Seseorang yang melambatkan diri melakukan muhasabah, akan mudah baginya terjerumus pada dosa.

YANG paling berbahaya bagi suatu pekerjaan adalah meremehkan, meninggalkan muhasabah, melepaskan begitu saja, dan menggampangkan persoalan. Sebab hal-hal itu akan menghantarkan pada kehancuran. Dan itulah keadaan orang-orang yang terperdaya, menutup mata dari segala akibat, menantang keadaan, dan bersandar hanya pada ampunan.
Ia melambatkan diri melakukan muhasabah dan melihat akibat yang bakal ia derita. Sungguh jika seseorang bersikap demikian, maka akan mudah baginya terjerumus pada dosa. Ia akan senang bergumul dengannya, bahkan akan sulit berpisah dengannya. Seandainya saja ia mengikuti kebenaran, niscaya ia akan tahu bahwa penjagaan nafsu lebih mudah daripada meliarkannya.
Untuk itu hendaknya ia menghisab dirinya pertama kali dalam hal-hal yang wajib. Jika ia ingat ada yang ditinggalkan maka ia harus menyusulnya, baik dengan qadha’ atau dengan perbaikan. Selanjutnya, hendaknya ia menghisab dirinya dalam hal-hal yang dilarang. Jika ia mengetahui ada sesuatu yang ia langgar maka hendaknya ia segera menyusulnya dengan taubat, istighfar dan berbagai kebaikan yang menghapus dosa. Kemudian hendaknya ia menghisab atas kelalaian dirinya.
Jika ia lengah tentang untuk apa ia diciptakan maka hendaknya ia menyusulnya dengan dzikir dan menghadap kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Lalu hendaknya ia menghisab apa yang telah ia bicarakan, atau ke mana kakinya melangkah, atau apa yang diambil oleh kedua tangannya, atau apa yang didengar oleh kedua telinganya, untuk apa ia lakukan semua itu, dan untuk siapa? Dan atas dasar apa yang ia lakukan semua itu?
Pertanyaan yang pertama adalah tentang ikhlas, sedang yang kedua tentang mutaba’ah (mengikuti Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam).
Allah berfirman, “Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, tentang apa yang mereka kerjakan dahulu.” (Al-Hijr: 92-93).
“Maka sesungguhnya Kami akan menanyai umat-umat yang telah diutus rasul-rasul kepada mereka dan sesungguhnya Kami akan menanyai (pula) rasul-rasul (Kami) maka sesungguhnya akan Kami kabarkan kepada mereka (apa-apa yang telah mereka perbuat) sedang (Kami) mengetahui (keadaan mereka), dan Kami sekali-kali tidak jauh (dari mereka).” (Al-A’raf: 6-7).
“Agar Dia menanyakan kepada orang-orang yang benar tentang kebenaran mereka.” (Al-Ahzab: 8).
Jika orang-orang yang benar ditanya dan dihisab atas kebenaran mereka, maka bagaimana pula dengan orang-orang pendusta? Muqatil berkata, “Allah Ta’ala berfirman, “Kami telah mengambil perjanjian dengan mereka, agar Allah menanyakan kepada orang-orang yang benar yakni para nabi tentang penyampaian risalah (yang dibebankan kepada mereka)’.”
Mujahid berkata, “Allah bertanya kepada orang-orang yang terhadap mereka dakwah rasul disampaikan, apakah mereka melaksanakan ajaran rasul itu? Sebagaimana Allah juga bertanya kepada para rasul apakah mereka menyampaikannya sebagaimana yang diwahyukan Allah?”
Yang jelas, ayat di atas meliputi semua pengertian yang disebutkan. Orang-orang yang benar adalah para rasul serta mereka yang kepadanya dakwah disampaikan. Kepada rasul ditanyakan tentang tabligh (penyampaian dakwah), sedang kepada orang-orang yang kepadanya dakwah disampaikan, ditanyakan tentang apa yang disampaikan oleh para rasul kepada mereka.
