Minggu, 19 Juni 2016

Mewaspadai Dosa Kecil Menjadi Besar


Dosa besar biasanya tidak terjadi secara tiba-tiba, tanpa pendahuluan dan pembuka jalan yang terdiri dari sejumlah dosa-dosa kecil.
Mewaspadai Dosa Kecil Menjadi Besar (1)
Ilustrasi.


















DOSA-dosa kecil dapat menjadi besar karena beberapa faktor, yang antara lain jika dilakukan dengan tekun dan berkelanjutan. Oleh karena itu dikatakan `tidak ada dosa kecil bersama pengulangan dan tidak ada dosa besar bersama dengan istighfar.’
Satu dosa besar yang berhenti dikerjakan dan tidak diiringi lagi dengan dosa semisalnya, –andaikan itu terjadi–, lebih besar peluangnya mendapatkan maaf daripada satu dosa kecil yang terus menerus dikerjakan seseorang. Perumpamaannya ialah tetesan air yang jatuh di alas sebuah batu secara terus-menerus dalam waktu yang lama akan berbekas padanya. Tetapi seandainya jumlah seluruh tetesan itu disiramkan sekaligus ke atasnya, tentu tidaklah membekas.
Oleh karena itu, Rasulullah Shalallaahu ‘Alahi Wasallam bersabda: “Sebaik-baik amal perbuatan ialah yang dikerjakan secara rutin sekalipun sedikit.” (Muttafaq ‘alahi dari ‘Aisyah). Segala sesuatu dapat dijelaskan melalui lawan-lawannya. Jika yang bermanfaat dari amal perbuatan adalah yang rutin dikerjakan kendati sedikit, maka yang banyak tetapi terhenti akan sedikit manfaatnya untuk menerangi dan membersihkan hati. Maka, demikian pula halnya, jumlah yang sedikit dari kejahatan, bila terus berlanjut, akan besar pengaruhnya dalam membuat hati menjadi gelap.
Lagi pula, dosa besar itu biasanya tidak terjadi secara tiba-tiba, tanpa pendahuluan dan pembuka jalan yang terdiri dari sejumlah dosa-dosa kecil. Jarang sekali pelaku zina melakukan aksinya secara tiba-tiba begitu saja tanpa ada rangsangan dan pendahuluan. Jarang terjadi peristiwa pembunuhan tanpa didahului pertikaian dan permusuhan. Jadi, setiap dosa besar selalu diliputi oleh dosa-dosa kecil sebagai pendahulu dan pembuka.
Seandainya Anda bisa membayangkan ada dosa besar yang dikerjakan secara mendadak, barangkali untuk memperoleh maaf darinya lebih bisa diharapkan daripada suatu dosa kecil yang terus menerus dikerjakan seseorang sepanjang umurnya.
Menganggap Sepele Dosa-dosa
Di antara faktor yang menjadikan dosa kecil menjadi besar adalah menganggap enteng dosa. Setiap kali suatu dosa dianggap besar oleh hamba, niscaya menjadi kecil di sisi AllahSubhanahu Wa Ta’ala. Dan sebaliknya, setiap kali dosa dianggap kecil oleh hamba, niscaya akan menjadi besar di sisi Allah. Karena, anggapan besar itu timbul dari keengganan hati dan kebencian kepadanya, sehingga ia mencegah intensitas dampak yang ditimbulkan. Sementara anggapan kecil lahir dari sikap merasa terbiasa dengannya, dan itu menyebabkan pengaruhnya menjadi besar di hati. Padahal hati itu diharapkan tercerahkan oleh berbagai ketaatan, dan tidak menghitam oleh berbagai keburukan.
Oleh karena itulah hati tidak dianggap berdosa atas sesuatu yang dilakukan secara tidak sadar, lantaran hati itu tidak terpengaruh oleh apa yang terjadi karena kelalaian. Terdapat keterangan di dalam riwayat: “Orang beriman melihat dosanya seperti gunung yang berada di atasnya, ia khawatir kalau gunung itu akan runtuh menimpanya; sedangkan orang munafik melihat dosanya seperti lalat yang lewat di depan hidungnya, lalu diusirnya.” (Hadist diriwayatkan Bukhari dari Al-Harist bin Suwaid).
Di antara orang arif ada yang mengatakan, termasuk dosa yang tidak diampuni ialah ucapan seorang hamba, “Sekiranya setiap dosa yang aku kerjakan seperti ini.” Dosa menjadi besar di hati orang beriman disebabkan oleh pengetahuannya akan kebesaran Allah. Maka ketika ia melihat kepada Keagungan siapa yang didurhakainya, niscaya dia pun melihat setiap kesalahan yang kecil menjadi besar. Dan Allah SWT pun telah menyampaikan wahyu kepada salah seorang Nabi-Nya, firmanNya: “Janganlah engkau memandang sedikitnya hadiah; tetapi pandanglah keagungan yang memberinya. Janganlah engkau memandang kecilnya kesalahan; tetapi pandanglah kebesaran siapa yang engkau hadapi dengan kesalahan itu.
Berdasarkan pandangan seperti ini pula seorang arif berkata, tiada dosa kecil, tetapi setiap perbuatan menentang adalah dosa besar. Demikianlah di antara sahabat ada yang mengatakan kepada generasi tabi’in: “Sesungguhnya kalian mengerjakan beberapa perbuatan yang di dalam pandangan kalian lebih halus daripada rambut, padahal dulu di masa Rasulullah kami menganggapnya termasuk penyebab berbagai kebinasaan.”
Ini disebabkan karena pengetahuan para sahabat akan kebesaran Allah memang lebih sempurna, karena itu dosa-dosa kecil dalam pandangan mereka –bila dihubungkan kepada kebesaran Allah– termasuk dosa-dosa besar. Dan dengan sebab ini pula, apa yang dianggap besar oleh orang berilmu akan dianggap kecil oleh orang bodoh, dan orang awam akan mentolerir hal-hal yang, bagi orang arif, tidak bisa ditolerir. Karena dosa dan penentangan akan menjadi besar sebanding dengan pengetahuan yang dimiliki oleh si pendosa
.

Rasa Senang terhadap Dosa Kecil
TERMASUK faktor yang menyebabkan dosa kecil menjadi besar adalah rasa senang terhadap dosa kecil, gembira dan bangga terhadapnya seraya menganggap kemantapan dalam melakukannya sebagai nikmat; padahal ia lupa bahwa dosa itu adalah penyebab penderitaan. Maka, setiap kali manisnya dosa kecil menguasai diri seorang hamba, niscaya jadi besarlah dosa tersebut dan besar pula pengaruhnya dalam menyebabkan hati menjadi hitam.
Bahkan di antara orang yang melakukan dosa tersebut memuji-muji dosanya dan merasa bangga terhadapnya karena berhasil melakukannya. Yaitu seperti orang yang mengatakan, “Tidakkah kaulihat, bagaimana saat kurobek-robek kehormatannya? Bagaimana aku telah melecehkannya? Bagaimana aku telah berhasil membuatnya ragu-ragu?”
Seseorang yang profesinya di bidang perdagangan berkata: “Tidakkah engkau perhatikan bagaimana aku telah berhasil menipunya? Bagaimana aku telah berhasil mengkhianati kekayaannya? Dan bagaimana pula aku telah membuatnya seperti orang bodoh?” Maka ucapan-ucapan seperti inilah yang membuat dosa-dosa kecil menjadi besar. Karena dosa-dosa itu merusak, maka apabila hamba terdorong untuk melakukannya dan setan berhasil menyeretnya untuk melakukannya, maka seharusnya ia merasa bahwa dirinya sedang berada dalam musibah dan merasa menyesal karena musuh telah mengalahkannya dan menyebabkannya menjadi jauh dari Allah.
Orang sakit yang merasa gembira terhadap pecahnya wadah yang di dalamnya terdapat obat baginya, hanya lantaran ia merasa terbebas dari pahitnya rasa obat itu, tidak akan ada harapan baginya untuk sembuh.
Meremehkan Kesabaran Allah dalam Menutupi Dosanya
Termasuk faktor yang menyebabkan dosa kecil menjadi besar adalah sikap meremehkan Allah yang menutupi keburukannya dengan sabar dan menangguhkan siksa-Nya; padahal ia tidak menyadari bahwa timbulnya penangguhan tersebut akibat murka Allah, agar dirinya bertambah dosanya disebabkan penangguhan tersebut. Ironisnya, ia malah menduga bahwa kemantapannya dalam melakukan berbagai kemaksiatan merupakan perhatian Allah kepada dirinya sehingga hal itu mengakibatkan timbulnya rasa aman pada dirinya dari siksa Allah. Padahal ia tidak tahu akan tipu daya yang tersembunyi terhadap Allah.
Firman Allah, “Dan mereka mengatakan pada diri mereka sendiri: “Mengapa Allah tiada menyiksa kita disebabkan apa yang kita katakan itu?” Cukuplah bagi mereka neraka jahannam yang akan mereka masuki. Dan neraka itu adalah seburuk buruk tempat kembali.” (Al-Mujadalah: 8)

