang lain bila dilakukan oleh orang yang berilmu. Sehingga, bila yang bersangkutan meninggal dunia, maka keburukannya tetap menyebar di seluruh alam sepanjang masa. Maka berbahagialah orang yang meninggal dunia dan ikut berakhir pula dosa-dosanya.
Di dalam satu riwayat disebutkan: “Barangsiapa yang mewariskan suatu kebiasaan buruk, maka ia akan menanggung dosanya dan dosa-dosa orang yang mengerjakannya, tidak kurang sedikit pun dari dosa-dosa mereka.” (Hadist diriwayatkan Muslim dari Jarir bin Abdullah). Firman Allah: Dan kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan pengaruh-pengaruh yang mereka tinggalkan.” (Yasin: 121).
Pengaruh-pengaruh itu adalah apa yang terjadi menyusul terjadinya suatu perbuatan dan setelah matinya si pelaku.
Ibnu `Abbas berkata: “Celakalah orang yang berilmu akibat para pengikutnya. Ia melakukan suatu kesalahan lalu kembali ke jalan yang benar, tetapi kesalahan itu ditiru oleh orang lain dan mereka menyebarkannya ke mana-mana.”
Di antara ulama ada yang mengatakan, perumpamaan dosa orang yang berilmu adalah seperti pecahnya kapal, lalu tenggelam, dan ikut tenggelam pula penumpangnya. Di dalam kisah Israilliyat, diceritakan tentang seorang yang berilmu yang menyesatkan orang lain dengan bid’ah, kemudian ia pun bertobat dan mengadakan perbaikan sepanjang masa. Lalu Allah menyampaikan wahyu kepada nabi-Nya: “Katakan kepadanya, sesungguhnya dosamu, seandainya hanya terjadi antara-Ku dan dirimu, niscaya telah Aku ampuni. Tetapi bagaimana dengan orang yang telah engkau sesatkan di antara hamba-hamba-Ku dan telah engkau seret mereka ke neraka?”
Dengan ini, nyatalah bahwa tanggung jawab para ulama itu sangat besar. Mereka mempunyai dua tugas pokok: meninggalkan dosa, dan menyembunyikannya. Sebab, sebagaimana dosa-dosa mereka bisa berlipat ganda, akan berlipat ganda pula pahala mereka apabila mereka diikuti. Maka tindakan meninggalkan basa-basi dan kecenderungan kepada dunia serta hanya merasa puas dengan yang sedikit darinya, yakni yang pokok dari makanan dan yang sederhana dari pakaian, lalu ia diikuti dan diteladani baik oleh kalangan ulama yang lain maupun orang awam, maka ia akan mendapatkan pahala seperti mereka.
Dan jika ia cenderung kepada basa-basi, maka tabiat orang yang di bawahnya pun akan ikut cenderung menirunya. Pada dasarnya perilaku basa-basi itu sering muncul bila seseorang sering bergaul dengan para penguasa dan gemar mengumpulkan kekayaan dari sumber yang haram. Dan itulah yang menjadi sebab semua itu. Maka gerak-gerik para ulama sedikit-banyak akan berlipat ganda pengaruhnya, baik dalam bentuk keuntungan dan maupun kerugian.*/Imam al-Ghazali, tertulis dalam bukunya Menebus Dosa.
Rep: Admin Hidcom
Editor: Syaiful Irwan