Kemudian orang-orang yang telah sampai kepadanya dakwah, ditanyakan tentang jawaban apa yang mereka berikan kepada para rasul, sebagaimana firman Allah,
“Dan (ingatlah) hari (di waktu) Allah menyeru mereka seraya berkata, ‘Apakah jawabanmu kepada para rasul?’.” (Al-Qashash: 65).
Manusia kelak akan ditanya dan dihisab tentang segala sesuatu, bahkan hingga atas pendengaran, penglihatan, dan hatinya, sebagaimana firman Allah,
“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (Al-Israa’: 36).
Maka kita mesti menghisab diri sebelum hisab itu datang kepada kita.
Adapun ayat yang menunjukkan wajibnya melakukan muhasabah terhadap diri adalah firman Allah,
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat).” (Al-Hasyr: 18).
Di sini Allah menegaskan, hendaknya setiap diri memperhatikan amal-amal apa yang telah ia persiapkan untuk Hari Kiamat, apakah amal-amal baik yang bisa menyelamatkan dirinya atau amal-amal buruk yang bisa membinasakannya.
Qatadah berkata, “Tuhanmu masih senantiasa mendekatkan Hari Kiamat, sehingga Dia menjadikannya seakan-akan terjadi besok.” Maksudnya, kebaikan hati adalah dengan mengadakan muhasabah diri, sedang rusaknya hati adalah dengan meremehkannya serta melepaskan nafsu begitu saja
MUHASABAH diri mendatangkan banyak manfaat, di antaranya bisa mengetahui aib diri sendiri. Orang yang tidak mengetahui aib dirinya dia tak akan mampu menghilangkannya. Tetapi jika dia mengetahui aib dirinya, maka ia akan membencinya karena Allah.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Darda’ Radhiyallahu Anhu, “Tidaklah seseorang memiliki pemahaman yang dalam sampai ia membenci manusia karena Allah, kemudian ia kembali kepada dirinya sendiri, lalu ia lebih membenci terhadap dirinya.”
Mutharrif bin Abdillah berkata, “Seandainya manusia itu tidak lebih mengetahui tentang diriku, niscaya aku jauhi mereka.”
Ayub As-Sakhtiyani berkata, “Jika orang-orang shalih disebut maka aku adalah orang yang terasing.”
Ketika Sufyan Ats-Tsauri dalam sakaratul maut, Abul Asyhab dan Hammad bin Salamah masuk kepadanya. Hammad berkata kepada Sufyan, “Wahai Abu Abdillah, bukankah engkau sudah merasa aman dari sesuatu yang engkau takuti? Dan engkau telah melakukan apa yang engkau harapkan, sedangkan Dia Maha Penyayang di antara para penyayang.”
Sufyan menjawab, “Wahai Abu Salamah, apakah engkau mengharapkan orang seperti aku ini bisa selamat dari neraka?” Ia menjawab, “Ya, demi Allah, sungguh aku mengharapkanmu demikian.”
Yunus bin Ubaid berkata, “Sesungguhnya aku mendapatkan seratus ciri kebaikan, aku tidak tahu apakah dalam diriku terdapat satu daripadanya.”
Muhammad bin Wasi’ berkata, “Seandainya dosa memiliki aroma, tentu tak seorang pun yang kuat duduk bersamaku.”
Pernah suatu ketika Daud Ath-Tha’i diceritakan di hadapan sebagian para raja, sehingga mereka pun memujinya, maka ia berkata, “Seandainya manusia mengetahui sebagian apa yang ada pada kami, tentu tak sepatah pun lisan yang menyebutkan kebaikan kami selamanya.”
Abu Hafsh berkata, “Siapa yang tidak berprasangka buruk kepada nafsunya sepanjang waktu, tidak menyelisihinya dalam setiap keadaan, serta tidak menyeretnya pada apa yang dibencinya sepanjang waktunya, maka orang itu telah terperdaya. Dan siapa yang melihat kepada nafsunya dan menganggap baik sesuatu daripadanya maka sesuatu itu telah menghancurkannya.”