Perilaku Memamerkan Dosa
TERMASUK faktor yang menyebabkan dosa kecil menjadi besar adalah memamerkan dosa dengan cara menyebut-nyebutnya setelah melakukannya, atau dia melakukannya di hadapan orang lain. Karena hal itu berarti merobek tirai Allah yang telah ditutupkan padanya, juga dapat menggugah keinginan buruk pada diri orang lain terhadap perbuatan yang diperdengarkannya atau dipertontonkannya itu. Jadi, dua-duanya merupakan tindak kejahatan yang digabungkan dengan tindak kejahatannya sehingga menjadi beratlah ia.
Jika tindakan menyeret orang lain kepada dosa dan membukakan peluang kepadanya digabungkan lagi, maka jadilah kejahatan keempat sehingga semakin menumpuklah kekejian yang terjadi. Di dalam riwayat disebutkan: “Setiap orang dapat dimaafkan kesalahannya kecuali orang-orang yang suka pamer, yaitu orang yang melalui malamnya dengan melakukan perbuatan dosa yang telah ditutupi oleh Allah, lalu ketika memasuki pagi tiba-tiba ia membuka tutupan Allah tersebut dengan membeberkan dosanya.” (Hadist Muttafaq ‘alahi daru Abu Hurairah). Hal demikian karena di antara sifat-sifat Allah dan kenikmatan-Nya adalah bahwa Dia menampakkan keindahan dan menutupi keburukan, karena itu tutupan-Nya tidak boleh dirusakkan. Tindakan menampakkan kejahatan itu berarti kufur terhadap nikmat ini.
Di antara ulama ada yang berkata: “Janganlah engkau melakukan dosa! Namun jika engkau terlanjur melakukannya, maka janganlah menggugah orang lain untuk melakukannya sehingga engkau berdosa dua kali. Dan karena itulah Allah berfirman: Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh berbuat yang mungkar dan melarang berbuat yang baik. (At Taubah: 67). Di antara generasi salaf ada yang berkata: “Tidaklah seorang mencemarkan nama baik saudaranya lebih besar daripada membantunya berbuat kemaksiatan kemudian menganggap enteng hal itu.”
Ada kalanya pelaku dosa tersebut adalah seorang berilmu yang dijadikan panutan. Maka jika ia melakukannya di tempat yang dapat terlihat oleh orang lain, akan menjadi besarlah dosanya. Misalnya memakai sutera, mengendarai kendaraan dari emas, dan mengambil harta yang syubhat dari kalangan pejabat, berkunjung kepada para penguasa, mengumbar omongan yang mencemarkan kehormatan orang lain, melecehkan dan menganggap sepele orang lain dalam perdebatan, serta sibuk mempelajari ilmu yang tujuannya untuk memperoleh kedudukan. Dosa-dosa ini akan diikuti orang lain bila dilakukan oleh orang yang berilmu. Sehingga, bila yang bersangkutan meninggal dunia, maka keburukannya tetap menyebar di seluruh alam sepanjang masa. Maka berbahagialah orang yang meninggal dunia dan ikut berakhir pula dosa-dosanya.
Di dalam satu riwayat disebutkan: “Barangsiapa yang mewariskan suatu kebiasaan buruk, maka ia akan menanggung dosanya dan dosa-dosa orang yang mengerjakannya, tidak kurang sedikit pun dari dosa-dosa mereka.” (Hadist diriwayatkan Muslim dari Jarir bin Abdullah). Firman Allah: Dan kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan pengaruh-pengaruh yang mereka tinggalkan.” (Yasin: 121).
Pengaruh-pengaruh itu adalah apa yang terjadi menyusul terjadinya suatu perbuatan dan setelah matinya si pelaku.
Ibnu `Abbas berkata: “Celakalah orang yang berilmu akibat para pengikutnya. Ia melakukan suatu kesalahan lalu kembali ke jalan yang benar, tetapi kesalahan itu ditiru oleh orang lain dan mereka menyebarkannya ke mana-mana.”
Di antara ulama ada yang mengatakan, perumpamaan dosa orang yang berilmu adalah seperti pecahnya kapal, lalu tenggelam, dan ikut tenggelam pula penumpangnya. Di dalam kisah Israilliyat, diceritakan tentang seorang yang berilmu yang menyesatkan orang lain dengan bid’ah, kemudian ia pun bertobat dan mengadakan perbaikan sepanjang masa. Lalu Allah menyampaikan wahyu kepada nabi-Nya: “Katakan kepadanya, sesungguhnya dosamu, seandainya hanya terjadi antara-Ku dan dirimu, niscaya telah Aku ampuni. Tetapi bagaimana dengan orang yang telah engkau sesatkan di antara hamba-hamba-Ku dan telah engkau seret mereka ke neraka?
Dengan ini, nyatalah bahwa tanggung jawab para ulama itu sangat besar. Mereka mempunyai dua tugas pokok: meninggalkan dosa, dan menyembunyikannya. Sebab, sebagaimana dosa-dosa mereka bisa berlipat ganda, akan berlipat ganda pula pahala mereka apabila mereka diikuti. Maka tindakan meninggalkan basa-basi dan kecenderungan kepada dunia serta hanya merasa puas dengan yang sedikit darinya, yakni yang pokok dari makanan dan yang sederhana dari pakaian, lalu ia diikuti dan diteladani baik oleh kalangan ulama yang lain maupun orang awam, maka ia akan mendapatkan pahala seperti mereka.
Dan jika ia cenderung kepada basa-basi, maka tabiat orang yang di bawahnya pun akan ikut cenderung menirunya. Pada dasarnya perilaku basa-basi itu sering muncul bila seseorang sering bergaul dengan para penguasa dan gemar mengumpulkan kekayaan dari sumber yang haram. Dan itulah yang menjadi sebab semua itu. Maka gerak-gerik para ulama sedikit-banyak akan berlipat ganda pengaruhnya, baik dalam bentuk keuntungan dan maupun kerugian.*/Imam al-Ghazali, tertulis dalam bukunya Menebus Dosa.
Rep: Admin Hidcom
Editor: Syaiful Irwan

Awas, Kesyirikan Zaman Sekarang Lebih Parah!


Kaum musyrikin pada zaman sekarang ini tidak hanya menyekutukan Allah dalam masalah uluhiyyah saja, namun juga menyekutukan Allah dalam masalah rububiyyah.
Awas, Kesyirikan Zaman Sekarang Lebih Parah! (1)
Kegiatan larung sesaji yang dilakukan para nelayan. Tidak hanya menyekutukan Allah dalam masalah uluhiyyah saja, namun juga dalam masalah rububiyyah.
















DI ANTARA musibah besar yang menimpa kaum muslimin dewasa ini –karena ketidakpedulian mereka terhadap urusan agama dan sibuk dengan urusan dunia– adalah banyaknya di antara mereka terjerumus ke dalam hal-hal yang diharamkan Allah Ta’ala. Hal ini disebabkan sedikitnya pemahaman mereka tentang permasalahan-permasalahan agama. Dan jurang keharaman terdalam yang mereka masuki, yaitu lembah hitam kesyirikan.
Perbuatan dosa yang paling besar ini pun begitu samar bagi kebanyakan manusia karena kebodohan mereka dan rajinnya setan dalam menyesatkan manusia, sebagaimana dikisahkan Allah Ta’ala tentang sumpah iblis,
Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus” (Al-A’raf: 16).
Bahkan kesyirikan hasil tipudaya iblis yang terjadi pada masa kita sekarang ini lebih parah daripada kesyirikan yang terjadi pada zaman Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam.Mengapa bisa demikian? Berikut ini penjelasannya.
1. Kesyirikan Zaman Dahulu “Hanya” dalam Masalah Tauhid Uluhiyyah.
Keyakinan orang-orang musyrik yang diperangi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah masyarakat yang bersaksi dan memiliki keyakinan bahwa Allah-lah satu-satunya Dzat Yang Maha mencipta, tidak ada sekutu baginya. Bahwa tidak ada yang memberi rezeki kecuali Allah semata, tidak ada yang menghidupkan dan mematikan kecuali Allah Ta’alasaja, tidak ada yang mengatur segala jenis urusan kecuali Allah Ta’ala saja, serta seluruh langit dan bumi beserta segala isinya adalah hamba-Nya dan berada di bawah pengaturan dan kekuasaan-Nya.
Di antara dalil yang menunjukkan hal itu adalah firman Allah Ta’ala,
Katakanlah, ‘Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?’ Mereka akan menjawab, ‘Kepunyaan Allah’. Katakanlah, ‘Maka apakah kamu tidak ingat?’ Katakanlah, ‘Siapakah yang memiliki langit yang tujuh dan yang memiliki Arsy yang besar?’ Mereka akan menjawab, ‘Kepunyaan Allah’. Katakanlah, ‘Maka apakah kamu tidak bertakwa?’ Katakanlah, ‘Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya, jika kamu mengetahui?’ Mereka akan menjawab, ‘Kepunyaan Allah’ Katakanlah, ‘(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?‘ (Al-Mu’minuun: 84-89).
Demikianlah kondisi kaum musyrikin dahulu. Mereka tidak pernah memiliki keyakinan bahwa Latta, Uzza, Manat; dan sesembahan lainnya adalah yang menciptakan, memberi rezeki, atau yang menguasai alam semesta ini. Mereka juga tidak memiliki keyakinan bahwa sesembahan mereka itulah yang menghidupkan dan mematikan mereka. Namun, mereka hanyalah hamba-hamba Allah Ta’ala yang ‘shalih’ yang dijadikan sebagai perantara dalam ibadah mereka kepada Allah Ta’ala. Demikianlah kontradiksi kaum musyrik tersebut, yaitu mereka mengakui dan beriman kepada sifat-sifat rububiyyah Allah, namun mereka menyekutukan Allah dalam masalah ibadah. Oleh karena itu, Allah berfirman terhadap mereka,
Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sesembahan sesembahan lain)” (Yusuf: 106).
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata berkenaan dengan ayat ini, “Di antara keyakinan mereka, jika ditanyakan kepada mereka, ‘Siapakah yang menciptakan langit? Siapakah yang menciptakan bumi? Dan siapakah yang menciptakan gunung?’ Mereka menjawab, ‘Allah’ Sedangkan mereka dalam keadaan berbuat syirik kepada-Nya.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim, 4/418).
Lalu bagaimana dengan kondisi kaum musyrikin pada zaman sekarang? Maka akan kita jumpai kondisi yang lebih parah dari kaum musyrikin pada zaman Rasulullah. Di samping mereka beribadah kepada selain Allah Ta’ala (kesyirikan dalam masalah uluhiyyah), mereka juga menyekutukan Allah Ta’ala dalam masalah rububiyyah.
Beberapa kondisi yang menunjukkan kesyirikan dalam masalah rububiyyah adalah:
a. Keyakinan mereka bahwa ada “Dewi” khusus yang berjasa untuk menyuburkan tanah sehingga dapat menjadikan hasil panen mereka –terutama padi– berlimpah ruah. Sehingga pada saat-saat tertentu, mereka membuat “jamuan” khusus kepada sang Dewi tersebut sebagai ungkapan rasa terima kasih karena telah diberi hasil panen berlimpah.
Dalam kasus ini terjadi kesyirikan dua aspek sekaligus. Pertama, dalam tauhid rububiyyah, karena mereka meyakini adanya pemberi rezeki (berupa panen yang melimpah) selain Allah Ta’ala. Kedua, dalam tauhid uluhiyyah, karena mereka menunjukan ibadah kepada Dewi tersebut, di antaranya berupa sembelihan.
b. Keyakinan sebagian masyarakat kita terhadap Nyi Roro Kidul sebagai “penguasa” laut selatan. Keyakinan ini dapat dilihat dari “budaya” atau kebiasaan mereka ketika melakukan tumbal berupa sembelihan kepala kerbau, kemudian dilarung (dilabuhkan) ke Laut Selatan dengan keyakinan agar laut tersebut tidak ngamuk (marah).
Menurut keyakinan mereka, tumbal tersebut dipersembahkan kepada penguasa Laut Selatan, yaitu jin Nyi Roro Kidul. Padahal, menyembelih merupakan salah satu aktivitas ibadah karena di dalamnya terkandung unsur ibadah, yaitu merendahkan diri dan ketundukan. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam.” (Al-An’am: 162).
Barangsiapa memalingkan perkara ibadah yang satu ini kepada selain Allah maka dia telah jatuh dalam perbuatan syirik akbar dan pelakunya keluar dari Islam.
Dalam kasus tersebut juga terjadi kesyirikan dalam dua aspek sekaligus. Pertama, dalam tauhid rububiyyah, karena mereka meyakini adanya penguasa atau pengatur alam (yaitu Laut Selatan) selain Allah Ta’ala. Kedua, dalam tauhid uluhiyyah, karena mereka menujukan ibadah menyembelih kepada Nyi Roro Kidul tersebut dengan disertai pengagungan kepadanya.
Demikianlah realita kaum muslimin pada zaman sekarang ini. Mereka tidak hanya menyekutukan Allah dalam masalah uluhiyyah saja, namun mereka juga menyekutukan Allah dalam masalah rububiyyah. Suatu kondisi yang tidak pernah kita jumpai pada kaum musyrikin di zaman Rasulullah yang “hanya” menyekutukan Allah Ta’ala dalam uluhiyyah-nya saja

2. Kesyirikan Zaman Dahulu “Hanya” Terjadi di Waktu Lapang
REALITA kedua yang menunjukkan bahwa kondisi kesyirikan zaman sekarang lebih parah daripada kesyirikan pada zaman Rasulullah, bahwa kesyirikan zaman Rasulullah hanya terjadi ketika dalam kondisi lapang. Adapun kalau sedang ditimpa kesempitan, kesusahan, atau terancam bahaya, mereka mengikhlaskan ibadah mereka kepada Allah Ta’ala semata. Di antara bukti yang menunjukkan bahwa kesyirikan orang musyrik jahiliyyah hanya di waktu lapang saja adalah beberapa ayat berikut ini.
Allah Ta’ala berfirman, “Dia-lah Rabb yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan, (berlayar) di lautan. Sehingga apabila kamu berada di dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa orang-arang yang ada di dalamnya dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya, datanglah angin badai. Dan (apabila) gelombang dari segenap penjuru menimpanya, dan mereka yakin bahwa mereka telah terkepung (bahaya), maka mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya semata-mata. (Mereka berkata), ‘Sesungguhnya jika Engkau (Allah) menyelamatkan kami dari bahaya ini, pastilah kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur.’ Maka ketika Allah menyelamathan mereka, tiba-tiba mereka membuat kezaliman di muka bumi tanpa (alasan) yang benar. Wahai manusia, sesungguhnya (bencana) kezalimanmu akan menimpa dirimu sendiri. (Hasil kezalimanmu) itu hanyalah kenikmatan hidup duniawi, kemudian kepada Kami-lah kembalimu. Lalu kami kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.‘ (Yunus: 22-23).
Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya). Dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan. Kemudian apabila dia telah menghilangkan kemudharatan itu dari kamu, tiba-tiba sebagian dari kamu mempersekutukan Rabb-nya dengan (yang lain).” (An-Nahl: 53-54).
Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, mscaya hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Dia. Maka ketika Dia menyelamatkan kamu ke daratan, kamu berpaling. Dan manusia itu selalu tidak berterima kasih.’ (Al-Isra’: 67).
Maka apabila mereka naik kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Maka ketika Allah menyelamathan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah).’ (Al-An’kabut: 65).
Dan apabila mereka dilamun ombak yang besar seperti gunung, mereka menyeru Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Maka ketika Allah menyelamatkan mereka sampai di daratan, lalu sebagian mereka tetap menempuh jalan yang lurus. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat kami selain orang-orang yang tidak setia lagi ingkar.‘ (Luqman: 32).
Dengan merenungkan ayat-ayat tersebut, jelaslah bagi kita bahwa orang musyrik jahiliyyah berbuat kesyirikan hanya di waktu lapang. Namun, apabila apabila mereka sedang tertimpa kesempitan, kesusahan, atau terancam bahaya, mereka mengikhlaskan doa dan ibadah mereka kepada Allah Ta’ala dan melupakan segala sesembahan selain Allah.
Mereka tidak menyeru atau berdoa kepada selain Allah Ta’ala karena mereka mengetahui bahwa tidak ada sesembahan mereka yang dapat menyelamatkannya dari bahaya tersebut kecuali Allah Ta’ala saja. Sehingga mereka tidak berdoa kepada Latta, ‘Uzza, Manat, pohon, batu, dan makhluk lainnya, namun mereka hanya berdoa dan menyeru kepada Allah Ta’ala semata.
Adapun kaum musyrikin zaman sekarang ini, maka kesyirikan mereka terus-menerus berlangsung, baik dalam kondisi lapang maupun sempit. Mereka tidak mengikhlaskan ibadah mereka kepada Allah Ta’ala, meskipun sedang berada dalam kondisi kesempitan dan kesusahan. Bahkan, setiap kali kesusahan dan kesempitan yang mereka alami semakin parah, maka semakin parah pula kesyirikan yang mereka lakukan dengan menyeru kepada Hasan, Husein, Abdul Qadir Jailani, Rifa’i, atau kepada orang-orang mati lainnya. Hal ini adalah sesuatu yang telah diketahui oleh kita semua. Di antara mereka, apabila sedang tertimpa bahaya di lautan, mereka justru memanggil nama-nama para wali dan orang shalih yang telah mati dalam rangka berdoa agar mereka menyelamatkannya dari bahaya tersebut.
Oleh karena itu, tidak ragu lagi bahwa kesyirikan zaman sekarang lebih parah daripada kesyirikan pada zaman dahulu. Karena orang musyrik zaman sekarang berbuat kesyirikan dalam dua keadaan (yaitu dalam kondisi lapang dan sempit). Sedangkan orang musyrik zaman dahulu hanya berbuat syirik dalam satu keadaan saja (yaitu dalam kondisi lapang), dan mentauhidkan Allah Ta’ala dalam kondisi sempit.
Penulis mengajak kita semua untuk melihat realita yang terjadi di tengah-tengah masyarakat kita saat ini. Tentu kita masih ingat dengan ancaman badai tropis beberapa tahun lalu, masyarakat kita justru “masih sempat” berbuat syirik dengan membuat sayur lodeh sebagai bagian dari tolak bala.’ Entah apa yang berada dalam pikiran masyarakat tersebut, namun inilah realita yang terjadi.
Ancaman musibah tersebut tidak menyadarkan mereka agar meminta pertolongan kepada Allah Ta’ala semata, namun justru meminta kepada selain Allah Ta’ala. Kalaulah mereka beralasan bahwa sayur lodeh tersebut sebagai wasilah (perantara) saja, apa dalil yang menunjukkan bahwa Allah Ta’ala mengajarkan adanya kaitan antara membuat sayur lodeh dengan tolak bala?
Kita lihat juga realita yang lain, apabila tertimpa musibah berupa penyakit yang tidak kunjung sembuh, dan telah ada tanda-tanda tidak akan mampu bertahan lebih lama lagi, sebagian masyarakat kita justru “masih sempat” berbuat syirik dengan mendatangi dukun atau paranormal agar membantu menyembuhkan penyakit yang mereka derita. Sungguh amat kasihan ketika kita melihat orang yang bertauhid di kala sehatnya, namun menjadi musyrik di kala sakitnya. Apalagi sakit itulah yang akhirnya menjadi sebab tercabutnya nyawanya. Kematian manakah yang lebih tragis dari kematian dalam keadaan musyrik?
Masyarakat yang lain, ketika punya hajatan (misalnya pernikahan, membangun rumah, ataupun yang lainnya) mereka memberikan sesajen ke tempat-tempat yang dianggap keramat. Ketika suatu ketika terkena musibah, mereka beranggapan bahwa mereka telah kuwalat terhadap yang mbaurekso (jin penunggu) kampungnya, kemudian meminta ampun dan berdoa kepadanya agar menghilangkan musibah itu atau pergi ke dukun untuk menghilangkannya. Inilah beberapa realita di masyarakat kita yang menunjukkan bahwa mereka berbuat syirik di waktu lapang dan sempit.

3. Sesembahan Orang Musyrik Dahulu “Lebih Mending Shalihnya”.
KESYIRIKAN pertama kali terjadi di muka bumi ini adalah kesyirikan yang dilakukan oleh kaum Nuh ‘alaihis salaam. Kesyirikan tersebut terjadi karena sikap mereka yang ghuluw (berlebih-lebihan dalam memuji) terhadap orang-orang shalih. Allah Ta’ala berfirman, “Dan mereka berkata, ‘Janganlah sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) terhadap tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) terhadap Wadd, dan jangan pula Suwwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr.‘” (Nuh: 23)
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata ketika menjelaskan sesembahan-sesembahan kaum Nuh dalam ayat di atas, “(Itu adalah) nama-nama orang shalih di kalangan umat Nuh. Ketika mereka meninggal, setan membisikkan kepada kaum Nuh untuk membuat patung-patung di tempat-tempat mereka beribadah, serta menamai patung-patung tersebut dengan nama-nama mereka. Kaum Nuh pun menuruti bisikan tersebut, namun patung tersebut belum sampai disembah. Ketika kaum Nuh tersebut meninggal, dan hilanglah ilmu, patung-patung itu pun akhirnya disembah.” (riwayat Bukhari No. 4920)
Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “Para ulama salaf mengatakan, ‘Mereka adalah orang-orang shalih di kalangan umat Nuh. Ketika mereka meninggal, umat Nuh beritikaf di kubur-kubur mereka serta membuat patung-patung mereka. Kemudian, seiring dengan berjalannya waktu, umat Nuh pun akhirnya menyembah mereka.'”
Demikianlah, orang-orang musyrik pada zaman Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallammenjadikan sekutu bagi Allah Ta’ala dari dua kelompok. Kelompok pertama adalah pohon, batu, dan yang lainnya. Sedangkan kelompok kedua adalah hamba-hamba Allah Ta’ala yang shalih, baik dari kalangan para nabi, malaikat, ataupun wali. Karena menurut persangkaan mereka, hamba-hamba Allah Ta’ala yang shalih ini dapat mendekatkan diri mereka kepada Allah Ta’ala.
Mereka mempunyai pemikiran bahwa orang-orang shalih itu mempunyai kedudukan mulia di sisi Allah Ta’ala. Sementara mereka merasa banyak berbuat dosa dan maksiat, sehingga tidak pantas meminta langsung kepada Allah, tetapi harus melalui perantara orang-orang shalih tersebut.
Syaikh Muhammad At-Tamimy rahimahullah berkata, “Orang-orang musyrik dahulu menyembah hamba-hamba Allah yang shalih dan dekat di sisi Allah, baik dari kalangan nabi, wali, atau malaikat. Atau mereka menyembah batu dan pohon, yang merupakan makhluk yang taat kepada Allah dan tidak pernah bermaksiat kepada-Nya. Sedangkan orang musyrik zaman sekarang, mereka menyembah manusia yang paling bejat.
Orang-orang yang mereka sembah ternyata adalah orang-orang yang tidak bisa menjaga diri mereka dari zina, mencuri, meninggalkan shalat, dan maksiat-maksiat lainnya. Sehingga masyarakat yang memiliki keyakinan terhadap orang-orang shalih dan makhluk yang tidak pernah bermaksiat (yaitu kaum musyrik zaman dahulu, Pen) lebih ringan (kesyirikannya) daripada masyarakat yang memiliki keyakinan terhadap orang-orang yang fasik dan rusak (yaitu kaum musyrik zaman sekarang, Pen).”
Marilah kita cocokkan perkataan Syaikh rahimahullah tersebut dengan realita yang terjadi di masyarakat kita sekarang ini. Saking parahnya keadaan mereka, orang-orang yang telah mereka kenal sebagai orang suka berbuat maksiat pun mereka sembah dan diharapkan berkahnya. Marilah kita melihat betapa banyaknya orang-orang yang berbondong-bondong “ngalap berkah ” ke makam Pangeran Samudro dan Nyai Ontrowulan di Gunung Kemukus, Sragen, Jawa Tengah. Dikisahkan bahwa mereka berdua adalah anak dan ibu tiri (permaisuri raja) dari kerajaan Majapahit yang berselingkuh (baca: berzina). Kemudian mereka diusir dari kerajaan dan menetap di Gunung Kemukus hingga meninggal dunia.
Konon sebelum meninggal, Pangeran Samudro (disebutkan) berpesan bahwa keinginan peziarah dapat terkabul jika mereka bersedia melakukan seperti apa yang pernah dia lakukan bersama ibu tirinya (yaitu berzina). Sehingga sebagai syarat `mujarab” untuk mendapat berkah di sana, adalah harus dengan berselingkuh terlebih dahulu. Demikianlah kisah salah satu sesembahan orang-orang musyrik zaman sekarang ini yang ternyata adalah seorang pezina (baca: pelaku dosa besar).
Inilah realita kesyirikan pada zaman ini. Kita dapat melihat bersama, betapa orang-orang musyrik zaman dahulu lebih berakal daripada orang-orang musyrik sekarang ini. Karena maraknya bentuk bentuk kesyirikan dan samarnya hal tersebut, maka sudah seharusnya bagi setiap kita untuk mempelajari ilmu tauhid agar dapat menghindarkan diri sejauh-jauhnya dari segala bentuk kesyirikan. Sungguh betapa bodohnya orang yang mengatakan, “Untuk apa belajar tauhid pada zaman sekarang ini?”*/dr. M. Saifudin Hakim, sebagaimana diungkapkan dalam bukunya Saudaraku… Mengapa Engkau Enggan Mengenal Allah?
Rep: Admin Hidcom
Editor: Syaiful Irwan

Berbeda Antara Ibadah dan Kebiasaan


Setiap tindakan yang mendatangkan ridha Allah, ia adalah ibadah. Amat rugi jika amalan kita salah niat dan hanya kebiasaan tak ternilai
Berbeda Antara Ibadah dan Kebiasaan
ilustrasi















Rep: Admin Hidcom
Oleh: Fida’ Ahmad Syuhada

SEBAGAI agama yang haq di sisi Allah Subhanahu Wata’ala, Islam mencakup semua aspek kehidupan seorang hamba. Tak ada satu pun agama selain Islam yang memiliki kecakupan menyeluruh sebaik Islam.
Dalam Islam, urusan kamar mandi hingga mengatur pemerintahan ada tuntunanya. Dimana lagi kita akan mendapati panduan hidup yang lebih lengkap selain dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sebagai Muslim, kita meyakini bahwa aturan Islam ini bukan untuk membelenggu. Tapi justru menuntun setiap Muslim, pada jalan hidup yang paling baik dan benar.
Tujuan diciptakanya manusia dan jin adalah untuk beribadah. Bahkan setiap agama pasti memiliki tuntunan ibadahnya masing-masing. Dan setiap dakwah para Rasul pasti membawa tema ini. Yakni agar manusia kembali pada peribadatan kepada Allah Subhanahu Wata’ala semata.
Makna ibadah dalam Islam, sebagaimana disebutkan dalam kitab at-Tauhid karangan Dr Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan adalah:
أِسْمٌ جَامِعْ لِكُلِّ مَا يُحِبُّهُ اللهُ وَ يَرْضَاهُ مِنَ الأَقْوَالِ وَالأَعْمَالِ الظَّاهِرَةِ والبَاطِنَةِ                 “Isim jami’ untuk setiap apa yang disukai Allah dan diridhoiNya dari perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan, baik yang nampak maupun yang batin” 
Ibadah terbagi menjadi dua yakni ibadah Mahdhah dan Ghairu Mahdhah. Ibadah Mahdhahdibagi lagi menjadi dua. Pertama adalah ibadah Mahdhah Muqayyad yakni ibadah murni yang bersifat Tauqify, atau kaifiyah (tata cara)nya ditentukan oleh syari’at. Mulai dari waktu, tempat, jumlah dan detail pelaksanaanya. Yang kedua adalah ibadah Mahdhah Muthlaq, yakni ibadah murni yang bersumber dari dalil akan tetapi tidak dijelaskan kaifiyah-nya. Semisal membaca Al-Qur’an dan berdzikir. Sedangkan ibadah Ghairu Mahdhah adalah setiap perbuatan yang asal hukumnya mubah, tapi dapat bernilai ibadah.
Masyarakat awam sering menganggap bahwa ibadah dalam Islam cuma terbatas pada ibadah mahdhah saja. Padahal dalam Islam juga terdapat ibadah Ghairu Mahdhah. Setiap tindakan kita yang mendatangkan kesukaan dan ridha Allah, maka ia adalah ibadah.
Maka sejatinya berislam ini amatlah memudahkan. Allah Subhanahu Wata’ala sendiri menjaminkan kemudahan dan kesanggupan bagi hamba-hambanya. Karena dalam Islam, setiap perbuatan bisa bernilai ibadah dan mengundang pahala di sisi Allah Subhanahu Wata’ala.
Seandainya seorang muslim mau menyadari, maka sesungguhnya peluang pahala dalam hidup ini amatlah banyak.
Dalam kehidupan sehari-hari, banyak aktivitas yang kita lakukan. Mulai dari tidur, makan, sekolah, kerja, hingga ke kamar mandi. Lalu apa yang bisa membuat aktivitas-aktivitas ini bernilai ibadah. Atau dengan kata lain, bagaimana aktivitas-aktivitas ini bisa mendatangkan kesukaan dan ridha dari Allah Subhanahu Wata’ala. Jawabanya adalah ‘niat’.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda:
أِنَّمَا الأَعْمَالُ بِاالنِّيَاتِ و أِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya, dan setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan.”
Niat menurut terminologi adalah tekad untuk melakukan suatu ibadah demi mendekatkan diri kepada Allah. Niat inilah yang menjadi penentu dari nilai sebuah perbuatan dan ganjaran yang akan diberikan. Dua orang yang sama-sama makan bisa berbeda ganjaranya. Yang satu makan karena lapar, maka ia hanya akan mendapatkan kenyang. Sedang yang satu makan untuk menjalankan perintah Allah dalam firmanNya:
وَ كُلُواْ وَاشْرَبُواْ
“Makan dan minumlah.” (QS: Al-A’raf : 31)
Maka ia bernilai ibadah dan mendapat pahala.
Aktivitas sehari-hari seringkali kita lakukan begitu saja tanpa ada niatan apapun. Sehinga yang ada hanyalah kebiasaan tanpa ada nilai lebih di dalamnya. Seandainya kita membawa niat dan kesadaran dalam setiap aktivitas kita, sebagai ibadah dan mengharap kesukaan dan ridha Allah Subhanahu Wata’ala, tentu  limpahan pahala akan membanjiri kita.
Seorang ulama pernah mengatakan,  “ Ibadah orang yang lengah adalah kebiasaan, dan kebiasaan orang yang sadar adalah Ibadah.”
Begitulah manusia yang hidup di dunia ini. Mereka yang lengah bisa jadi membuat ibadah mereka menjadi sekedar kebiasaan. Karena alpanya niat yang benar dan kesadaran. Sedang mereka yang sadar akan menjadikan kebiasaan mereka bernilai ibadah. Dengan niat mengharap kesukaan dan ridha Allah Subhanahu Wata’ala.
Maka selayaknya kita mulai mejadi muslim-muslim yang sadar, dengan mulai menata kebiasaan kita dalam niat yang baik dan kesadaran yang benar.
Kehidupan manusia dikontrol oleh kebiasaanya. Maka kita perlu melihat apakah kebiasaan kita sudah mendatangkan ridha dari Allah Subhanahu Wata’ala atau belum.
Menjadikan sebuah perbuatan menjadi kebiasaan membutuhkan proses. Apalagi bila ia berupa kebaikan, maka biasanya ia membutuhkan usaha yang seringkali tidak mudah. Dan merubah kebiasaan juga membutuhkan usaha yang kadang bahkan lebih sukar. Jadikan kebiasaan kita bernilai ibadah dan jangan sampai ibadah kita menjadi sekedar kebiasaan. Yakni dengan senantiasa membawa niat dan kesadaran mengharap ridha Allah Subhanahu Wata’ala semata. Wallahu a’lam bi shawab.*
Penulis adalah santri Pengabdian di Hidayatullah Sleman
Editor: Cholis Akbar

Adab Muslim terhadap Fenomena Gerhana Matahari


Fenomena Gerhana Matahari adalah ayat qauniyah Allah agar kita bersyukur, berdoa dan makin tunduk di hadapan Allah, bukan ajang untuk selfi
Adab Muslim terhadap Fenomena Gerhana Matahari
Shalat Gerhana [ilustrasi]
















Rep: Admin Hidcom 
Oleh:  Mohammad Ramli
DALAM waktu beberapa hari ini, warga Indonesia akan menyaksikan keajaban alam ciptaan Allah Subhanahu Wata’ala berupa gerhana matahari total (GMT) pada Rabu 9 Maret 2016. Momen tersebut menjadi istimewa bagi Indonesia karena hanya bisa diamati di wilayah Tanah Air.
Diantara tempat yang bisa disaksikan adalah: Palu, Balikpapan, Bangka Belitung, dan area lain di 11 provinsi Nusantara akan dapat menyaksikan gerhana matahari total — saat sang surya diselubungi kegelapan.
Gerhana Matahari terjadi ketika posisi bulan terletak di antara Bumi dan Matahari sehingga menutup sebagian atau seluruh cahaya Matahari. Walaupun Bulan lebih kecil, bayangan Bulan mampu melindungi cahaya Matahari sepenuhnya karena Bulan yang berjarak rata-rata jarak 384.400 kilometer dari Bumi lebih dekat dibandingkan Matahari yang mempunyai jarak rata-rata 149.680.000 kilometer. (wikipedia.org)
Seperti diberitakan gerhana.langitselatan.com/ bahwa tanggal 9 maret 2016, seluruh wilayah Indonesia akan dilewati oleh gerhana matahari. Gerhana matahari total terjadi 11 propinsi yakni Sumatera Barat, Bengkulu, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur,  Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, dan Maluku Utara. Walaupun jalur totalitas tidak melintasi seluruh Indonesia, masyarakat yang berada di luar jalur totalitas masih bisa menikmati tanda kekuasaan Allah yakni gerhana matahari sebagian.
Fenomena alam tersebut mengundang banyak perhatian, hampir seluruh media cetak maupun elektronik sedang ikut meramaikan pemberitaan akan terjadinya gerhana matahari.
Masyarakatpun sepertinya tidak sabar untuk menyaksikan fenomena tersebut. Bahkan beberapa daerah tidak akan menyia-nyiakakan kesempatan langka tersebut. Salah satunya di Pasuruan Jawa Timur akan menggelar nobar di kawasan Kantor Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) di Desa Watukosek, Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Peralatan seperti teleskop, Proyektor dan kacamata khusus pun akan siap dibagikan kepada warga. (seperti dilansir http://news.detik.com/berita/3157150)
Mitos dan Ayat Qauniyah
Peristiwa kejadian alama ini sudah disinggung oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam.
Di masa jahiliyah, telah berkembang di masyarakat Arab –bahkan masyarakat dunia lainnya—jika Gerhana Matahari terjadi karena karena kelahiran atau kematian seseorang. Khurafattersebut dimentahkan oleh Rasulullah langsung.
Sebagaimana haditsnya:
“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua dari tanda-tanda kebesaran Allah. Gerhana matahari dan bulan tidak terjadi karena kematian atau kelahiran seseorang. Jika kalian melihat gerhana matahari atau gerhana bulan maka segeralah mengingat Allah, bertakbir, sholat dan bersedekah!” (HR. Bukhari) hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim.
Prof. Dr. Zaghlul, mengatakan bahwa Gerhana Matahari dan bulan adalah merupakan fenomena alam biasa yang berada dibawah kehendak Allah dan bagian dari sunnatullah (lihat Buku Pintar Sains dalam hadits, hal. 125)
Karena itu, sebagai seorang muslim, kita harus meyakini bahwa fenomena ini adalah bagian dari ayat qauniyah Allah yang ditunjukkan kepada manusia agar semakin percaya akan kebesaran-Nya. Jagad raya dan isinya adalah bagian dari tanda-tanda kebesaran Allah.
Bertambah Iman
Gerhana Matahari harus memberi nilai tambah dalam keimanan kita, bukan hanya menyaksikan, nobar dan sebagainya. Namun harus mampu menambah keimanan kita sebagaimana firman Allah:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آَيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
“Orang-orang yang beriman itu adalah orang-orang yang apabila disebutkan nama Allah maka bergetarlah hati mereka. Apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya maka bertambahlah keimanan mereka. Dan mereka hanya bertawakal kepada Rabb mereka.” (QS. Al-Anfal: 2)
Az-Zajaj mengatakan, “Maksudnya, apabila disebutkan tentang kebesaran dan kekuasaan-Nya dan ancaman hukuman yang akan ditimpakan kepada orang-orang yang durhaka kepada-Nya maka hati mereka pun merasa takut.” (lihat Zaadul Masir, hal. 540)
Sesuai dengan pemberitaan bahwa Gerhana Matahari terjadi antara pagi-siang (sesuai variasi zona waktu), maka beberapa hal yang bisa kita lakukan:
Pertama, berdzikir, mengingat Allah dan kebesaran-Nya, memantapkan hati seraya memuji kebesaran-Nya dengan mengucapkan Takbir “Allahu Kabar”.
Tentang hal ini para ‘ulama mengatakan bahwa takbir saat gerhana bukan seperti takbiran pada hari raya. Tetapi mengagungkan Allah seraya bertakbir dengan suara lirih atau pelan.
Kedua, mengerjakan shalat Kusuf atau Khusuf (Gerhana). Dianjurkan dilaksanakan secara berjama’ah, dilaksanakan di dalam masjid, tanpa adzan dan iqamat, perempuan juga bisa ikut shalat.
Tatacara pelaksanaan Shalat Gerhana berjumlah dua raka’at, empat kali rukuk (dalam dua raka’at) pendapat ini yang paling kuat yang diambil oleh para ulama (lihat Risalah Shalat, KH. Akhyar Suhada dkk. Hal, 261) dengan berdasarkan hadits Riwata Bukhari dan Muslim dan jumlah sahabat yang meriwayatkan lebih banyak.
Dari ’Aisyah radhiyallahu ’anha, beliau mengatakan,
أنَّ الشَّمس خَسَفَتْ عَلَى عَهْدِ رَسولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، فَبَعَثَ مُنَادياً يُنَادِي: الصلاَةَ جَامِعَة، فَاجتَمَعُوا. وَتَقَدَّمَ فَكَبرَّ وَصلَّى أربَعَ رَكَعَاتٍ في ركعَتَين وَأربعَ سَجَدَاتٍ.
“Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan bahwa pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah terjadi gerhana matahari. Beliau lalu mengutus seseorang untuk memanggil jama’ah dengan: ‘ASH SHALATU JAMI’AH’ (mari kita lakukan shalat berjama’ah). Orang-orang lantas berkumpul. Nabi lalu maju dan bertakbir. Beliau melakukan empat kali ruku’ dan empat kali sujud dalam dua raka’at.” (HR. Muslim no. 901)
Semoga fenomena ini bukan ajang untuk selfi, mengukir album dan kesenangan lainnya. Tapi dengan kejadian ini mari kita ajak seluruh keluarga, anak didik di sekolah, pegawai di kantor dan tempat-tempat lainnya untuk bersama-sama takut kepada Allah, berdzikrir, berdo’a, bertakbir, sholat dan bersedekah. Wallahu a’lam. *
Guru di sekolah Islam Batam
Editor: Cholis Akbar

Terhadap Gangguan Orang Kafir, Bersabarlah


Banyak gangguan yang dialamatkan kepada Rasulullah Muhammad dalam menjalankan dakwah. Sampai-sampai Allâh Azza wa Jalla menurunkan ayat yang berisi perintah untuk bersabar
Terhadap Gangguan Orang Kafir, Bersabarlah
TWITTER
Sejumlah pemuda Yahudi melecehkan wanita Palestina

Rep: Imam Nawawi
AKHIR-akhir ini umat Islam diperhadapkan dengan keresahan berupa munculnya beragama pemberitaan dan penggiringan opini yang mendiskreditkan umat Islam, setidaknya itulah yang terjadi melalui piranti teknologi media sosial.
Mulai dari yang berpuasa mesti menghormati yang tidak puasa, sampai pada pencabutan perda syariah yang tersebar luas di dunia maya oleh pemerintah yang sedikit banyak membuat resah umat Islam di Indonesia.
Satu contoh yang terbaru ketika muncul logika-logika rusak yang sengaja menyudutkan umat Islam di Indonesia. Misalnya ketika muncul banyak spanduk dan pernyataan yang mengatakan, “Hormatilah Orang yang Tidak Berpuasa!”.
Belum selesai kasus ini, lalu muncul penghapusan ribuan Perda ‘berbau Syariah’ dengan menggunakan momen seorang pedagang bandel yang membuka warung di siang hari bulan Ramadhan.
Kasus ini rupanya disengaja sebagai trigger (pelatuk) untuk memberikan stigma, bahwa Perda ‘berbau syariat’ itu adalah intoleran.
Gangguan orang Kafir
Dalam sejarah perjalanan agama Islam sendiri banyak ditemukan kisah-kisah menyedihkan terkait penodaan, halangan dan gangguan keimanan dan dakwah Islam.
Setiap orang mukmin akan selalui mendapat gangguan dan rintangan dari kaum kafir. Sebagaimana banyak dialami junjungan kita, Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassallam.
Alkisah, setelah banyak mengalami kegagalan merayu  Nabi Muhammad dan Abu Thalib, kaum kafir Quraisy mengirim seorang bernama Utbah bin Rabi’ah untuk membujuk Nabi.
“Hai Muhammad, bila kamu menginginkan harta kekayaan, saya sanggup menyediakannya untukmu, bila kamu menginginkan pangkat yang lebih tinggi, saya sanggup mengangkatmu menjadi raja, dan apabila kamu menginginkan seorang wanita cantik, saya sanggup mencarikannya, dengan syarat kamu mau menghentikan dakwah itu, ” ujar Utbah bin Rabi’ah.
Lagi-lagi Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi Wassllam menolak bujukan tersebut dengan tegas.
Namun orang kafir tak cukup berhenti di situ, mereka kembali melakukan tekanan dengan cara kasar terhadap  Nabi agar berhenti berdakwah.
Suatu hari ketika Nabi Muhammad sedang shalat di dekat Ka’bah. Lalu datanglah Abu Jahal membawa batu besar. Batu besar tersebut akan dijatuhkan ke kepala Nabi Muhammad saat bersujud. Tiba – tiba Abu Jahal melihat seekor unta besar menerjangnya. Dan Abu Jahal pun lari dengan rasa takut.
Banyak gangguan yang dialamatkan kepada Rasulullah Muhammad dalam menjalankan dakwah. Sampai-sampai Allâh Azza wa Jalla menurunkan ayat yang berisi perintah untuk bersabar atas gangguan-gangguan orang-orang kafir.
لَتُبْلَوُنَّ فِي أَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ وَلَتَسْمَعُنَّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَمِنَ الَّذِينَ أَشْرَكُوا أَذًى كَثِيرًا وَإِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ
“Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu benar-benar akan mendengar dari orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan.” [QS: Âli ‘Imrân/3 : 186]
Demikianlah memang cara-cara orang kafir menjungkirbalikkan akal sehat. Fakta ini semakin mengokohkan fakta bahwa Al-Qur’an adalah wahyu yang otentik dan tak terbantahkan oleh siapapun. Dan, kita sebagai umat Islam mesti tetap percaya diri, teguh dalam Islam dan tegar menghadapi ulah orang-orang kafir.
Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:
وَمَا لَنَا أَلاَّ نَتَوَكَّلَ عَلَى اللّهِ وَقَدْ هَدَانَا سُبُلَنَا وَلَنَصْبِرَنَّ عَلَى مَا آذَيْتُمُونَا وَعَلَى اللّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُتَوَكِّلُونَ
“Dan mengapa kami tidak akan bertawakkal kepada Allah, sedangkan Dia telah menunjukkan jalan kepada kami, dan kami sungguh, akan tetap bersabar terhadap gangguan yang kamu lakukan kepada kami. Dan hanya kepada Allah saja orang yang bertawakkal berserah diri.” (QS: Ibrahim [14]: 12).
Demikianlah memang waktak kekafiran, mereka amat benci kepada kaum yang berpegang teguh di atas landasan tauhid. Tidak saja kita yang hidup di zaman ini, nyaris semua kaum Nabi dan Rasul mengalami hal demikian ini.
Karenanya Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:
وَلَقَدْ كُذِّبَتْ رُسُلٌ مِّن قَبْلِكَ فَصَبَرُواْ عَلَى مَا كُذِّبُواْ وَأُوذُواْ حَتَّى أَتَاهُمْ نَصْرُنَا وَلاَ مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِ اللّهِ وَلَقدْ جَاءكَ مِن نَّبَإِ الْمُرْسَلِينَ
“Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Allah kepada mereka. Tak ada seorangpun yang dapat merobah kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Dan sesungguhnya telah datang kepadamu sebahagian dari berita rasul-rasul itu.” (QS. Al-An’am [6]: 34).
Sekiranya orang kafir telah merasa dirinya memiliki kekuatan, maka mereka akan menggunakan ancaman sebagai cara melemahkan keimanan umat Islam.
Dalam ayat lain juga disebutkan:
قَالَ الْمَلأُ الَّذِينَ اسْتَكْبَرُواْ مِن قَوْمِهِ لَنُخْرِجَنَّكَ يَا شُعَيْبُ وَالَّذِينَ آمَنُواْ مَعَكَ مِن قَرْيَتِنَا أَوْ لَتَعُودُنَّ فِي مِلَّتِنَا قَالَ أَوَلَوْ كُنَّا كَارِهِينَ
“Pemuka-pemuka dan kaum Syu’aib yang menyombongkan dan berkata: “Sesungguhnya kami akan mengusir kamu hai Syu’aib dan orang-orang yang beriman bersamamu dari kota kami, atau kamu kembali kepada agama kami.” (QS. Al-A’raf [8]: 85).
Namun, bagaimanapun kita tidak boleh terpancing dengan provokasi orang-orang kafir. Tetap berpikir jernih, rasional dan mengedepankan kebijaksanaan.
Sahabat Al-Khobbab Ibn Al-Arts datang menemui Nabi, mengeluhkan tentang gangguan dan fitnah-fitnah orang-orang kafir terhadap Islam dan dirinya serta saudara-saudaranya yang tertindas dan berkata; “Ya Rasulullah, tidakkah Rasulullah mohon pertolongan Allah untuk kita dan untuk kemenangan kita?”
Rasulullah Shallallahu alayhi wasallam menjawab, “Orang-orang sebelum kamu ada yang dikubur hidup-hidup, ada yang dibelah dua tubuhnya dari ujung kepala dengan gergaji, ada yang digaruk (disisir) tubuhnya dengan sisir besi yang tajam hingga terpisah daging dari tulang, tetapi semua itu tidak mampu mengeluarkan mereka dari din-nya. Demi Allah, Allah menghendaki hal itu sehingga seorang pergi dari Shon’a ke Hadramaut tanpa ada yang ditakuti kecuali Allah atau serigala yang mengancam iringan domba. Tetapi kalian terburu-buru” (HR. Bukhari).
Oleh karena itu, jangan terprovokasi dengan ulah orang-orang kafir dengan beragam media propagandanya. Mari terus tingkatkan ibadah di bulan suci Ramadhan, fokuskan untuk terus beramal sholeh mewujudkan maslahat di tengah-tengah umat.
Jika pun harus merespon, cukuplah mereka yang memang berkapasitas dan bergerak di bidang yang mungkin diimbangi. Ada MUI ada ormas Islam ada aktivis pejuang Islam, ada para pakar Muslim, biarlah cukup mereka yang menjawab Jangan semua energi umat habis tersalurkan untuk merespon olok-olokkan orang yang suka meperolok-olok umat Islam. Kecuali mereka telah menabuh genderang perang, umat Islam pantang surut ke belakang.*
Editor: Cholis Akbar

Puasa dan Al-Quran Memberi Syafat di Hari Kiamat


Puasa berkata: “Wahai Rabb, ia telah menahan makan dan syahwatnya pada siang hari karena aku, izinkan aku memberi syafaat kepadanya
Puasa dan Al-Quran Memberi Syafat di Hari Kiamat













Rep: Admin Hidcom

قَالَ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺍﻟﺼﻴﺎﻡ ﻭﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻳﺸﻔﻌﺎﻥ ﻟﻠﻌﺒﺪ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻘﻴﺎﻣﺔ، ﻳﻘﻮﻝ ﺍﻟﺼﻴﺎﻡ : ﺃﻱ ﺭب، ﻣﻨﻌﺘﻪ ﺍﻟﻄﻌﺎﻡ ﻭﺍﻟﺸﻬﻮﺍﺕ ﺑﺎﻟﻨﻬﺎﺭ، ﻓﺸﻔﻌﻨﻲ ﻓﻴﻪ، ﻭﻳﻘﻮﻝ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ : ﻣﻨﻌﺘﻪ ﺍﻟﻨﻮﻡ ﺑﺎﻟﻠﻴﻞ، ﻓﺸﻔﻌﻨﻲ ﻓﻴﻪ، ﻓﻴﺸﻔﻌﺎﻥ‏)
Rosulullah صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم bersabda yang maksudnya “Puasa dan Al Qur’an akan memberi syafaat bagi hamba pada hari kiamat.
Puasa berkata: “Wahai Rabb, ia telah menahan makan dan syahwatnya pada siang hari karena aku, izinkan aku memberi syafaat kepadanya.
Al-Qur’an berkata: “ Ia telah terjaga pada malam hari karena aku, izinkan aku memberi syafaat kepadanya, maka puasa dan al-Quran memberi syafaat kepadanya.” ( HR. Ahmad)
Editor: Cholis Akbar

Membatasi Kebutuhan Kita terhadap Dunia


Jika kebutuhan manusia atas makanan, pakaian, dan tempat tinggal melebihi dari batas kebutuhannya, akan menyebabkan dirinya menuju ke dalam kehancuran.
Membatasi Kebutuhan Kita terhadap Dunia (1)
Ilustrasi.


















YANG harus diketahui oleh manusia adalah, yang dibutuhkannya dari dunia berupa makanan yang cukup untuk dapat melangsungkan kehidupan dan beribadah. Dan manusia membutuhkan pakaian yang dapat menutupi auratnya serta menjaga kehormatannya.
Di samping itu, manusia membutuhkan tempat tinggal untuk menjaga dan memelihara keluarga serta anak-anaknya. Jika mereka membiasakan dirinya untuk tidak rakus terhadap dunia dan menerima apa adanya, maka hal itu akan dapat menghilangkan kecondongannya terhadap kemewahan dan menyucikan hatinya. Di samping itu, dapat memudahkan dirinya untuk mengingat akhirat dan mendorongnya mempersiapkan hidup di akhirat kelak.
Jika kebutuhan manusia dari makanan, pakaian, dan tempat tinggal melebihi dari batas kebutuhannya, maka justeru semua itu akan banyak menyibukkan dirinya. Dan ketika keinginannya semakin meningkat serta bertambah banyak, maka hal itu akan menyebabkan dirinya menuju ke dalam kehancuran.
Diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud, ia mengatakan, “Aku mendengar bahwa Nabi kalian Muhammad Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam pernah bersabda, ‘Barangsiapa yang menjadikan keinginan dunianya menjadi satu dengan keinginan akhirat, maka Allah akan mencukupkan kebutuhan dunianya. Dan barang siapa yang memperbanyak keinginan dunianya (hanya memfokuskan diri pada dunia), maka Allah tidak akan memperdulikan dirinya ketika dalam kehancuran.'” (HR Bukhari dan Muslim).
Dari Abdullah bin Asy-Syikhir Radhiyallahu Anhu, ia berkata, “Aku datang kepada Nabi yang waktu itu beliau sedang membaca ayat, “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu.” Kemudian Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Seseorang dari anak Adam berkata, “Hartaku, hartaku.” (Kemudian dikatakan kepadanya), “Wahai anak Adam, apakah kamu memiliki harta? Apa yang kamu makan telah hilang dan apa yang kamu pakai telah usang. Kecuali apa yang telah kamu sedekahkan maka itu yang akan tersisa.” (HR Ibnu Majah)
Diriwayatkan oleh Abdullah bin Mihshan Al-Anshari Radhiyallahu Anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam pernah bersabda, “Barang siapa yang merasa aman dalam keluarganya (atau kampungnya), maka tubuhnya akan bertambah sehat. Dan dia memiliki kekuatan hingga seakan-akan dia mampu mengumpulkan dunia dengan segala isinya.” (HR Muslim dan An-Nasa’i)

PARA ulama memerintahkan murid-muridnya untuk biasa dalam berpakaian, sedikit dalam makan, dan sederhana dalam hidup.
Dari Sufyan Ats Tsauri dari Abu Qais dari Hudzail bin Syarahbil dari Abdullah bin Mas’ud, ia mengatakan, “Barangsiapa yang menghendaki akhirat maka dia akan sengsara di dunia. Dan barangsiapa yang menghendaki dunia maka dia akan sengsara di akhirat. Wahai manusia, sengsaralah di dunia yang sementara ini untuk mendapatkan kebahagian yang abadi.” (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Diriwayatkan oleh Al-A’uzai dari Bilal bin Sa’id bahwa Abu Darda’ berkata, “Aku berlindung kepada Allah dari hati yang terpana.” Kemudian dia ditanya, “Apa itu hati yang terpana?” Dia menjawab, “Apabila aku menjadikan satu jurang berisikan harta kekayaan.”
Al-Hasan memberikan nasehat kepada para sahabat-sahabatnya, “Sungguh, kita telah berteman dengan segolongan kaum yang mengatakan, “Di dunia ini kami tidak memiliki kebutuhan dan kita diciptakan bukan untuk dunia.” Maka, mereka mencari surga dengan usaha dan jiwanya. Hingga mereka merelakan darahnya tumpah di dunia. Oleh karena itu, baginya kebahagiaan, keselamatan, dan ketentraman. Mereka tidak memiliki banyak pakaian dan juga tidak tidur di atas ranjang. Kamu tidak menjumpainya kecuali mereka dalam keadaan puasa dan hidupnya dihiasi dengan ketundukan serta ketakutan. Jika mereka berkunjung ke rumah saudaranya maka ketika disuguhi makanan, maka makanan tersebut dimakannya. Namun jika tidak, maka mereka akan diam. Mereka tidak bertanya tentang sesuatu, apa ini dan apa itu.”
Imam Ats Tsauri mendidik murid-muridnya seperti hal di atas. Dikisahkan oleh Yahya bin Yaman, ia mengatakan, “Aku pernah mendengar Sufyan Ats-Tsauri berkata, ‘Orang alim adalah dokter bagi agama. Sedangkan dirham adalah penyakit bagi agama. Jika dokter terpikat dengan penyakit, maka kapan dirinya mengobati orang lain?'”
Ali bin Al-Madini berkata, “Aku masuk ke rumah Ahmad bin Hambal, dan di rumahnya aku tidak menemui sesuatu kecuali apa yang telah disebutkannya tentang rumah Suwaid bin Ghaflah Radhiyallahu Anhu tentang kezuhudan dan kerendahan hatinya.”
Sebagian ulama marah ketika mengetahui salah satu muridnya memiliki banyak pakaian, atau mengkhususkan dirinya untuk makan makanan khusus, atau memiliki barang-barang yang mewah. Di antara ajaran mereka adalah; tidak boleh ada yang tersisa di rumah kecuali dua pakaian. Satu, pakaian yang dipakai, dan satunya lagi pakaian yang dicuci. Jika dia membeli pakaian baru, maka dia harus menyedekahkan pakaian yang lama.
Wahai kawan, berapa banyak pakaian yang ada di rumah kita? Dan berapa banyak orang miskin yang membutuhkan pakaian?*/Syaikh Khalid Sayyid Rusyah, dari bukunyaNikmatnya Beribadah.
Rep: Admin Hidcom
Editor: Syaiful Irwan