Nafsu senantiasa mengajak pada kehancuran, membantu para musuh, menginginkan setiap keburukan, mengikuti setiap yang jahat, dan secara tabiat ia senantiasa menyelisihi (kebaikan). Maka nikmat yang tak terbayangkan besarnya adalah keluar dari belenggu nafsu itu serta melepaskan diri dari perbudakannya. Sebab nafsu adalah pembatas antara hamba dengan Allah. Dan orang yang paling mengetahui tentang nafsu adalah orang yang paling menjauh dan paling benci padanya.
Dan kebencian terhadap nafsu karena Allah adalah di antara sifat orang-orang yang benar. Dan dengan kebencian sekejap saja terhadap nafsu itu seseorang menjadi dekat kepada Allah Ta’ala, bahkan berlipat-lipat dari kedekatan karena beramal.
Termasuk manfaat muhasabah diri, yaitu dengan muhasabah ia menjadi tahu hak Allah Ta’ala. Dan siapa yang tidak mengetahui hak Allah atas dirinya, maka ibadahnya kepada-Nya hampir tak bermanfaat sama sekali. Ibadahnya sungguh sangat sedikit sekali manfaatnya.
Dan sesuatu yang termasuk paling bermanfaat bagi hati adalah merenungkan hak Allah atas hamba-Nya. Karena hal itu akan mengakibatkan kebenciannya terhadap nafsunya, ia akan menjauhkan diri daripadanya, ia akan membersihkan diri dari ujub (bangga diri) dan riya’. Sebaliknya hal itu akan membukakan untuknya pintu rendah diri, kehinaan, dan ketidakberdayaan di hadapan Tuhan. Ia akan menyesalkan nafsunya, dan bahwa keselamatan tak akan ia dapatkan kecuali dengan ampunan, maghfirah, dan rahmat Allah. Dan sungguh di antara hak-hak Allah adalah, Dia wajib ditaati dan tidak diingkari, Ia wajib diingat tidak boleh dilupakan, wajib disyukuri dan tidak boleh dikufuri.
Siapa yang merenungkan hak-hak ini niscaya ia mengetahui dengan seyakin-yakinnya bahwa dia tidak mampu melakukannya sebagaimana mestinya. Dan bahwa tak ada lagi yang diharapkannya selain ampunan dan maghfirah Tuhannya, dan seandainya ia ditimbang sesuai dengan amalnya maka ia akan binasa.
Inilah yang menjadi perenungan para ahli makrifat (yang mengetahui) Allah Ta’ala dan diri mereka sendiri. Dan ini pula yang menjadikan mereka menyesalkan dirinya dan menggantungkan semua harapan mereka kepada ampunan dan rahmat Tuhannya.
Jika Anda melihat kondisi sebagian besar manusia, tentu keadaan mereka adalah kebalikannya. Mereka mempertanyakan hak mereka atas Allah, dan tidak mempedulikan hak Allah atas mereka. Dan dari sini kemudian mereka terputus dari Allah, dan hati mereka menjadi tertutup dari mengetahui, mencintai dan merindui pertemuan dengan-Nya, juga tidak bisa menikmati dzikir kepada-Nya. Dan yang demikian itu adalah puncak kebodohan manusia terhadap Tuhan dan dirinya.
Karena itu muhasabah diri adalah melihat hamba terhadap hak Allah atas dirinya. Selanjutnya ia melihat apakah dirinya telah mewujudkan hak tersebut? Dan itulah sebaik-baik perenungan. Karena ia akan menghantarkan hati kepada Allah serta melemparkannya di hadapan-Nya sebagai seorang yang rendah dan nista. Tetapi dengannya, ia mendapatkan penawarnya, menjadikannya sebagai seorang yang fakir dan papa tetapi dengan itulah kekayaannya, menjadikannya hina tetapi dengan itulah kemuliaannya.*/Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, tertuang dalam bukunya Manajemen Kalbu-Melumpuhkan Senjata Syetan.
Rep: Admin Hidcom
Editor: Syaiful Irwan
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar